Perlahan – lahan jasad Ningrum yang di bungkus kain putih diturnkan ke liang
lahat. Para pelayat memandang dengan tatapan pilu. Tapi tidak demikian dengan Mbah
Santo, laki – laki tua yang sering bertingkah aneh itu Cuma geleng – geleng kepala sambil
berguman dengan nada tidak jelas.
“ Gawat. . . gawat!” geragap Mbah Santo berulang – ulang sambil mencermati
bungkusan kain putih yang mulai dilepas dari ikatanya.
Apa yang terjadi? Rupanya, dimata Mbah Santo, yang ada di dalam bungkusan kain
putih itu bukanlah jasad Ningrum, melainkan hanyalah sebatang pohon pisang atau gedebog.
Ningrum yang kembang desa itu, meninggal setelah menderita sakit beberapa
minggu. Tidak ada yang tahu apa penyakit yang dideritanya. Menurut kabar burung yang
beredar, dia meninggal karena mengidap penyakit AIDS, karena sudah bukan rahasia lagi
kalau gadis cantik bertubuh sinal itu bekerja dikota sebagai wanita penghibur atau kupu –
kupu malam.
“ Kasihan Ningrum, dia masih muda tapi harus mati dengan cara yang
mengenaskan,” cetus salah seorang pelayat setelah lubang kubur tempat peristirahatan
terakhir Ningrum ditutupi dengan tanah.
Setelah upacara pemakaman Ningrum selesai, satu persatu para pelayat mulai
meninggalkan kuburan. Tapi tidak dengan Mbah Santo. Laki – laki tua itu masih berada di
tempatnya sambil menatap gundukan tanah merah yang berhiaskan batu nisan dan taburan
bunga tujuh rupa.
“ Gawat, kampung ini akan banjir darah!” guman Mbah Santo. Kemudian setelah
diam sejenak, laki – laki tua itu mengambil segenggam tanah merah dari pusara Ningrum dan
pulang dengan wajah diliputi kegelisahan.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan dan akan dilakukan oleh Mbah Santo. Tapi
yang jelas, setelah setelah pemakaman Ningrum, malam harinya awan tebal menyelimuti
langit disertai kilatan halilintar. Tapi anehnya, meski langit berselimut mendung di angkasa,
namun hujan tidak turun – turun. Tentu saja keanehan alam ini membuat orang bertanya –
tanya.
“ Aneh, meski mendung tebal dan sejak tadi petir terus menerus menyambar, tapi
hujan masih belum turun – turun juga,” cetus Roy yang malm itu ngobrol dengan teman –
temanya di pos kampling.
“ Benar, malam ini memang kelihatan aneh tidak seperti malam – malam biasanya.”
Sambung Takim.
“ Jangan – jangan ini ada hubunganya dengan kematian Ningrum!” sahut Kacung
tiba – tiba dengan suara agak keras sehingga membuat yang lainnya jadi tersentak.
“ Cung, kamu kalau bicara jangan ngawur!” celetuk Takim, mengingatkan.
“ Aku tidak ngawur. Aku hanya takut apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi
kenyataan. “
“ Memangya apa yang dikatakan orang tua itu?
“ Aku sempat mendengar, dia bilang kampong kita akan banjir darah,” jelas kacung
dengan suara bergetar.
Mendengar jawaban Kacung, semua langsung terdiam. Mereka saling
berpandangan. Ada perasaan tidak enak yang tiba – tiba menghinggapi hati mereka. Meski
mereka tahu otak Mbah Santo kurang waras, namun anehnya justru itulah yang membuat
sebagian antara mereka merasa yakin apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi kenyataan.
Karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mereka, seperti dikomando para
pemuda itu segera pulang ke rumah masing – masing. Mereka benar - benar takut apa yang
dikatakan Mbah Santo jadi kenyataan. Padahal mereka belum tahu apa yang dimaksud banjir
darah oleh Mbah Santo. Tapi dihati mereka sudah berselit bahwa banjir darah adalah
kematian. Dan mala mini seakan mereka sudah mencium bau kematian.
***************
Malam beranjak semakin gelap. Langit hitam pekat seperti lautan jelaga. Di
angkasa petir bagaikan lidah naga yang menyambar – nyambar dengan ganas deisertai
hembusan angin kencang.
Sementara orang – orang sudah tertidur lelap di ranjang masing – masing,
disebuah gubug reyot yang terletak agak jauh dari rumah penduduk, Mbah Santo sedang
duduk bersemedi di dalam kamarnya. Wajah lelaki tua Nampak tenang, dia sedang berusaha
memusatkan segenap panca indranya pada satu titik di mana dia akan mendapat kejelasan
atas sesuatu yang telah membuat hatinya gelisah.
Keesokan harinya, ketika fajar mulai merebak di ufuk timur, Mbah Santo pergi
kerumah Takim. Tentu saja pemuda yang semalam sempat dicekam rasa takut itu jadi
terkejut melihat kedatangan Mbah Santo.
“ Ada apa Mbah?” Tanya Takim sambil mengusap –usap matanya karena
semalam kurang tidur.
“Kim, apa kamu pernah melihat Ningrum telanjang?” ujur Mbah Santo balik
bertanya pada Takim?
Takim jadi terkejut mendengar partanyaan Mbah Santo yang tidak terduga itu.
Ternyata orang tua itu tidak hanya otaknya saja yang kurang waras tetapi juga kurang ajar,
pikir Takim.
“ Mbah Santo kalau bicara yang baik dan jangan begitu,” ujur Takim.
“ Aku ini serius, Kim. Kalau kamu pernah melihat Ningrum telanjang, tentunya
kamu pernah lihat noda kehitaman sebesar uang logam lima puluhandi bawah pusar atau
belahan buah dada Ningrum. Kalau kamu pernah lihat tanda seperti itu, tolong beri tahu aku.
Karena itu merupakan tanda Ajian Buto Ijo.”
Setelah menjelaskan panjang lebar apa itu Ajian Buto Ijo, kemudian dengan
tergesa – gesa Mbah Santo pulang. Dan Takim hanya berbengong – bengong memandang
keergian Mbah Santo. Baru kali ini dia melihat orang tua itu kelihatan waras meski apa yang
dikatakanya tidak masuk akal.
Sepeninggal Mbah Santo, Takim jadi gelisah. Dia memang tidak pernah melihat
Ningrum dalam keadaan telanjang bulat, tapi dia pernah melihat gadis itu mengenakan baju
tipis yang tembus pandang. Dan dibalik gaun itu dia sempat melihat noda kehitaman sebesar
uang logam lima puluhan dibelahan buah dada Ningrum. Apakah noda kehitaman di belahan
dadanya yang menghitam sebesar telapak orang dewasa.
Takim benar – benar gelisah mendengar percakapan ibu dan tetangganya itu.
Kalau yang dikatakan tetangganya itu benar, berarti apa yang dikatakan Mbah Santo juga
benar.
“ Ajian Buto Ijo itu biasanya digunakan oleh perempuan nakal. Ajain ini
digunakan orang supaya kuat berhubungan di tempat tidur sekaligus sebagai pemikat dan
mencari pasugihan. Orang yang mempunyai Ajian Buto Ijo biasanya tidak berumur panjang,
karena itu memang sudah perjanjianya. Dan bila orang itu sudah mati, maka rajah hitam di
bawah pusar atau belahan buah dadanya akan mengembang ke seluruh tubuhnya, kemudian
orang tua itu akan bangkit dari kuburanya menjadi Buto Ijo yang siap menyebar petaka,”
begitu tutur Mbah Santo yang masih diinat jelas oleh Takim.
Karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dikampungnya, malam itu juga
Takmim ke rumah Mbah Santo. Beberapa teman mengajak ngobrol di pos kampling ditolak.
Bahkan ketika dia ditertawakan karena memberi tahu maksud kedatanganya kerumah Mbah
Santo, Takim juga tidak peduli.
Sampai dirumah Mbah Santo, Takim langsung menceritakan apa yang dilihat
dan yang didenggarnya engenai noda hitam di bawah pusar dan belahan buah dada Ningrum.
Mendengar cerita Takim wajah Mbah Santo langusng tegang seperti disengat arus listrik
tagangan tinggi.
“ Gawat, kalai terlambat kampung ini bisa banjir darah!” kata Mbah Santo lalu
segera mengambil tanah kuburan yang dulu diambil dari pusara Ningrum. “ Kim, kita harus
cepat pergi sebelum ada korban,” ajaknya sambil menyeret tangan Takim.
Baru saja Mbah Santo dan Takim keluar rumah, mereka mendengar suara
teriakan dari arah utara kampung. Dan beberapa saat kemudian mereka melihat orang –
orang berlarian seperti di kejar hantu.
“ Ada apa ini? Tanya Mbah Santo pada seseorang yang hampir saja
menabraknya.
“ Anu, Mbah . . . ada makhluk aneh seperti orang gila sedang mengamuk.
Beberapa orang yang tertangkap langsung dicekik!” jawab orang itu dengan wajah pucat dan
suara terbata – bata karena dicekam rasa takut.
“ Celaka dia sudah jadi Buto Ijo!” seru Mbah Santo setengah mengeluh.
Benar apa yng dikatakan Mbah Santo. Ditengah kampung Nampak makhluk
hitam tinggi besar dengan muka kehijauan sedang mengobark – abrik rumah penduduk.
Melihat kehadiran Mbah Santo dan Takim, makhluk tinggi besar yang oleh Mbah Santo
disebut Buto Ijo itu langsung menyerang.
“ Awas mundur, Kim!” teriak Mbah Santo mengingatkan. Kemudiam Mbah
Santo dengan cepat menyiramkan tanah kubur yang dibawanya kea rah makhluk itu.
Makhluk tinggi besar itu menjerit kesakitan dan tubuhnya mengeluarkan asap seperti
terbakar.
“ Ayo kembali ke asalmu!” seru Mbah Santo sambil terus menyiram makhluk itu
dengan tanah kuburan.
Makhluk itu jatuh bergulingan di tanah dan akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Tubunhya yang hitam bersisik perlahan – lahan mengelupas dan kemudian berubah menjadi
sosok gadis cantik dengan wajah dan kulit yang sudah memucat.
“Ningrum!” seru beberapa orang yang menyaksikan keanehan itu, hampir
bersamaan.
“ Sebaiknya jasad Ningrum segera kita rawat dan besok kita makamkan
kembali!” kata Mbah Santo.
Keesokan harinya ketika kuburan Ningrum dibongkar dan jasad Ningrum
dibongkar dan jasad Ningrum di makamkan kembali, orang – orang terkejut karena di dalam
kuburan Ningrum hanya ada sebatang pohon pisang yang dibungkus kain kafan. Mereka
seakan – akan tidak percaya kalau yang dimakamkan dulu itu bukanlah jasad Ningrum
melainkan hanyalah sebatang gedebog.