MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Demi Uang Aku Kawin dengan Genderuwo

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!
Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.

Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,  ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.
Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.
Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.
Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini memilih pindah sekolah.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.
Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama  untuk pendidikannya.
Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.
Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke rumahnya.
Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah menurut ukuranku.
“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.
Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera menyambung penjelasannya.
“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”
Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.
Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”
“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.
“Kau harus kawin dengan genderuwo!”
Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”
Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.
Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung mendapatkannya!”
Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?
Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.
Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarku.
Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah membohongiku?
Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu kekuatan gaib.
Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.
Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.
“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.
Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja hilang kesadaran.
Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”
Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.
“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”
Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.
Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesusahan hidup….
Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.
“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.
Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.
Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.
Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….

Demi Uang Aku Kawin dengan Genderuwo

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!
Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.

Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,  ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.
Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.
Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.
Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini memilih pindah sekolah.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.
Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama  untuk pendidikannya.
Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.
Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke rumahnya.
Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah menurut ukuranku.
“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.
Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera menyambung penjelasannya.
“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”
Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.
Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”
“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.
“Kau harus kawin dengan genderuwo!”
Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”
Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.
Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung mendapatkannya!”
Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?
Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.
Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarku.
Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah membohongiku?
Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu kekuatan gaib.
Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.
Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.
“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.
Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja hilang kesadaran.
Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”
Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.
“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”
Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.
Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesusahan hidup….
Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.
“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.
Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.
Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.
Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….

Gara-gara Bertapa di Goa Langse

Goa Langse terletak di kaki tebing Pantai Parangtritis. Walau medannya sulit dijangkau namun banyak peziarah yang menantang maut untuk mendatanginya.Salah satunya adalah Gino. gara-gara suka judi dan main perempuan, pria asal Bantul, Yogyakarta ini usahanya bangkrut.
Karena prilaku suaminya yang sudah keterlaluan Marni, istri Gino, memilih kembali ke rumah orang tuanya dengan memboyong anak mereka yang masih balita. ”Aku tak tahan hidup serumah dengan penjudi dan suka selingkuh. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku.” Demikian salah sebagian isi surat  Marni yang ditinggalkannya di meja makan.

Ketika membaca surat ini, batin Gino tergetar. Dia merasa sangat kehilangan marni dan anaknya yang sedang lucu-lucunya itu. Gino ingin menjemput Marni dan anaknya. Namun, dia belum punya nyali untuk menyusul istrinya ke rumah mertuanya di Plered, Bantul. Apalagi keadaan dirinya sekarang sudah boleh dikatakan bangkrut total. Mobil dan barang-barang berharga yang dulu dipunyainya telah habis terjual untuk membayar utang-utangnya. Bahkan sertifikat tanahnya juga telah digadaikan, itu saja belum bisa melunasi semua utangnya. Ini semua karena kebiasaan buruk yang senang menghambur-hamburkan uang di meja judi dan main perempuan jalang.
“Aku ingin menyepi di Goa Langse untuk menenangkan diri dulu. Mudah-mudahan bisa kutemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang membelitku sekarang ini,” kata Gino pada Wahyu, sahabatnya.
Mendengar niatan sahabatnya ini Wahyu hanya mengangguk-anggukan kepalanya, karena sebagai pegawai negeri sipil golongan IIA tentu dia tidak bisa banyak membantu persoalan yang membelit kehidupan Gino. Bahkan, untuk menghidupi keluarganya sehari-hari  saja boleh dikatakan sudah sangat pas-pasan.
Gua Langse yang banyak orang mengatakan sebagai gua milik penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul, ini sejak dulu memang dikenal sebagai tempat untuk bertapa. Dr Hermanus Johanes de Graff, sejarahwan Belanda yang mengkhususkan pada pengkajian Tanah Jawa dalam buku-bukunya, menyebutkan kalau di goa inilah dulu Sunan Kalijaga sering bertapa. Demikian juga halnya dengan Syech Siti Jenar. Bahkan, para raja Mataram, seperti Panembahan Senopati  dan Sultan Agung Hanyakrakusuma sering memanfaatkan tempat ini untuk bermeditasi, terutama kalau mereka tengah menghadapi berbagai persoalan kerajaan yang cukup berat.
Karena pernah jadi tempat bermeditasi para tokoh besar, maka sampai saat ini banyak warga masyarakat yang datang ke Goa Langse untuk bertapa. Tujuannya macam-macam. Dari sekadar untuk menenangkan diri, mencari wangsit, sampai ingin mencari kekayaan dengan cara yang sebenarnya tidak dibenarkan oleh agama. Pesugihan!
Bagaimana dengan kisah Gino selanjutnya?
“Hati-hati ya, Gin. Jangan berbuat macam-macam apalagi mau bunuh diri!” pesan Wahyu saat mengantarkan Gino menuju tebing menuju Gua Langse. Wahyu merasa ngeri saat dari tebing dengan ketinggian 400 meter dan nyaris tegak lurus itu, Gino mulai menuruni tangga bambu menuju goa. Di kanan kirinya tampak banyak akar dan batuan yang menonjol, sedangkan di bawah batu-batu cadas ada ombak laut selatan yang ganas, siap melahap mereka yang karena kurang hati-jhati dalam meniti tangga dari bambu itu, lalu terlempar oleh gravitasi bumi.
Namun, tampaknya Gino sudah mantap hatinya. Dia ingin mencari ketenangan di gua itu. Sampai kapan dia akan melakukan ini, dia sendiri tak tahu. Bahkan, dalam hati dia berjanji, kalau belum merasa tenang, dia tidak akan terus bertapa.
Gino selamat meniti tangga bamboo itu. Setelah makan dan minum sebagian bekal yang dia bawa dari rumah, dia kemudian menuju telaga yang ada di ujung goa. Selain untuk mencuci tangan, dia ingin membasuhi muka dan mengguyuri rambutnya dengan air dari mata air yang juga dikeramatkan tersebut. Rasanya segar.
Setelah itu dia mencari tempat untuk menyepi.
Saat mengawali bertapa, dia masih mendengar gelegar ombak Laut Selatan yang menghantam tebing. Demikian pula dengan cericit burung yang banyak beterbangan di sekitarnya. Namun, pelan tapi pasti, suara-uara itu seperti menghilang. Dan dalam bayangannya dia seperti mengembara di padang luas yang tandus, seolah tak ada kehidupan di padang yang sangat luas tersebut.
Dalam pengembaraan di padang tandus ini Gino merasa sangat lelah dan kehausan. Namun Gino tak melihat ada telaga atau tempat yang subur yang bisa menjadi tempat untuk  sekadar berteduh.
”Akankah aku akan tersesat dan mati di tengah padang misterius ini?” tanyanya dalam hati.
Dengan sempoyongan dia terus berjalan, menapaki tanah berbatu padas yang keras. Dan setelah nyaris mati, akhirnya dia menemukan satu tanah yang subur. Dia juga melihat ada telaga dan rumah mungil di situ.
Gino ingin minum dan membasuh mukanya dengan air telaga. Namun setiap kedua tangannya mengambil air, suatu keanehan terjadi. Air yang tadinya jernih itu berubah merah darah dan berbau anyir. Gino putus asa. Namun, dia hanya bisa menangir sesunggukan.
“Nakmas kehausan ya?” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya.
Ketika Gino mengangkat wajahnya, dia melihat ada lelaki tua berambut putih semua telah berdiri di dekatnya. Aneh, seketika itu rasa hausnya jadi hilang.
“Siapakah Kakek ini sebenarnya?” tanya Gino. Dia heran karena lelaki tua itu berpakaian seperti orang yang hidup di zaman Majapahit, dengan rambut digelung dan berkain lurik.
“Nanti Nakmas akan tahu sendiri!” senyum si kakek. “Kalau ingin istirahat Nakmas bisa mampir di rumah saya. Mari, silakan!” katanya memberi tawaran menarik bagi Gino.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Gino pun menyambut tawaran si kakek. Anehnya, orang tua ini ternyata tidak tinggal sendirian, karena di rumah yang mungil itu juga tinggal dua orang perempuan, yang satu sudah tua dan tampaknya isteri dari si kakek misterius, sedangkan yang satunya muda. Pastilah anak atau cucunya. Gadis belia ini tampak cantik walau berpakaian gaya masa lampau, dengan kebaya warna hijau pupus.
Wanita muda itu tersenyum saat melihat si kakek datang dengan seorang lelaki muda. Gino membalas senyum itu meski masih merasa heran.
“Dia Suli, anakku, Nakmas!”.si kakek memperkenalkan anaknya. Sementara itu, Suli hanya tersipu ketika bapaknya mengenalkan dirinya pada sang tamu.
Walau semula hanya biasa saja terhadap gadis itu, namun lambar laun Gino seperti tersihir dengan kecantikan Suli. Rupanya, hal ini disadari benar oleh orang tua gadis tersebut.
“Nakmas, kami memang sengaja membawamu ke sini karena kami ingin mengambil Nakmas sebagai menantu, ” kata si kakek.
Gino kaget melihatnya. Memang kalau dilihat kecantikannya, sebagai lelaki dia sangat terpesona pada kecantikan Suli. Namun, di saat yang ama, dia juga teringat pada isteri dan anaknya yang masih balita.
“Kalau Nakmas sudah beristeri, Suli juga bisa dijadikan isteri kedua.Lelaki kan bisa beristeri sampai empat,” kata si kakek lagi seolah dapat membaca kegundahan hati Gino. “Kamu mau kan Suli jadi istri kedua?”  tanyanya pula kepada anak gadisnya. Suli tampak tersipu-sipu.
“Kalau saya sih terserah Rama saja!” jawabnya sambil senyum.
Namun, Gino masih berat hatinya, karena dia sangat mencintai Marni, isterinya, yang sedang mutung itu. Selain itu juga dia merasa belum memberikan kasih saying secara utuh pada isteri dan anak semata wayangnya. Selama ini dia terlalu asyik masyuk dengan judi dan main perempuan. Dan dia tak ingin melukai hati istrinya lebih dalam lagi.
“Apakah Nakmas melihat Suli kurang cantik?” tanya si kakek melihat Gino hanya diam membisu.
Lelaki yang pernah mengenyam kesuksesn di bisnis jual beli kendaraan bekas ini hanya menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. Kalau melihat kecantikan Suli, memang lelaki mana yang tidak akan tergoda. Namun kalau ingat isteri dan anaknya yang telah lama dia sia-siakan, Gino merasa alangkah kejamnya kalau dia yang selama ini belum pernah membahagiakan mereka, lalu mengkhianati mereka dengan memperistri Suli.
“Apakah Nakmas harus saya paksa untuk menerima tawaran baik ini?” si kakek tiba-tiba bertanya dengan nada keras. Karuan, Gino terkejut melihat perubahan sikapnya.
“Ingat, sekarang Nakmas berasa di alam lain, dan tidak akan kembali ke dunia nyata. Aku yang akan menghalanginya!” tiba-tiba laki-laki tua yang masih tampak gagah itu mengancam. Dia juga mengeluarkan pecutnya yang ketika dihantamkan ke tanah mampu membuat batu padas berkeping-keping. Suara pecut ini begitu menggelegar, serta mengeluarkan percikan api. Gino ketakutan. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya.
“Astaghfirulah!” tak sadar Gino beristighfar. Memang, jauh sebelum menjadi penjudi dan main perempuan, Gino sebenarnya termasuk ahli sembahyang. Dulu dia hidup di tengah keluarga santri.Hanya karena salah dalam pergaulan saja dia menjadi mursal dan melupakan ajaran-ajaran agama yang sedari kecil sampai remaja dia tekuni.
Anehnya, mendengar kalimat Istighfar dalari mulut Gino, lelaki tua itu seperti dihantam pukulan keras sehingga membuatnya terlempar jauh. Yang tak kalah mengherankan, lelaki itu wujudnya berubah mengerikan. Demikian juga halnya dengan Suli. Wajahnya yang semula cantik itu tiba-tiba berubah menyeramkan.
“Kau memang harus kupaksa agar jadi penghuni tempat ini bersama kami!” Mahkluk berwajah bengis itu terus merangsek Gino.
Dengan penus kepasrahan diri, Gino pun terus menggumamkan wiridnya. Bahkan dia juga menambahi dengan membaca ayat Kursyi.
Apa yang kemudian terjadi?
Demi mendengar ayat suci Al Quran dari mulut Gino, mahluk-mahluk misterius yang menakutkan semakin kalang kabut. Bahkan kemudian hancur berkeping-keping.
“Alhamdulillah!” cetus Gino spontan. Aneh, ketika ucapan syukur itu diucapkan secara, maka secara berbarengan dia telah berada di atas tempat tidur. Yang membuat kaget, di sekelilingnya juga ada Marni, isterinya, mertuanya, juga Wahyu, sahabatnya. Masih banyak lagi orang-orang yang tidak dikenalinya ada di sana.
“Kamu sudah sadar, Anakku!” bisik seorang kakek, tapi bukan kakek yang dia temui di padang misterius itu. Orang tua ini ternyata sesepuh masyarakat yang tinggal di kawasan Parangtritis. Dia juga yang kemudian menerangkan kalau dirinya telah ditemukan oleh peziarah lain tak sadar diri tak jauh dari lokasi Goa Langse.
“Tampaknya kamu nyaris kalap dibawa oleh mahluk alam lain yang menunggui Goa Langse. Untung kamu masih bisa melawan kekuatan mereka. Andaikata kamu mau diambil menantu penunggu goa itu, tentu kamu sudah tidak berada di sini,” papar sesepuh itu setelah mendengar cerita dari Gino ketika tersesat di padang luas misterius, yang ternyata berada di alam gaib itu.
Gino sendiri juga bingung kenapa bisa sampai seperti itu kejadiannya. Bukankah semula niatnya hanya ingin menenangkan diri, melepaskan diri dari kesumpekan? Padajal, dia juga merasa tidak ke mana-mana. Hanya berdiam mengheningkan cipta, tak pernah bernjak dari batu yang menjadi tempatnya duduk bersila itu.
Setelah mengalami kejadian ini, Gino berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Dia tidak pernah lagi berjudi, apalagi main perempuan. Hubungan dengan isterinya juga semakin mesra, dan tampaknya telah menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Bahkan, Gino sekarang telah menjadi pengurus takmir masjid di kampungnya.

Gara-gara Bertapa di Goa Langse

Goa Langse terletak di kaki tebing Pantai Parangtritis. Walau medannya sulit dijangkau namun banyak peziarah yang menantang maut untuk mendatanginya.Salah satunya adalah Gino. gara-gara suka judi dan main perempuan, pria asal Bantul, Yogyakarta ini usahanya bangkrut.
Karena prilaku suaminya yang sudah keterlaluan Marni, istri Gino, memilih kembali ke rumah orang tuanya dengan memboyong anak mereka yang masih balita. ”Aku tak tahan hidup serumah dengan penjudi dan suka selingkuh. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku.” Demikian salah sebagian isi surat  Marni yang ditinggalkannya di meja makan.

Ketika membaca surat ini, batin Gino tergetar. Dia merasa sangat kehilangan marni dan anaknya yang sedang lucu-lucunya itu. Gino ingin menjemput Marni dan anaknya. Namun, dia belum punya nyali untuk menyusul istrinya ke rumah mertuanya di Plered, Bantul. Apalagi keadaan dirinya sekarang sudah boleh dikatakan bangkrut total. Mobil dan barang-barang berharga yang dulu dipunyainya telah habis terjual untuk membayar utang-utangnya. Bahkan sertifikat tanahnya juga telah digadaikan, itu saja belum bisa melunasi semua utangnya. Ini semua karena kebiasaan buruk yang senang menghambur-hamburkan uang di meja judi dan main perempuan jalang.
“Aku ingin menyepi di Goa Langse untuk menenangkan diri dulu. Mudah-mudahan bisa kutemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang membelitku sekarang ini,” kata Gino pada Wahyu, sahabatnya.
Mendengar niatan sahabatnya ini Wahyu hanya mengangguk-anggukan kepalanya, karena sebagai pegawai negeri sipil golongan IIA tentu dia tidak bisa banyak membantu persoalan yang membelit kehidupan Gino. Bahkan, untuk menghidupi keluarganya sehari-hari  saja boleh dikatakan sudah sangat pas-pasan.
Gua Langse yang banyak orang mengatakan sebagai gua milik penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul, ini sejak dulu memang dikenal sebagai tempat untuk bertapa. Dr Hermanus Johanes de Graff, sejarahwan Belanda yang mengkhususkan pada pengkajian Tanah Jawa dalam buku-bukunya, menyebutkan kalau di goa inilah dulu Sunan Kalijaga sering bertapa. Demikian juga halnya dengan Syech Siti Jenar. Bahkan, para raja Mataram, seperti Panembahan Senopati  dan Sultan Agung Hanyakrakusuma sering memanfaatkan tempat ini untuk bermeditasi, terutama kalau mereka tengah menghadapi berbagai persoalan kerajaan yang cukup berat.
Karena pernah jadi tempat bermeditasi para tokoh besar, maka sampai saat ini banyak warga masyarakat yang datang ke Goa Langse untuk bertapa. Tujuannya macam-macam. Dari sekadar untuk menenangkan diri, mencari wangsit, sampai ingin mencari kekayaan dengan cara yang sebenarnya tidak dibenarkan oleh agama. Pesugihan!
Bagaimana dengan kisah Gino selanjutnya?
“Hati-hati ya, Gin. Jangan berbuat macam-macam apalagi mau bunuh diri!” pesan Wahyu saat mengantarkan Gino menuju tebing menuju Gua Langse. Wahyu merasa ngeri saat dari tebing dengan ketinggian 400 meter dan nyaris tegak lurus itu, Gino mulai menuruni tangga bambu menuju goa. Di kanan kirinya tampak banyak akar dan batuan yang menonjol, sedangkan di bawah batu-batu cadas ada ombak laut selatan yang ganas, siap melahap mereka yang karena kurang hati-jhati dalam meniti tangga dari bambu itu, lalu terlempar oleh gravitasi bumi.
Namun, tampaknya Gino sudah mantap hatinya. Dia ingin mencari ketenangan di gua itu. Sampai kapan dia akan melakukan ini, dia sendiri tak tahu. Bahkan, dalam hati dia berjanji, kalau belum merasa tenang, dia tidak akan terus bertapa.
Gino selamat meniti tangga bamboo itu. Setelah makan dan minum sebagian bekal yang dia bawa dari rumah, dia kemudian menuju telaga yang ada di ujung goa. Selain untuk mencuci tangan, dia ingin membasuhi muka dan mengguyuri rambutnya dengan air dari mata air yang juga dikeramatkan tersebut. Rasanya segar.
Setelah itu dia mencari tempat untuk menyepi.
Saat mengawali bertapa, dia masih mendengar gelegar ombak Laut Selatan yang menghantam tebing. Demikian pula dengan cericit burung yang banyak beterbangan di sekitarnya. Namun, pelan tapi pasti, suara-uara itu seperti menghilang. Dan dalam bayangannya dia seperti mengembara di padang luas yang tandus, seolah tak ada kehidupan di padang yang sangat luas tersebut.
Dalam pengembaraan di padang tandus ini Gino merasa sangat lelah dan kehausan. Namun Gino tak melihat ada telaga atau tempat yang subur yang bisa menjadi tempat untuk  sekadar berteduh.
”Akankah aku akan tersesat dan mati di tengah padang misterius ini?” tanyanya dalam hati.
Dengan sempoyongan dia terus berjalan, menapaki tanah berbatu padas yang keras. Dan setelah nyaris mati, akhirnya dia menemukan satu tanah yang subur. Dia juga melihat ada telaga dan rumah mungil di situ.
Gino ingin minum dan membasuh mukanya dengan air telaga. Namun setiap kedua tangannya mengambil air, suatu keanehan terjadi. Air yang tadinya jernih itu berubah merah darah dan berbau anyir. Gino putus asa. Namun, dia hanya bisa menangir sesunggukan.
“Nakmas kehausan ya?” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya.
Ketika Gino mengangkat wajahnya, dia melihat ada lelaki tua berambut putih semua telah berdiri di dekatnya. Aneh, seketika itu rasa hausnya jadi hilang.
“Siapakah Kakek ini sebenarnya?” tanya Gino. Dia heran karena lelaki tua itu berpakaian seperti orang yang hidup di zaman Majapahit, dengan rambut digelung dan berkain lurik.
“Nanti Nakmas akan tahu sendiri!” senyum si kakek. “Kalau ingin istirahat Nakmas bisa mampir di rumah saya. Mari, silakan!” katanya memberi tawaran menarik bagi Gino.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Gino pun menyambut tawaran si kakek. Anehnya, orang tua ini ternyata tidak tinggal sendirian, karena di rumah yang mungil itu juga tinggal dua orang perempuan, yang satu sudah tua dan tampaknya isteri dari si kakek misterius, sedangkan yang satunya muda. Pastilah anak atau cucunya. Gadis belia ini tampak cantik walau berpakaian gaya masa lampau, dengan kebaya warna hijau pupus.
Wanita muda itu tersenyum saat melihat si kakek datang dengan seorang lelaki muda. Gino membalas senyum itu meski masih merasa heran.
“Dia Suli, anakku, Nakmas!”.si kakek memperkenalkan anaknya. Sementara itu, Suli hanya tersipu ketika bapaknya mengenalkan dirinya pada sang tamu.
Walau semula hanya biasa saja terhadap gadis itu, namun lambar laun Gino seperti tersihir dengan kecantikan Suli. Rupanya, hal ini disadari benar oleh orang tua gadis tersebut.
“Nakmas, kami memang sengaja membawamu ke sini karena kami ingin mengambil Nakmas sebagai menantu, ” kata si kakek.
Gino kaget melihatnya. Memang kalau dilihat kecantikannya, sebagai lelaki dia sangat terpesona pada kecantikan Suli. Namun, di saat yang ama, dia juga teringat pada isteri dan anaknya yang masih balita.
“Kalau Nakmas sudah beristeri, Suli juga bisa dijadikan isteri kedua.Lelaki kan bisa beristeri sampai empat,” kata si kakek lagi seolah dapat membaca kegundahan hati Gino. “Kamu mau kan Suli jadi istri kedua?”  tanyanya pula kepada anak gadisnya. Suli tampak tersipu-sipu.
“Kalau saya sih terserah Rama saja!” jawabnya sambil senyum.
Namun, Gino masih berat hatinya, karena dia sangat mencintai Marni, isterinya, yang sedang mutung itu. Selain itu juga dia merasa belum memberikan kasih saying secara utuh pada isteri dan anak semata wayangnya. Selama ini dia terlalu asyik masyuk dengan judi dan main perempuan. Dan dia tak ingin melukai hati istrinya lebih dalam lagi.
“Apakah Nakmas melihat Suli kurang cantik?” tanya si kakek melihat Gino hanya diam membisu.
Lelaki yang pernah mengenyam kesuksesn di bisnis jual beli kendaraan bekas ini hanya menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. Kalau melihat kecantikan Suli, memang lelaki mana yang tidak akan tergoda. Namun kalau ingat isteri dan anaknya yang telah lama dia sia-siakan, Gino merasa alangkah kejamnya kalau dia yang selama ini belum pernah membahagiakan mereka, lalu mengkhianati mereka dengan memperistri Suli.
“Apakah Nakmas harus saya paksa untuk menerima tawaran baik ini?” si kakek tiba-tiba bertanya dengan nada keras. Karuan, Gino terkejut melihat perubahan sikapnya.
“Ingat, sekarang Nakmas berasa di alam lain, dan tidak akan kembali ke dunia nyata. Aku yang akan menghalanginya!” tiba-tiba laki-laki tua yang masih tampak gagah itu mengancam. Dia juga mengeluarkan pecutnya yang ketika dihantamkan ke tanah mampu membuat batu padas berkeping-keping. Suara pecut ini begitu menggelegar, serta mengeluarkan percikan api. Gino ketakutan. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya.
“Astaghfirulah!” tak sadar Gino beristighfar. Memang, jauh sebelum menjadi penjudi dan main perempuan, Gino sebenarnya termasuk ahli sembahyang. Dulu dia hidup di tengah keluarga santri.Hanya karena salah dalam pergaulan saja dia menjadi mursal dan melupakan ajaran-ajaran agama yang sedari kecil sampai remaja dia tekuni.
Anehnya, mendengar kalimat Istighfar dalari mulut Gino, lelaki tua itu seperti dihantam pukulan keras sehingga membuatnya terlempar jauh. Yang tak kalah mengherankan, lelaki itu wujudnya berubah mengerikan. Demikian juga halnya dengan Suli. Wajahnya yang semula cantik itu tiba-tiba berubah menyeramkan.
“Kau memang harus kupaksa agar jadi penghuni tempat ini bersama kami!” Mahkluk berwajah bengis itu terus merangsek Gino.
Dengan penus kepasrahan diri, Gino pun terus menggumamkan wiridnya. Bahkan dia juga menambahi dengan membaca ayat Kursyi.
Apa yang kemudian terjadi?
Demi mendengar ayat suci Al Quran dari mulut Gino, mahluk-mahluk misterius yang menakutkan semakin kalang kabut. Bahkan kemudian hancur berkeping-keping.
“Alhamdulillah!” cetus Gino spontan. Aneh, ketika ucapan syukur itu diucapkan secara, maka secara berbarengan dia telah berada di atas tempat tidur. Yang membuat kaget, di sekelilingnya juga ada Marni, isterinya, mertuanya, juga Wahyu, sahabatnya. Masih banyak lagi orang-orang yang tidak dikenalinya ada di sana.
“Kamu sudah sadar, Anakku!” bisik seorang kakek, tapi bukan kakek yang dia temui di padang misterius itu. Orang tua ini ternyata sesepuh masyarakat yang tinggal di kawasan Parangtritis. Dia juga yang kemudian menerangkan kalau dirinya telah ditemukan oleh peziarah lain tak sadar diri tak jauh dari lokasi Goa Langse.
“Tampaknya kamu nyaris kalap dibawa oleh mahluk alam lain yang menunggui Goa Langse. Untung kamu masih bisa melawan kekuatan mereka. Andaikata kamu mau diambil menantu penunggu goa itu, tentu kamu sudah tidak berada di sini,” papar sesepuh itu setelah mendengar cerita dari Gino ketika tersesat di padang luas misterius, yang ternyata berada di alam gaib itu.
Gino sendiri juga bingung kenapa bisa sampai seperti itu kejadiannya. Bukankah semula niatnya hanya ingin menenangkan diri, melepaskan diri dari kesumpekan? Padajal, dia juga merasa tidak ke mana-mana. Hanya berdiam mengheningkan cipta, tak pernah bernjak dari batu yang menjadi tempatnya duduk bersila itu.
Setelah mengalami kejadian ini, Gino berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Dia tidak pernah lagi berjudi, apalagi main perempuan. Hubungan dengan isterinya juga semakin mesra, dan tampaknya telah menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Bahkan, Gino sekarang telah menjadi pengurus takmir masjid di kampungnya.

Aura Mistis di Gunung Watu Temanggung

Sepintas lalu, perbukitan yang terletak di Desa Seseh, Kec. Gemawang, Kab. Temanggung, tak jauh beda dengan perbukitan daerah lainnya. Namun di balik semua itu, ternyata di lokasi perbukitan yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Gunung Watu ini, terdapat komunitas makhluk halus yang luar biasa dan sangat peduli dengan kelestarian lingkungan.
Pengalaman ini berawal pada bulan Februari 2004, ketika Misteri bersama rekan sebanyak sepuluh orang mengadakan touring ke Desa Seseh. Selain kami sudah jenuh dengan keramaian Yogyakarta, juga dikarenakan pada bulan itu bertepatan dengan musim panen di Desa Seseh. Jadi sekalian membantu hasil kebun di perkebunan orang tua salah seorang teman.
Setelah hari pertama dan kedua kami sibuk memanen kopi, pada hari ketiga Misteri dan rombongan merencanakn kembali ke Yogyakarta. Sebelum pulang, pada pagi harinya kami berkeinginan melakukan pendakian ke puncak Gunung Watu. Selain dikarenakan keindahan pemandangannya, juga karena banyaknya cerita mistis yang beredar di seputar Gunung Watu. Hal inilah yang membuat Misteri penasaran untuk membuktikan kebenarannya.

Dengan persiapan seadanya, kami berangkat menuju puncak Gunung Watu. Menjelang puncak bukit, kami singgah di pondok milik Hijib Wahyudi, 23 tahun, yang memiliki sedikit kelebihan supranatural, sekaligus memintanya menjadi pemandu. Kebetulan Hijib sedang tidak berkebun.
Sepuluh menit perjalanan, kami sudah di Gunung Watu. Sebelum melihat-lihat keadaan sekitar, Hijib Wahyudi mengajak rombongan untuk berziarah ke makam Mbah Setro Pati, penghuni pertama Desa Seseh. Menurut sejarah, tokoh ini dulunya adalah seorang Senopati Perang beragam Islam yang berasal dari Keraton Surakarta. Dikarenakan keadaan kerajaan yang kacau balau, Mbah Setro Pati memilih mengasingkan diri menyingkir dari kerajaan dan mengembara ke arah barat utara. Hingga akhirnya sampailah dia di hutan belantara yang sekarang dikenal dengan nama Desa Seseh.
Di tempat ini Mbah Setro Pati melakukan babad alas, yang dalam prosesnya banyak mengalami gangguan dari makhluk halus. Makhluk halus itu dipimpin oleh rajanya yang berwujud siluman ular naga bernama Naga Pratala.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Mbah Setro Pati berhasil memenangkan pertarungan dengan raja siluman penguasa hutan tersebut. Akhirnya, Naga Pratala dan rakyatnya takluk dan mengabdi kepada Mbah Setro Pati.
Semakin lama, semakin banyak pendatang yang ikut tinggal di Desa Seseh, sehingga menjadikan desa tersebut ramai. Kepada penduduk sekitar, Mbah Setro Pati mengajarkan agama Islam dan seni bercocok tanam. Setelah usia lanjut, dia wafat dan dimakamkan di atas Gunung Watu. Konon, Mbah Setro Pati tetap mengawasi penduduk Desa Seseh dari alam gaib Gunung Watu.
Sumber lain menyebutkan, Mbah Setro Pati wafat setelah bertarung hebat dengan Mbah Demang penguasa Desa Srumbung, desa tetangga. Hingga sejak saat itu dipercaya bila antara kedua desa tersebut ada warganya yang melangsungkan pernikahan antara desa, maka akan mengalami perceraian.
Menurut warga sekitar, pada malam-malam tertentu, sering terlihat cahaya kuning kemerahan muncul dari aera makam Mbah Setra Pati. Sugiyanto Tukul, 22 tahun penduduk setempat, memberi kesaksian, ketika dirinya sendang mencari rumput di sawah dari arah makam Mbah Setro Pati muncul cahaya kuning menuju langit, disusul datangnya cahaya merah dari Desa Srumbung. Kedua cahaya tersebut terlihat bertabrakan di angkasa. Melihat peristiwa tersebut, dirinya bergegas pulang ke rumah.
Informasi yang Misteri peroleh dari Hijib Wahyudi, walaupun kedua tokoh sakti tersebut telah wafat, tetapi ilmu mereka masih bertempur di alam gaib hingga saat ini. Konon, hal itulah yang sering terlihat  oleh warga sekitar berupa penampakan cahaya merah dan kuning yang bertabrakan di angkasa.
Hari itum, ketika perjalanan kami sampai di makam Mbah Setro Pati yang kondisinya kurang begitu terawat, aura mistis mulai menyengat. Misteri beserta rombongan dipimpin oleh Hijib langsung mengadakan kontemplasi. Sesaat aura mistis terasa mengental. Namun sayang, rupanya Mbah Setro Pati belum kepareng untuk hadir di hadapan kami, yang tampak hanyalah kabut putih pekat.
Penerawangan lalu kami alihkan pada gundukan tanah di samping makam. Dalam alam batin terlihat, suatu ruangan besar bergaya Jawa Kuno, dengan peti berukir di tengah ruangan yang berisi beberapa benda pusaka yang dahulu menjadi piandel Mbah Setro Pati. Ada juga puluhan batu akik yang ikut manggon di tempat tersebut. Juga terlihat Qur’an Stambul dengan khodam lelaki bersorban putih yang menurut penerawangan berkaromah untuk kekebalan, keselamatan, dan penyembuhan.
Pusaka berikutnya yang terlihat adalah Pecut Kencono, dengan khodam lelaki gagah berpakaian Warok Ponorogo. Sedangkan benda lainnya berwujud keris luk tujuh berkhodam lelaki berpakaian Jawa dengan penampakan agak samar.
Setelah bersopan santun dengan para wulucumbu Mbah Setro Pati, uluk salam pamit kami ucapkan. Wujud fisik Mbah Setro Pati sendiri, kami ketahui dari kemampuan gaib Hijib yiatu berupa seorang lelaki tua berpakaian pendekar silat dengan baju dan celana hitam serta mengenakan ikat wulung di kepalanya. Sayang kami gagal berdialog dengannya.
Perjalanan kami lanjutkan ke suatu tempat yang bernam Watu Gunung yaitu sebuah batu hitam besar seukuran mobil truk, terletak kurang lebih 30 meter dari lokasi makam Mbah Setro Pati. Dari atas Watu Gunung, kami menikmati keindahan alam pagi Desa Seseh dengan sempurna.
Entah kenapa, tiba-tiba Misteri merasakan undangan yang kuat dari gaib tempat tersebut. Akhirnya, berdua ditemani Hijib, Misteri melakukan kontemplasi. Hadiah bacaan surat Al-Fatihah kami haturkan kepada gaib tempat tersebut.
Sesaat gelap, cahaya putih menerpa kening penulis. Lalu terlihat sebuah bangunan kuno yang seni arsitekturnya bergaya Jawa Kuno dan agak lebih kecil dibandingkan bangunan gaib yang terdapat di makam Mbah Setro Pati.
Uluk salam pun dihaturkan. Di hadapan Penulis kini berdiri sesosok macan putih, yang penampakannya sedikit demi sedikit berubah menjadi lelaki tua gagah, berpakaian ala pendekar silat, dengan baju hitam tanpa kancing dan celana komprang hitam setinggi betis.
“Ada keperluan apa cucu berdua datang ke sini?” sapa sosok itu, ramah.
Kami pun memperkenalkan diri serta mengemukakan maksud tujuan kami.
“Isun, Ki Macan Putih. Isun terkesan melihat cucu berdua datang ke tempat ini, dengan penuh kesopanan.”
Matur nuwun, Ki. Sudah merupakan seharusnya kami yang lebih muda untuk menghormati para sesepuh di sini!” jawab Hijib, takzim.
“Mohon maaf, Ki. bila Aki berkanan, siapakah sejatinya Aki?” sambung Misteri minta penjelasan.
“Isun adalah salah satu makhluk Allah, yang bertugas menjaga kelestarian alam sekitar Gunung Watu, di bawah pengawasan Kanjeng Gusti Setro Pati. Anak buah isun, meliputi wadya bala makhluk halus daerah wilayah ini. Isun sedih, melihat bayak penebang liar yang semena-mena merusak hutan, hingga menjadi terganggu keseimbangannya.”
Sejenak Ki Macan Putih tampak menarik nafas, dan raut mukanya terlihat sedih.
“Tolong cucu berdua sampaikan pada mereka, bila tidak berhenti merusak alam, jangan salahkan kalau kami memberikan hukuman dengan cara kami. Tunggulah saatnya, bencana besar sebentar lagi akan melanda negeri. Segeralah bertobat, eling lan waspada!”
Selesai memberi wejangan, sosok Ki Macan Putih kembali menjadi seekor macan. Disertai auman dahsyat, dia kemudian menghilang. Misteri pun tersentak dan kembali menyatu dengan alam dimensi nyata. Setelah itu, kami mengucap salam perpisahan dan mengakhiri kontemplasi.
Setelah menikmati pemandangan alam, perjalanan kami sudahi. Karena matahari semakin tinggi.
Di tengah perjalanan pulang dari Temanggung menuju Yogyakarta, Misteri banyak merenung, teringat petuah Ki Macan Putih. Alam telah jenuh dengan tingkah manusia, dan saatnya alam menunjukkan kekuatannya.
Kapan saat itu tiba? Mungkin semuanya telah terwujud dengan bencana yang melanda di berbagai belahan bumi Nusantara? Misteri bergidik ngeri mengingat hal tersebut. Sungguh, perjalanan yang begitu terkesan.

Aura Mistis di Gunung Watu Temanggung

Sepintas lalu, perbukitan yang terletak di Desa Seseh, Kec. Gemawang, Kab. Temanggung, tak jauh beda dengan perbukitan daerah lainnya. Namun di balik semua itu, ternyata di lokasi perbukitan yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Gunung Watu ini, terdapat komunitas makhluk halus yang luar biasa dan sangat peduli dengan kelestarian lingkungan.
Pengalaman ini berawal pada bulan Februari 2004, ketika Misteri bersama rekan sebanyak sepuluh orang mengadakan touring ke Desa Seseh. Selain kami sudah jenuh dengan keramaian Yogyakarta, juga dikarenakan pada bulan itu bertepatan dengan musim panen di Desa Seseh. Jadi sekalian membantu hasil kebun di perkebunan orang tua salah seorang teman.
Setelah hari pertama dan kedua kami sibuk memanen kopi, pada hari ketiga Misteri dan rombongan merencanakn kembali ke Yogyakarta. Sebelum pulang, pada pagi harinya kami berkeinginan melakukan pendakian ke puncak Gunung Watu. Selain dikarenakan keindahan pemandangannya, juga karena banyaknya cerita mistis yang beredar di seputar Gunung Watu. Hal inilah yang membuat Misteri penasaran untuk membuktikan kebenarannya.

Dengan persiapan seadanya, kami berangkat menuju puncak Gunung Watu. Menjelang puncak bukit, kami singgah di pondok milik Hijib Wahyudi, 23 tahun, yang memiliki sedikit kelebihan supranatural, sekaligus memintanya menjadi pemandu. Kebetulan Hijib sedang tidak berkebun.
Sepuluh menit perjalanan, kami sudah di Gunung Watu. Sebelum melihat-lihat keadaan sekitar, Hijib Wahyudi mengajak rombongan untuk berziarah ke makam Mbah Setro Pati, penghuni pertama Desa Seseh. Menurut sejarah, tokoh ini dulunya adalah seorang Senopati Perang beragam Islam yang berasal dari Keraton Surakarta. Dikarenakan keadaan kerajaan yang kacau balau, Mbah Setro Pati memilih mengasingkan diri menyingkir dari kerajaan dan mengembara ke arah barat utara. Hingga akhirnya sampailah dia di hutan belantara yang sekarang dikenal dengan nama Desa Seseh.
Di tempat ini Mbah Setro Pati melakukan babad alas, yang dalam prosesnya banyak mengalami gangguan dari makhluk halus. Makhluk halus itu dipimpin oleh rajanya yang berwujud siluman ular naga bernama Naga Pratala.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Mbah Setro Pati berhasil memenangkan pertarungan dengan raja siluman penguasa hutan tersebut. Akhirnya, Naga Pratala dan rakyatnya takluk dan mengabdi kepada Mbah Setro Pati.
Semakin lama, semakin banyak pendatang yang ikut tinggal di Desa Seseh, sehingga menjadikan desa tersebut ramai. Kepada penduduk sekitar, Mbah Setro Pati mengajarkan agama Islam dan seni bercocok tanam. Setelah usia lanjut, dia wafat dan dimakamkan di atas Gunung Watu. Konon, Mbah Setro Pati tetap mengawasi penduduk Desa Seseh dari alam gaib Gunung Watu.
Sumber lain menyebutkan, Mbah Setro Pati wafat setelah bertarung hebat dengan Mbah Demang penguasa Desa Srumbung, desa tetangga. Hingga sejak saat itu dipercaya bila antara kedua desa tersebut ada warganya yang melangsungkan pernikahan antara desa, maka akan mengalami perceraian.
Menurut warga sekitar, pada malam-malam tertentu, sering terlihat cahaya kuning kemerahan muncul dari aera makam Mbah Setra Pati. Sugiyanto Tukul, 22 tahun penduduk setempat, memberi kesaksian, ketika dirinya sendang mencari rumput di sawah dari arah makam Mbah Setro Pati muncul cahaya kuning menuju langit, disusul datangnya cahaya merah dari Desa Srumbung. Kedua cahaya tersebut terlihat bertabrakan di angkasa. Melihat peristiwa tersebut, dirinya bergegas pulang ke rumah.
Informasi yang Misteri peroleh dari Hijib Wahyudi, walaupun kedua tokoh sakti tersebut telah wafat, tetapi ilmu mereka masih bertempur di alam gaib hingga saat ini. Konon, hal itulah yang sering terlihat  oleh warga sekitar berupa penampakan cahaya merah dan kuning yang bertabrakan di angkasa.
Hari itum, ketika perjalanan kami sampai di makam Mbah Setro Pati yang kondisinya kurang begitu terawat, aura mistis mulai menyengat. Misteri beserta rombongan dipimpin oleh Hijib langsung mengadakan kontemplasi. Sesaat aura mistis terasa mengental. Namun sayang, rupanya Mbah Setro Pati belum kepareng untuk hadir di hadapan kami, yang tampak hanyalah kabut putih pekat.
Penerawangan lalu kami alihkan pada gundukan tanah di samping makam. Dalam alam batin terlihat, suatu ruangan besar bergaya Jawa Kuno, dengan peti berukir di tengah ruangan yang berisi beberapa benda pusaka yang dahulu menjadi piandel Mbah Setro Pati. Ada juga puluhan batu akik yang ikut manggon di tempat tersebut. Juga terlihat Qur’an Stambul dengan khodam lelaki bersorban putih yang menurut penerawangan berkaromah untuk kekebalan, keselamatan, dan penyembuhan.
Pusaka berikutnya yang terlihat adalah Pecut Kencono, dengan khodam lelaki gagah berpakaian Warok Ponorogo. Sedangkan benda lainnya berwujud keris luk tujuh berkhodam lelaki berpakaian Jawa dengan penampakan agak samar.
Setelah bersopan santun dengan para wulucumbu Mbah Setro Pati, uluk salam pamit kami ucapkan. Wujud fisik Mbah Setro Pati sendiri, kami ketahui dari kemampuan gaib Hijib yiatu berupa seorang lelaki tua berpakaian pendekar silat dengan baju dan celana hitam serta mengenakan ikat wulung di kepalanya. Sayang kami gagal berdialog dengannya.
Perjalanan kami lanjutkan ke suatu tempat yang bernam Watu Gunung yaitu sebuah batu hitam besar seukuran mobil truk, terletak kurang lebih 30 meter dari lokasi makam Mbah Setro Pati. Dari atas Watu Gunung, kami menikmati keindahan alam pagi Desa Seseh dengan sempurna.
Entah kenapa, tiba-tiba Misteri merasakan undangan yang kuat dari gaib tempat tersebut. Akhirnya, berdua ditemani Hijib, Misteri melakukan kontemplasi. Hadiah bacaan surat Al-Fatihah kami haturkan kepada gaib tempat tersebut.
Sesaat gelap, cahaya putih menerpa kening penulis. Lalu terlihat sebuah bangunan kuno yang seni arsitekturnya bergaya Jawa Kuno dan agak lebih kecil dibandingkan bangunan gaib yang terdapat di makam Mbah Setro Pati.
Uluk salam pun dihaturkan. Di hadapan Penulis kini berdiri sesosok macan putih, yang penampakannya sedikit demi sedikit berubah menjadi lelaki tua gagah, berpakaian ala pendekar silat, dengan baju hitam tanpa kancing dan celana komprang hitam setinggi betis.
“Ada keperluan apa cucu berdua datang ke sini?” sapa sosok itu, ramah.
Kami pun memperkenalkan diri serta mengemukakan maksud tujuan kami.
“Isun, Ki Macan Putih. Isun terkesan melihat cucu berdua datang ke tempat ini, dengan penuh kesopanan.”
Matur nuwun, Ki. Sudah merupakan seharusnya kami yang lebih muda untuk menghormati para sesepuh di sini!” jawab Hijib, takzim.
“Mohon maaf, Ki. bila Aki berkanan, siapakah sejatinya Aki?” sambung Misteri minta penjelasan.
“Isun adalah salah satu makhluk Allah, yang bertugas menjaga kelestarian alam sekitar Gunung Watu, di bawah pengawasan Kanjeng Gusti Setro Pati. Anak buah isun, meliputi wadya bala makhluk halus daerah wilayah ini. Isun sedih, melihat bayak penebang liar yang semena-mena merusak hutan, hingga menjadi terganggu keseimbangannya.”
Sejenak Ki Macan Putih tampak menarik nafas, dan raut mukanya terlihat sedih.
“Tolong cucu berdua sampaikan pada mereka, bila tidak berhenti merusak alam, jangan salahkan kalau kami memberikan hukuman dengan cara kami. Tunggulah saatnya, bencana besar sebentar lagi akan melanda negeri. Segeralah bertobat, eling lan waspada!”
Selesai memberi wejangan, sosok Ki Macan Putih kembali menjadi seekor macan. Disertai auman dahsyat, dia kemudian menghilang. Misteri pun tersentak dan kembali menyatu dengan alam dimensi nyata. Setelah itu, kami mengucap salam perpisahan dan mengakhiri kontemplasi.
Setelah menikmati pemandangan alam, perjalanan kami sudahi. Karena matahari semakin tinggi.
Di tengah perjalanan pulang dari Temanggung menuju Yogyakarta, Misteri banyak merenung, teringat petuah Ki Macan Putih. Alam telah jenuh dengan tingkah manusia, dan saatnya alam menunjukkan kekuatannya.
Kapan saat itu tiba? Mungkin semuanya telah terwujud dengan bencana yang melanda di berbagai belahan bumi Nusantara? Misteri bergidik ngeri mengingat hal tersebut. Sungguh, perjalanan yang begitu terkesan.