MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Pesugihan Di Jawa

Pesugihan blorong bagi yang ingin kaya mendadak

Dalam mitos masyarakat Jawa, memelihara pesugihan Blorong bisa menyebabkan kaya mendadak. Wujud pesugihan ini berbentuk ular naga yang bersisik emas. Yang lebih dahsyat, bila pemilik pesugihan melakukan hubungan badan dengan Ular Blorong itu, maka sisik-sisiknya yang berupa emas dan permata akan rontok di tempat tidurnya.



Menurut mitos yang berkembang, ular raksasa itu hidup di rawa yang ditumbuhi dengan pohon teratai. Bahkan, kekayaan yang didapat dari pesugihan Blorong ini bisa diulur sampai dua periode. Sebagai tebusan, kalau kelak pemiliknya sudah meninggal dunia, maka harus ikut padanya.

Tak ayal, ribuan bangkai manusia selalu berserakan di rawa-rawa itu. Namun untuk mendapatkan pesugihan jenis ini memang tidak mudah. Mengapa? Sebab, membutuhkan persyaratan dan pengorbanan luar biasa.

Pesugian Blorong ada di kawasan lingkar Pulau Jawa. Tetapi, di daerah mana letak persisnya pesugihan Blorong bisa didapat, sejauh ini tidak ada data resmi. Ataukah di kawasan Jabar meliputi daerah Cimais, Ciberium, atau daerah lain. Di Jatim, yang disinyalir basis pesugihan seperti itu berada di Kabupaten Banyuwangi, Pacitan, Tulungagung, dan Kabupaten Gresik, sedangkan di Jateng berada di kawasan Parangtritis.

Pemunculan pesugihan Blorong boleh dibilang sama misterinya dengan ujudnya. Sebagian orang ada yang menyebut Blorong adalah wanita sehingga disebut nyai. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan yai, berarti pria. Yang jelas, Blorong adalah makhluk hidup yang sekujur tubuhnya bersisik, bisa mengeluarkan emas lantakan saat melakukan senggama dengan orang yang memeliharanya.

Seperti halnya Nyi Rara Kidul yang menjadikan Pantai Selatan sebagai istananya. Kalau Nyi Blorong, lebih suka hidup di rawa. Rawa dijadikan keratonnya, lengkap dengan jasad manusia yang saat hidup menjadi pengikutnya. Rawa-rawa itu, demikian urai beberapa pakar pesugihan, ditumbuhi banyak tumbuhan teratai.
Seperti halnya dunia maya. Meski secara implisit keberadaan rawa-rawa itu bisa dilihat dengan mata telanjang, kalau tidak memiliki ilmu linuwih, muskil setiap orang bisa mengetahui kalau rawa yang ditumbuhi pohon teratai itu sebenarnya istana Nyi Blorong.

Bagaikan orang yang mempunyai utang. Nyi Blorong sebelum menyanggupi untuk menolong calon kurban, sebelumnya mengadakan perjanjian untuk membahas masalah tebusan. Konon, pembicaraan tebusan itu dilakukan keduanya sembari bersenggama di tempat tidur. Sama persis dengan kekayaan yang diperoleh lewat jalur yang tidak direstui agama. Umur kekayaan versi Nyi Blorong, hanya tujuh tahun. Jika yang bersangkutan ingin memperpanjang, bisa diulur lagi, satu periode lamanya dan tebusan berupa mayat bisa dialihkan ke orang lain. Selanjutnya, korban tak boleh diwakilkan. Artinya, kelak setelah meninggal, harus menjadi pengikutnya. Memang mengambil pesugihan jenis ini tidak mudah, berbeda dengan jenis tuyul yang bentuknya hanya menyerupai manusia kecil dan berkepala gundul. Tapi, Blorong memang lain. Di samping selalu meminta tebusan nyawa, jenis pesugihan ini kalau menampakkan diri selalu berwujud ular naga yang bersisik mengkilat keemasan.

Salah seorang yang pernah mengambil pesugihan jenis ini mengungkapkan, kesulitan perekonomian keluarganya telah membuat mata batinnya buta. Dia bersama suaminya berangkat ke suatu tempat keramat. Di tempat itu ada makam tua yang biasanya dipergunakan orang-orang mengambil jalan pintas untuk mencari pesugihan.
Setelah bertemu dengan juru kunci makam, Lasni dan suaminya mengutarakan niatnya untuk mengambil pesugihan. Dia pun mendapat tawaran dari sang juru kunci, pesugihan jenis apa yang ia minati. Karena ingin cepat kaya, saya langsung meminta agar diberi pesugihan kelas atas,” cerita Lasni. seperti dikutip Posmo.
Walaupun sudah sepakat dengan berbagai persyaratan yang diajukan, lanjut Lasni, dirinya gagal mendapatkan pesugihan. Hal itu disebabkan saat malam pertama ketika Ular Blorong datang ke rumahnya. “Ular itu datang dengan mendesis-desis, kemudian menindih tubuhku. Saat itulah saya menjerit hingga seisi rumah bangun dan mendatangi kamar saya. Ya, mungkin saya memang ditakdirkan begini. Namun, saya bersyukur karena usaha saya untuk mendapatkan pesugihan itu gagal,” papar Lasni seperti dikutip Posmo.

PESUGIHAN LERENG MERAPI

MAKAM yang bertengger di kawasan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, dipercaya sebagai kuburan tokoh sakti zaman dulu. Sehingga selalu dipenuhi berbagai sesaji. Banyak peziarah melantunkan berbagai permintaan, mulai kenaikan pangkat, ilmu kanuragan sampai pesugihan.

Setiap malam Jumat Kliwon, orang memasang sesaji jajan pasar dan kembang tujuh rupa, lantas berdoa minta berbagai permohonan. Tempat yang dikenal dengan nama Watu Tumpeng itu dipercaya memiliki kekuatan gaib.

Padahal, menurut jurukunci Watu Gunung, gundukan tanah itu bukan kuburan manusia, melainkan gajah tunggangan Kerincing Wesi saat menjaga Gunung Merapi.

Konon, Kerincing Wesi berubah menjadi raksasa setelah makan telur naga Kiai Jagad, lantas ditugaskan menjaga Gunung Merapi. Untuk menjalankan tugas, ia menerima seekor gajah dari Panembahan Senopati. Ketika gajah itu mati, Kerincing Wesi menguburkannya di lereng Merapi.

Kini, pada malam-malam tertentu, sering terdengar lenguhan gajah. Malah, ada warga yang mengaku melihat binatang itu melintas. Bagi peziarah, apa atau siapa yang berada di dalam kuburan itu, tidak menjadi masalah. Yang penting, tempat itu mempunyai kekuatan gaib yang menjanjikan perubahan nasib.

Kata beberapa sumber, sebagian besar peziarah memasang sesaji untuk persembahan kepada yang sumare dengan keinginan, kekuatan gaib yang memancar akan membalas jasanya setelah diberi makan. Jasa itu berupa kelancaran rezeki atau melimpahnya harta tanpa tanggungan tumbal. Jadi, pesugihan Lereng Merapi berbeda dengan Tuyul, Blorong, Cakar Monyet, babi Ngepet, Bulus Jimbung dan sebangsanya. Hanya sekadar medium berdoa, kendati banyak yang tergelincir dengan memanjatkan doa bukan kepada Tuhan.


Pesugihan Munding Seuri, wajah anak jadi tumbal

Jalan menjadi kaya raya tidak mudah. Kerapkali kita terpaksa merelakan si buah hati memikul akibatnya. Demikian pula yang diminta oleh pesugihan Munding Seuri. Si lelaku harus bisa menerima kenyataan jika wajah anaknya akan cacat.

Pesugihan munding seuri terletak di kawasan Gunung Gede, Cibodas. Di sebelah Tenggara gunung ini, dipercaya masyarakat sebagai tempat bersemayamnya Raden Surya Kencana, putra Raden Aria Wiranatudatar, pendiri kota Cianjur yang beristrikan mahkluk halus.

Di kawasan Tenggara ini pula, ada sebuah gubuk yang didalamnya terdapat gundukan mirip makam. Tempat yang disebut padepokan ini menjadi tempat orang yang mencari pesugihan. Namun laku hanya bisa dilakukan saat bulan purnama. Jika tidak, konon segala upaya yang dilakukan akan sia-sia.

Menuju lokasi ini sangat tidak mudah. Para lelaku harus berjalan kaki selama seharian penuh, melintasi jalan setapak yang menanjak. Dan jika musim hujan tiba, mereka juga harus ekstra hati-hati karena medan yang sangat licin. Namun semua itu, kebanyakan dianggap sebagai salah satu tantangan untuk meraih keinginan, menjadi kaya dengan cara mudah.

Ritual dilakukan saat matahari telah terbenam. Mereka harus bertelanjang bulat, baru kemudian berendam di sebuah kubangan lumpur. Namun sebelumnya, harus menaburkan kembang setaman dan kemenyan di Padepokan Seuri. Setelah fajar menyingsing, barulah ritual tersebut boleh dihentikan dan para lelaku bisa membersihkan diri dengan berguling-guling di rerumputan. Selanjutnya, mereka masuk kembali ke dalam padepokan.

Konon di dalam sana, para lelaku akan melihat wajah anaknya yang cacat sebagai tumbal. Jika ingin kaya, mereka harus rela wajah anaknya yang akan lahir nanti cacat. Uniknya, para pencari kekayaan ini diberi kesempatan memilih wajah anaknya. Kebanyakan mereka memilih anak yang bermulut sumbing.

Syarat yang diminta ternyata tak cuma itu. Mereka juga harus memelihara beberapa ekor lembu. Lembu itu ada yang dilepaskan di sekitar padepokan, ada pula yang harus dipelihara di rumah. Selain itu, setiap bulan purnama tiba, si lelaku harus menyediakan seikat rumput yang ditaruh di bawah tempat tidur


Gaet gendruwo lewat masakan burung gagak

Pesugihan bulu gendruwo memang kurang populer di masyarakat. Alasannya, untuk mendapatkan cukup sulit. Si peminat harus menyediakan masakan dari burung gagak yang diletakkan di bawah pohon gayam dan bertelanjang bulat.

Menurut beberapa orang yang telah mendapatkan pesugihan bulu gendruwo, meski mendapatkannya cukup sulit, pesugihan ini dipilih lantaran tidak terlalu berbahaya. Tidak minta tumbal orang atau nyawa.

Yang diperlukan hanyalah masakan burung gagak serta pohon gayam. Di kota metropolitan seperti Jakarta, pohon gayam sulit ditemukan. Makanya para peminat kebanyakan pergi ke desa-desa di pelosok Pulau Jawa.

Setelah masakan siap, saat matahari bersembunyi, peminat harus membawa makanan itu ke pohon gayam yang telah ditentukan. Kemudian ia harus membuka seluruh pakaiannya. Biasanya dalam waktu yang tidak begitu lama, gendruwo yang dilukiskan berwajah menakutkan dan sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu, akan muncul.

Gendruwo tersebut akan melahap makanan yang dibawakan si peminat. Saat itulah, si peminat dituntut kelincahannya. Mereka harus mampu mengambil minimal satu bulu di tubuh gendruwo.

Jika beruntung, maka si peminat akan mendapatkan bulu yang diinginkannya. Tapi jika tidak, bisa jadi ia malahan akan dimangsanya. Karena itu, orang yang gagal biasanya enggan mencoba lagi. Takut kalau-kalau malahan kehilangan nyawa.

Orang yang berhasil mendapatkan bulu, biasanya mudah mendapatkan kekayaan. Rejeki akan mengalir bak air bah. Tak tertahankan lagi.


Mengais uang di tengah pusara

Di kalangan pelaku spritual, ada teknik khusus untuk mengais rupiah di tengah kuburan. Caranya, dengan berjualan sate gagak kepada arwah gentayangan. Konon, penghuni makam di lereng Gunung Bugel, Rembang pernah membeli sate gagak sampai Rp. 30 juta dalam semalam.
Untuk menjadi pedagang sate bagi arwah gentayang, yang diperlukan adalah burung gagak hitam yang masih hidup, minyak Arrohman, serta kemenyan. Dan syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah keberanian untuk bertemu dengan para lelembut dari berbagai rupa.
Pada tengah malam yang telah ditentukan, burung gagak harus dibawa ke makam yang akan dijadikan lahan berdagang. Sesampainya di tempat yang dituju, baca doa-doa khusus untuk membuka alam gaib, sambil membakar kemenyan. Tunggu sampai gagak yang dibawa berkoak-koak.
Ketika burung itu berbunyi, pada saat itulah momen yang paling tepat untuk menyembelih burung gagak itu. Bersihkan bulu-bulu yang menghiasi tubuhnya, lalu olesi dengan minyak Arrahman. Kemudian potong daging burung sesuai degan ukuran yang dikehendaki. Bakarlah daging itu layaknya sate biasa.
Pada saat bersamaan, para pembeli sate akan berdatangan. Mereka adalah arwah gentayangan dengan wujud yang beraneka rupa. Ada yang kakinya patah atau remuk, wajahnya rusak dengan darah yang mengalir deras, atau kakinya tinggal sebelah karena kaki yang lain terlepas. Pendeknya, wujud mereka sangat menakutkan dengan bau anyir darah yang mrenyengat.
Mereka berdatangan untuk merebut sate gagak yang dijual. Berapa pun harganya mereka akan membeli sate yang dijual itu. Kabarnya, seorang pedagang sate gagak di sebuah makam di lereng Gunung Bugel, Rembang pernah mengantongi uang sebanyak Rp. 30 juta.

Ia berdagang dengan bantuan seorang paranormal yang mengetahui seluk-beluk perdagangan sate gagak. Syarat utama untuk meraup rezeki gaib itu adalah keberanian. Pasalnya, paranormal yang akan menjual sate itu dan Anda yang bertugas menerima uang dari para arwah. Tentunya, Anda pun harus berhadapan dengan arwah-arwah itu yang wajahnya amat menyeramkan
Jual Sate di Tengah Kuburan
PERILAKU supranatural tidak seluruhnya positif, kendati masuk kategori alternatif. Misalnya, untuk menjadi kaya, orang mencari pesugihan dengan makhluk halus untuk disuruh mencuri, jelas negatif nilainya. Sedang melantunkan doa untuk melancarkan rizki, termasuk alternatif positif.

Kini ada satu lagi yang meragukan kriterianya. Positif atau negatif, tidak jelas hukumnya. Kiat itu adalah, jual sate gagak di tengah kuburan.

Konon, seorang pemburu kekayaan berhasil mengumpulkan uang 30 juta rupiah semalam sepulang dari jualan sate gagak di lereng Gunung Bugel, Rembang. Pada tengah malam, ia menjadi pedagang sate bagi arwah gentayangan. Bahannya cukup seekor burung gagak hidup, bumbunya minyak Arrohman dan kemenyan.

Laku yang dikerjakan, tengah malam membawa burung gagak ke makam. Sampai tujuan, pawang baca doa sambil bakar kemenyan untuk membuka alam gaib sampai burung gagak yang dibawa berkaok.

Begitu terdengar kaok, burung gagak disembelih. Setelah bulu-bulunya dibersihkan, olesi dengan minyak Arrahman dan dipotong seukuran kemasan sate dan dibakar sebagaimana membuat sate.

Begitu asap mengepul, konon para pembeli berdatangan. Rumusnya, dilarang takut karena yang datang adalah arwah gentayangan dengan wujud beragam, persis seperti saat mereka mati. Ada yang kakinya remuk, wajah rusak dengan darah bertebaran dan sebagainya.

Mereka berebut sate gagak dengan melambai-lambaikan rupiah. Berapa tingginya harga yang ditentukan, mereka pasti setuju dan langsung menyerahkan uang. Sebab, sate gagak merupa-kan makanan nomor wahid bagi arwah gentayangan. Dari cerita masyarakat sekitar. konon seorang pedagang sate gagak di makam kawasan lereng Gunung Bugel, Rembang berhasil mengantongi uang sebanyak 30 juta rupiah dalam waktu semalam.
Tentu saja, untuk menjadi pedagang sate ga-gak, harus didampingi paranormal yang mengetahui seluk-beluk kiat alternatif itu. Syarat utama untuk meraup kekayaan dalam sekejap adalah keberanian. Sebab, paranormal yang dimintai tolong bertugas menjual sate, sedang klien bertugas menerima uang dari para arwah yang penampilannya mengerikan. Ini halal atau haram, entah.

Padahal, kalau ingin lebih aman, untuk berburu harta secara alternatif, tak harus dengan kiat memanfaatkan arwah penasaran. Tapi, memanggil jin muslim yang memiliki ilmu mengambil uang halal yang berasal dari bank jin alias uang yang bagi manusia merupakan harta yang tidak diamalkan.

Cuma, kiat itu hanya dapat dilakukan pemeluk Islam, karena untuk mencapai hasil maksimal, diperlukan pembacaan wirid yang harus dilantunkan pasca shalat fardlu selama seminggu.

Pesugihan Di Jawa

Pesugihan blorong bagi yang ingin kaya mendadak

Dalam mitos masyarakat Jawa, memelihara pesugihan Blorong bisa menyebabkan kaya mendadak. Wujud pesugihan ini berbentuk ular naga yang bersisik emas. Yang lebih dahsyat, bila pemilik pesugihan melakukan hubungan badan dengan Ular Blorong itu, maka sisik-sisiknya yang berupa emas dan permata akan rontok di tempat tidurnya.



Menurut mitos yang berkembang, ular raksasa itu hidup di rawa yang ditumbuhi dengan pohon teratai. Bahkan, kekayaan yang didapat dari pesugihan Blorong ini bisa diulur sampai dua periode. Sebagai tebusan, kalau kelak pemiliknya sudah meninggal dunia, maka harus ikut padanya.

Tak ayal, ribuan bangkai manusia selalu berserakan di rawa-rawa itu. Namun untuk mendapatkan pesugihan jenis ini memang tidak mudah. Mengapa? Sebab, membutuhkan persyaratan dan pengorbanan luar biasa.

Pesugian Blorong ada di kawasan lingkar Pulau Jawa. Tetapi, di daerah mana letak persisnya pesugihan Blorong bisa didapat, sejauh ini tidak ada data resmi. Ataukah di kawasan Jabar meliputi daerah Cimais, Ciberium, atau daerah lain. Di Jatim, yang disinyalir basis pesugihan seperti itu berada di Kabupaten Banyuwangi, Pacitan, Tulungagung, dan Kabupaten Gresik, sedangkan di Jateng berada di kawasan Parangtritis.

Pemunculan pesugihan Blorong boleh dibilang sama misterinya dengan ujudnya. Sebagian orang ada yang menyebut Blorong adalah wanita sehingga disebut nyai. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan yai, berarti pria. Yang jelas, Blorong adalah makhluk hidup yang sekujur tubuhnya bersisik, bisa mengeluarkan emas lantakan saat melakukan senggama dengan orang yang memeliharanya.

Seperti halnya Nyi Rara Kidul yang menjadikan Pantai Selatan sebagai istananya. Kalau Nyi Blorong, lebih suka hidup di rawa. Rawa dijadikan keratonnya, lengkap dengan jasad manusia yang saat hidup menjadi pengikutnya. Rawa-rawa itu, demikian urai beberapa pakar pesugihan, ditumbuhi banyak tumbuhan teratai.
Seperti halnya dunia maya. Meski secara implisit keberadaan rawa-rawa itu bisa dilihat dengan mata telanjang, kalau tidak memiliki ilmu linuwih, muskil setiap orang bisa mengetahui kalau rawa yang ditumbuhi pohon teratai itu sebenarnya istana Nyi Blorong.

Bagaikan orang yang mempunyai utang. Nyi Blorong sebelum menyanggupi untuk menolong calon kurban, sebelumnya mengadakan perjanjian untuk membahas masalah tebusan. Konon, pembicaraan tebusan itu dilakukan keduanya sembari bersenggama di tempat tidur. Sama persis dengan kekayaan yang diperoleh lewat jalur yang tidak direstui agama. Umur kekayaan versi Nyi Blorong, hanya tujuh tahun. Jika yang bersangkutan ingin memperpanjang, bisa diulur lagi, satu periode lamanya dan tebusan berupa mayat bisa dialihkan ke orang lain. Selanjutnya, korban tak boleh diwakilkan. Artinya, kelak setelah meninggal, harus menjadi pengikutnya. Memang mengambil pesugihan jenis ini tidak mudah, berbeda dengan jenis tuyul yang bentuknya hanya menyerupai manusia kecil dan berkepala gundul. Tapi, Blorong memang lain. Di samping selalu meminta tebusan nyawa, jenis pesugihan ini kalau menampakkan diri selalu berwujud ular naga yang bersisik mengkilat keemasan.

Salah seorang yang pernah mengambil pesugihan jenis ini mengungkapkan, kesulitan perekonomian keluarganya telah membuat mata batinnya buta. Dia bersama suaminya berangkat ke suatu tempat keramat. Di tempat itu ada makam tua yang biasanya dipergunakan orang-orang mengambil jalan pintas untuk mencari pesugihan.
Setelah bertemu dengan juru kunci makam, Lasni dan suaminya mengutarakan niatnya untuk mengambil pesugihan. Dia pun mendapat tawaran dari sang juru kunci, pesugihan jenis apa yang ia minati. Karena ingin cepat kaya, saya langsung meminta agar diberi pesugihan kelas atas,” cerita Lasni. seperti dikutip Posmo.
Walaupun sudah sepakat dengan berbagai persyaratan yang diajukan, lanjut Lasni, dirinya gagal mendapatkan pesugihan. Hal itu disebabkan saat malam pertama ketika Ular Blorong datang ke rumahnya. “Ular itu datang dengan mendesis-desis, kemudian menindih tubuhku. Saat itulah saya menjerit hingga seisi rumah bangun dan mendatangi kamar saya. Ya, mungkin saya memang ditakdirkan begini. Namun, saya bersyukur karena usaha saya untuk mendapatkan pesugihan itu gagal,” papar Lasni seperti dikutip Posmo.

PESUGIHAN LERENG MERAPI

MAKAM yang bertengger di kawasan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, dipercaya sebagai kuburan tokoh sakti zaman dulu. Sehingga selalu dipenuhi berbagai sesaji. Banyak peziarah melantunkan berbagai permintaan, mulai kenaikan pangkat, ilmu kanuragan sampai pesugihan.

Setiap malam Jumat Kliwon, orang memasang sesaji jajan pasar dan kembang tujuh rupa, lantas berdoa minta berbagai permohonan. Tempat yang dikenal dengan nama Watu Tumpeng itu dipercaya memiliki kekuatan gaib.

Padahal, menurut jurukunci Watu Gunung, gundukan tanah itu bukan kuburan manusia, melainkan gajah tunggangan Kerincing Wesi saat menjaga Gunung Merapi.

Konon, Kerincing Wesi berubah menjadi raksasa setelah makan telur naga Kiai Jagad, lantas ditugaskan menjaga Gunung Merapi. Untuk menjalankan tugas, ia menerima seekor gajah dari Panembahan Senopati. Ketika gajah itu mati, Kerincing Wesi menguburkannya di lereng Merapi.

Kini, pada malam-malam tertentu, sering terdengar lenguhan gajah. Malah, ada warga yang mengaku melihat binatang itu melintas. Bagi peziarah, apa atau siapa yang berada di dalam kuburan itu, tidak menjadi masalah. Yang penting, tempat itu mempunyai kekuatan gaib yang menjanjikan perubahan nasib.

Kata beberapa sumber, sebagian besar peziarah memasang sesaji untuk persembahan kepada yang sumare dengan keinginan, kekuatan gaib yang memancar akan membalas jasanya setelah diberi makan. Jasa itu berupa kelancaran rezeki atau melimpahnya harta tanpa tanggungan tumbal. Jadi, pesugihan Lereng Merapi berbeda dengan Tuyul, Blorong, Cakar Monyet, babi Ngepet, Bulus Jimbung dan sebangsanya. Hanya sekadar medium berdoa, kendati banyak yang tergelincir dengan memanjatkan doa bukan kepada Tuhan.


Pesugihan Munding Seuri, wajah anak jadi tumbal

Jalan menjadi kaya raya tidak mudah. Kerapkali kita terpaksa merelakan si buah hati memikul akibatnya. Demikian pula yang diminta oleh pesugihan Munding Seuri. Si lelaku harus bisa menerima kenyataan jika wajah anaknya akan cacat.

Pesugihan munding seuri terletak di kawasan Gunung Gede, Cibodas. Di sebelah Tenggara gunung ini, dipercaya masyarakat sebagai tempat bersemayamnya Raden Surya Kencana, putra Raden Aria Wiranatudatar, pendiri kota Cianjur yang beristrikan mahkluk halus.

Di kawasan Tenggara ini pula, ada sebuah gubuk yang didalamnya terdapat gundukan mirip makam. Tempat yang disebut padepokan ini menjadi tempat orang yang mencari pesugihan. Namun laku hanya bisa dilakukan saat bulan purnama. Jika tidak, konon segala upaya yang dilakukan akan sia-sia.

Menuju lokasi ini sangat tidak mudah. Para lelaku harus berjalan kaki selama seharian penuh, melintasi jalan setapak yang menanjak. Dan jika musim hujan tiba, mereka juga harus ekstra hati-hati karena medan yang sangat licin. Namun semua itu, kebanyakan dianggap sebagai salah satu tantangan untuk meraih keinginan, menjadi kaya dengan cara mudah.

Ritual dilakukan saat matahari telah terbenam. Mereka harus bertelanjang bulat, baru kemudian berendam di sebuah kubangan lumpur. Namun sebelumnya, harus menaburkan kembang setaman dan kemenyan di Padepokan Seuri. Setelah fajar menyingsing, barulah ritual tersebut boleh dihentikan dan para lelaku bisa membersihkan diri dengan berguling-guling di rerumputan. Selanjutnya, mereka masuk kembali ke dalam padepokan.

Konon di dalam sana, para lelaku akan melihat wajah anaknya yang cacat sebagai tumbal. Jika ingin kaya, mereka harus rela wajah anaknya yang akan lahir nanti cacat. Uniknya, para pencari kekayaan ini diberi kesempatan memilih wajah anaknya. Kebanyakan mereka memilih anak yang bermulut sumbing.

Syarat yang diminta ternyata tak cuma itu. Mereka juga harus memelihara beberapa ekor lembu. Lembu itu ada yang dilepaskan di sekitar padepokan, ada pula yang harus dipelihara di rumah. Selain itu, setiap bulan purnama tiba, si lelaku harus menyediakan seikat rumput yang ditaruh di bawah tempat tidur


Gaet gendruwo lewat masakan burung gagak

Pesugihan bulu gendruwo memang kurang populer di masyarakat. Alasannya, untuk mendapatkan cukup sulit. Si peminat harus menyediakan masakan dari burung gagak yang diletakkan di bawah pohon gayam dan bertelanjang bulat.

Menurut beberapa orang yang telah mendapatkan pesugihan bulu gendruwo, meski mendapatkannya cukup sulit, pesugihan ini dipilih lantaran tidak terlalu berbahaya. Tidak minta tumbal orang atau nyawa.

Yang diperlukan hanyalah masakan burung gagak serta pohon gayam. Di kota metropolitan seperti Jakarta, pohon gayam sulit ditemukan. Makanya para peminat kebanyakan pergi ke desa-desa di pelosok Pulau Jawa.

Setelah masakan siap, saat matahari bersembunyi, peminat harus membawa makanan itu ke pohon gayam yang telah ditentukan. Kemudian ia harus membuka seluruh pakaiannya. Biasanya dalam waktu yang tidak begitu lama, gendruwo yang dilukiskan berwajah menakutkan dan sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu, akan muncul.

Gendruwo tersebut akan melahap makanan yang dibawakan si peminat. Saat itulah, si peminat dituntut kelincahannya. Mereka harus mampu mengambil minimal satu bulu di tubuh gendruwo.

Jika beruntung, maka si peminat akan mendapatkan bulu yang diinginkannya. Tapi jika tidak, bisa jadi ia malahan akan dimangsanya. Karena itu, orang yang gagal biasanya enggan mencoba lagi. Takut kalau-kalau malahan kehilangan nyawa.

Orang yang berhasil mendapatkan bulu, biasanya mudah mendapatkan kekayaan. Rejeki akan mengalir bak air bah. Tak tertahankan lagi.


Mengais uang di tengah pusara

Di kalangan pelaku spritual, ada teknik khusus untuk mengais rupiah di tengah kuburan. Caranya, dengan berjualan sate gagak kepada arwah gentayangan. Konon, penghuni makam di lereng Gunung Bugel, Rembang pernah membeli sate gagak sampai Rp. 30 juta dalam semalam.
Untuk menjadi pedagang sate bagi arwah gentayang, yang diperlukan adalah burung gagak hitam yang masih hidup, minyak Arrohman, serta kemenyan. Dan syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah keberanian untuk bertemu dengan para lelembut dari berbagai rupa.
Pada tengah malam yang telah ditentukan, burung gagak harus dibawa ke makam yang akan dijadikan lahan berdagang. Sesampainya di tempat yang dituju, baca doa-doa khusus untuk membuka alam gaib, sambil membakar kemenyan. Tunggu sampai gagak yang dibawa berkoak-koak.
Ketika burung itu berbunyi, pada saat itulah momen yang paling tepat untuk menyembelih burung gagak itu. Bersihkan bulu-bulu yang menghiasi tubuhnya, lalu olesi dengan minyak Arrahman. Kemudian potong daging burung sesuai degan ukuran yang dikehendaki. Bakarlah daging itu layaknya sate biasa.
Pada saat bersamaan, para pembeli sate akan berdatangan. Mereka adalah arwah gentayangan dengan wujud yang beraneka rupa. Ada yang kakinya patah atau remuk, wajahnya rusak dengan darah yang mengalir deras, atau kakinya tinggal sebelah karena kaki yang lain terlepas. Pendeknya, wujud mereka sangat menakutkan dengan bau anyir darah yang mrenyengat.
Mereka berdatangan untuk merebut sate gagak yang dijual. Berapa pun harganya mereka akan membeli sate yang dijual itu. Kabarnya, seorang pedagang sate gagak di sebuah makam di lereng Gunung Bugel, Rembang pernah mengantongi uang sebanyak Rp. 30 juta.

Ia berdagang dengan bantuan seorang paranormal yang mengetahui seluk-beluk perdagangan sate gagak. Syarat utama untuk meraup rezeki gaib itu adalah keberanian. Pasalnya, paranormal yang akan menjual sate itu dan Anda yang bertugas menerima uang dari para arwah. Tentunya, Anda pun harus berhadapan dengan arwah-arwah itu yang wajahnya amat menyeramkan
Jual Sate di Tengah Kuburan
PERILAKU supranatural tidak seluruhnya positif, kendati masuk kategori alternatif. Misalnya, untuk menjadi kaya, orang mencari pesugihan dengan makhluk halus untuk disuruh mencuri, jelas negatif nilainya. Sedang melantunkan doa untuk melancarkan rizki, termasuk alternatif positif.

Kini ada satu lagi yang meragukan kriterianya. Positif atau negatif, tidak jelas hukumnya. Kiat itu adalah, jual sate gagak di tengah kuburan.

Konon, seorang pemburu kekayaan berhasil mengumpulkan uang 30 juta rupiah semalam sepulang dari jualan sate gagak di lereng Gunung Bugel, Rembang. Pada tengah malam, ia menjadi pedagang sate bagi arwah gentayangan. Bahannya cukup seekor burung gagak hidup, bumbunya minyak Arrohman dan kemenyan.

Laku yang dikerjakan, tengah malam membawa burung gagak ke makam. Sampai tujuan, pawang baca doa sambil bakar kemenyan untuk membuka alam gaib sampai burung gagak yang dibawa berkaok.

Begitu terdengar kaok, burung gagak disembelih. Setelah bulu-bulunya dibersihkan, olesi dengan minyak Arrahman dan dipotong seukuran kemasan sate dan dibakar sebagaimana membuat sate.

Begitu asap mengepul, konon para pembeli berdatangan. Rumusnya, dilarang takut karena yang datang adalah arwah gentayangan dengan wujud beragam, persis seperti saat mereka mati. Ada yang kakinya remuk, wajah rusak dengan darah bertebaran dan sebagainya.

Mereka berebut sate gagak dengan melambai-lambaikan rupiah. Berapa tingginya harga yang ditentukan, mereka pasti setuju dan langsung menyerahkan uang. Sebab, sate gagak merupa-kan makanan nomor wahid bagi arwah gentayangan. Dari cerita masyarakat sekitar. konon seorang pedagang sate gagak di makam kawasan lereng Gunung Bugel, Rembang berhasil mengantongi uang sebanyak 30 juta rupiah dalam waktu semalam.
Tentu saja, untuk menjadi pedagang sate ga-gak, harus didampingi paranormal yang mengetahui seluk-beluk kiat alternatif itu. Syarat utama untuk meraup kekayaan dalam sekejap adalah keberanian. Sebab, paranormal yang dimintai tolong bertugas menjual sate, sedang klien bertugas menerima uang dari para arwah yang penampilannya mengerikan. Ini halal atau haram, entah.

Padahal, kalau ingin lebih aman, untuk berburu harta secara alternatif, tak harus dengan kiat memanfaatkan arwah penasaran. Tapi, memanggil jin muslim yang memiliki ilmu mengambil uang halal yang berasal dari bank jin alias uang yang bagi manusia merupakan harta yang tidak diamalkan.

Cuma, kiat itu hanya dapat dilakukan pemeluk Islam, karena untuk mencapai hasil maksimal, diperlukan pembacaan wirid yang harus dilantunkan pasca shalat fardlu selama seminggu.

Makam Meledak karena Siksa Kubur

Sebuah keajaiban terjadi. Sebuah makam dari seorang yang semasa hidupnya berprofesi sebagai dukun, meledak pada Rabu (5/5/2010).

Seorang saksi mata ledakan, Ngadiron (42), menceritakan, sebelum makam Mbah Rosiah meledak, Selasa dini hari, tampak kepulan asap putih di tengah makam. Ngadori mengaku mencium bau harum semerbak seperti kayu cendana.



Melihat fenomena tersebut, Ngadiron dan istri, Siti Mudrikah (38), tidak menghiraukan karena menganggap asap yang keluar dari makam adalah embun biasa. “Hanya saya lihat saja, lalu saya melanjutkan menengok ternak ikan saya yang berada di samping makam,” ungkapnya, Senin kemarin.

Ngadiron melanjutkan, keesokan paginya, Rabu sekitar pukul 07.30, dia kembali menengok kolam ikan miliknya dan melintas lagi di lokasi makam. Kala itu dia masih melihat kepulan asap, tetapi tetap tidak menghiraukan.

Sekitar satu jam kemudian, Ngadiron mendengar ledakan yang menggelegar seperti suara bom. Setelah dicari, ternyata sumber ledakan berasal dari makam Mbah Rosiah.

Akibat ledakan, katanya, makam berantakan. Bangunan bagian atas berserakan, dan pasir yang berada dalam makam juga ikut berhamburan keluar. Hanya dalam waktu beberapa menit kemudian beberapa warga yang tinggal tak jauh dari makam mulai berdatangan. Mereka merasa terkejut dan menduga ada keanehan dalam ledakan itu.

Belum diketahui pasti penyebab meledaknya makam yang terletak di tanah pribadi seluas sekitar 50 x 10 meter tersebut. Adapun Mbah Rosiah dimakamkan di sana setelah meninggal akibat kolesterol tinggi, 1 Juni 2009, dalam usia 67 tahun.

PANUDI mengatakan, kedatangan warga untuk menyaksikan langsung kondisi makam Mbah Rosiah karena rasa penasaran yang sangat besar. Pasalnya, semasa hidup, Mbah Rosiah memang terkenal sebagai sosok yang dituakan dan sering mengobati orang sakit karena hal-hal yang aneh.

“Pasien almarhumah banyak, bahkan dari luar kota juga ada. Makanya, kejadian ini membuat mereka kaget dan penasaran,” ungkapnya.

Hal serupa dikatakan Ngadori. Sebagai penduduk asli Desa Sanggrahan, Ngadori mengenal baik sosok Mbah Rosiah. Bahkan dia juga belajar ilmu kejawen dari Mbah Rosiah semasa masih hidup.

“Kalau ada apa-apa di desa ini, warga selalu meminta petunjuk kepada Mbah Rosiah,” katanya.

Menurut Ngadori, selain warga setempat, banyak warga daerah lain sering mendatangi rumah Mbah Rosiah untuk sekadar minta restu atau berobat. Bahkan, setelah Mbah Rosiah meninggal, kadang-kadang ada orang luar kota datang berziarah ke makamnya.

Ditemui terpisah, Kapolsek Boyolangu AKP Suryadi mengaku belum bisa memastikan penyebab ledakan. Namun, dia menduga ledakan tersebut disebabkan uap panas yang berada dalam tanah. Karena tidak mampu menahan uap tersebut, makam pun akhirnya meledak.

“Makamnya kan dikijing (dibangun dengan batu bata) dan pinggirnya dikeramik. Uapnya tidak bisa keluar, akhirnya meledak. Apalagi saat ini cuaca lagi tidak menentu, kadang panas sekali, dan tiba-tiba hujan,” katanya.

Polisi sudah mendatangi lokasi untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Dari hasil olah TKP, pihaknya tidak menemukan kejanggalan, seperti ada bahan peledak yang sengaja dipasang di lokasi.

“Dugaan sementara ya itu (karena uap panas dalam tanah),” papar Suryadi.

(Saya, admin blog, percaya dan sangat percaya bahwa adzab kubur itu benar adanya). Wallahu a’lam.

Makam Meledak karena Siksa Kubur

Sebuah keajaiban terjadi. Sebuah makam dari seorang yang semasa hidupnya berprofesi sebagai dukun, meledak pada Rabu (5/5/2010).

Seorang saksi mata ledakan, Ngadiron (42), menceritakan, sebelum makam Mbah Rosiah meledak, Selasa dini hari, tampak kepulan asap putih di tengah makam. Ngadori mengaku mencium bau harum semerbak seperti kayu cendana.



Melihat fenomena tersebut, Ngadiron dan istri, Siti Mudrikah (38), tidak menghiraukan karena menganggap asap yang keluar dari makam adalah embun biasa. “Hanya saya lihat saja, lalu saya melanjutkan menengok ternak ikan saya yang berada di samping makam,” ungkapnya, Senin kemarin.

Ngadiron melanjutkan, keesokan paginya, Rabu sekitar pukul 07.30, dia kembali menengok kolam ikan miliknya dan melintas lagi di lokasi makam. Kala itu dia masih melihat kepulan asap, tetapi tetap tidak menghiraukan.

Sekitar satu jam kemudian, Ngadiron mendengar ledakan yang menggelegar seperti suara bom. Setelah dicari, ternyata sumber ledakan berasal dari makam Mbah Rosiah.

Akibat ledakan, katanya, makam berantakan. Bangunan bagian atas berserakan, dan pasir yang berada dalam makam juga ikut berhamburan keluar. Hanya dalam waktu beberapa menit kemudian beberapa warga yang tinggal tak jauh dari makam mulai berdatangan. Mereka merasa terkejut dan menduga ada keanehan dalam ledakan itu.

Belum diketahui pasti penyebab meledaknya makam yang terletak di tanah pribadi seluas sekitar 50 x 10 meter tersebut. Adapun Mbah Rosiah dimakamkan di sana setelah meninggal akibat kolesterol tinggi, 1 Juni 2009, dalam usia 67 tahun.

PANUDI mengatakan, kedatangan warga untuk menyaksikan langsung kondisi makam Mbah Rosiah karena rasa penasaran yang sangat besar. Pasalnya, semasa hidup, Mbah Rosiah memang terkenal sebagai sosok yang dituakan dan sering mengobati orang sakit karena hal-hal yang aneh.

“Pasien almarhumah banyak, bahkan dari luar kota juga ada. Makanya, kejadian ini membuat mereka kaget dan penasaran,” ungkapnya.

Hal serupa dikatakan Ngadori. Sebagai penduduk asli Desa Sanggrahan, Ngadori mengenal baik sosok Mbah Rosiah. Bahkan dia juga belajar ilmu kejawen dari Mbah Rosiah semasa masih hidup.

“Kalau ada apa-apa di desa ini, warga selalu meminta petunjuk kepada Mbah Rosiah,” katanya.

Menurut Ngadori, selain warga setempat, banyak warga daerah lain sering mendatangi rumah Mbah Rosiah untuk sekadar minta restu atau berobat. Bahkan, setelah Mbah Rosiah meninggal, kadang-kadang ada orang luar kota datang berziarah ke makamnya.

Ditemui terpisah, Kapolsek Boyolangu AKP Suryadi mengaku belum bisa memastikan penyebab ledakan. Namun, dia menduga ledakan tersebut disebabkan uap panas yang berada dalam tanah. Karena tidak mampu menahan uap tersebut, makam pun akhirnya meledak.

“Makamnya kan dikijing (dibangun dengan batu bata) dan pinggirnya dikeramik. Uapnya tidak bisa keluar, akhirnya meledak. Apalagi saat ini cuaca lagi tidak menentu, kadang panas sekali, dan tiba-tiba hujan,” katanya.

Polisi sudah mendatangi lokasi untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Dari hasil olah TKP, pihaknya tidak menemukan kejanggalan, seperti ada bahan peledak yang sengaja dipasang di lokasi.

“Dugaan sementara ya itu (karena uap panas dalam tanah),” papar Suryadi.

(Saya, admin blog, percaya dan sangat percaya bahwa adzab kubur itu benar adanya). Wallahu a’lam.

Misteri Bulan Suro

Dalam sejarah Islam, Muharam memiliki tradisi panjang sebagai sebagai salah satu bulan suci. Ada banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini, di antaranya: Dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, pemindahan arah kiblat dari Jerussalem ke Mekah pada 16 Muharam, dan terbunuhnya cucu kesayangan Rasulullah, Imam Husein bin Ali di Karbala pada tahun 81 H/680 M.

Kasus terakhir ini menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah. Terbunuhnya Imam Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah pada bulan Muharam, melahirkan sebuah kepercayaan baru dikalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein. Entah mengapa keyakinan seperti ini kemudian berimbas pula pada sebagian penganut Sunni termasuk di Indonesia yang menganggap bulan Muharam adalah bulan keramat yang sekaligus bulan kesialan, sehingga banyak melahirkan praktik-praktik khurafat dan bid'ah.

Padahal, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa pada mulanya Rasulullah saw mempercayai keterangan orang Yahudi bahwa hari Asyura (dalam tradisi Arab disebut "Asyura" pula), yakni tangal 1 Bulan Tishri, adalah "yaumun shalihun." Jadi, hari yang tertanggal tersebut bukanlah hari sial, bahkan disebut "hari yang baik" (yaumun shalihun). Justru, pada hari itu dianggap sebagai salah satu hari "penebus dosa" dengan cara berpuasa.


Ajaran Islam sendiri sangat memuliakan bulan ini, bahkan Allah melarang berperang, saling membunuh, dan merusak syiar-syiar Islam pada bulan ini (lihat QS. Al Maidah: 2). Kata Muharam sendiri berarti "yang diharamkan." Artinya, pada bulan ini orang-orang Arab jahiliyah menghentikan semua peperangan yang dilakukannya. Kesucian Bulan Muharam juga dipandang berhubungan dengan tradisi orang-orang Yahudi, khususnya tradisi hari Assyura

Dalam agama Yahudi, ada satu hari yang dipandang bernilai rohaniah dan sangat diagungkan,yaitu hari Yom Kippur (Hari Penebusan Dosa). Istilah ini dari bahasa Ibrani, "yom" (yaumun, bahasa Arab) yang berarti "hari" dan "kippur" (dari kata Ibrani "kuppar") yang berarti "perdamaian". Hari ini merupakan salah satu hari suci yang paling dikeramatkan orang-orang Yahudi.

Hari Yom Kippur itu jatuh pada hari kesepuluh dalam bulan ke-7 (yang disebut bulan Tishri) dalam agama Yahudi. Istilah "Hari Kesepuluh" (The Tenth) ini dalam bahasa Yahudi-Aram (Hebrew-Aramic) disebut "Asyura." Pada hari ini, orang-orang Yahudi melakukan persembahyangan dan puasa. Mereka yakin bahwa pada hari inilah mereka diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghapuskan dosa mereka yang dilakukan selama setahun sebelumnya. Dalam kesempatan ini mereka berkunjung antar keluarga, antar sahabat dan tetangga untuk saling memohon maaf.

Dalam Serat Widya Pradana (karangan R. Ng. Ranggawarsita) dikatakan bahwa untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa, maka bertepatan dengan tahun 931 H atau 1400 tahun Saka, atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Caranya adalah menggabungkan hari tujuh Hijriyah dengan hari kelima (tepatnya hari lima atau pancawara). Sebelum ada hari tujuh Islam (Itsnain, Tsulatsa', Arba'a, Khamis, Jum'ah, Sabt dan Ahad) ada hari tujuh lama (Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Tumpak dan Radite). Adapun pancawara tetap dipakai tidak diganti. Pancawara itu meliputi: legi (manis), pahing (merah), pon (kuning), wage (hitam), dan kliwon (asih atau kasih). Karena perangkapan atau penggabungan ini (hari tujuh Islam dengan pancawara), maka dikenallah hitungan selapan (35 hari) dalam setiap bulan.

Penggabungan kalender tersebut, untuk sebagian orang, diduga sebagai salah satu strategi untuk merukunkan dua varian, yang menurut Clifford Geertz disebut "Islam santri" dan "Islam abangan." Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin "menyatukan Pulau Jawa." Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Harnyokrokusumo ingin merangkul dua varian tersebut.

Pada setiap hari Jumat legi, Sultan Agung menjadikan dina paseban (hari pertemuan resmi) sebagai pelaporan pemerintahan daerah-daerah kepada keraton secara resmi. Sementara itu, untuk daerah Timur, pada hari yang sama (Jumat legi) dilakukan juga laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu) ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Misteri Bulan Suro

Dalam sejarah Islam, Muharam memiliki tradisi panjang sebagai sebagai salah satu bulan suci. Ada banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini, di antaranya: Dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, pemindahan arah kiblat dari Jerussalem ke Mekah pada 16 Muharam, dan terbunuhnya cucu kesayangan Rasulullah, Imam Husein bin Ali di Karbala pada tahun 81 H/680 M.

Kasus terakhir ini menimbulkan duka mendalam bagi penganut Syiah. Terbunuhnya Imam Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyyah pada bulan Muharam, melahirkan sebuah kepercayaan baru dikalangan Syiah, yang menganggap Muharam sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya, penganut Syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi Karbala, berupa majelis-majelis ratapan yang berpuncak pada 10 Muharam (10 Asyura), tepat di hari wafatnya Imam Husein. Entah mengapa keyakinan seperti ini kemudian berimbas pula pada sebagian penganut Sunni termasuk di Indonesia yang menganggap bulan Muharam adalah bulan keramat yang sekaligus bulan kesialan, sehingga banyak melahirkan praktik-praktik khurafat dan bid'ah.

Padahal, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa pada mulanya Rasulullah saw mempercayai keterangan orang Yahudi bahwa hari Asyura (dalam tradisi Arab disebut "Asyura" pula), yakni tangal 1 Bulan Tishri, adalah "yaumun shalihun." Jadi, hari yang tertanggal tersebut bukanlah hari sial, bahkan disebut "hari yang baik" (yaumun shalihun). Justru, pada hari itu dianggap sebagai salah satu hari "penebus dosa" dengan cara berpuasa.


Ajaran Islam sendiri sangat memuliakan bulan ini, bahkan Allah melarang berperang, saling membunuh, dan merusak syiar-syiar Islam pada bulan ini (lihat QS. Al Maidah: 2). Kata Muharam sendiri berarti "yang diharamkan." Artinya, pada bulan ini orang-orang Arab jahiliyah menghentikan semua peperangan yang dilakukannya. Kesucian Bulan Muharam juga dipandang berhubungan dengan tradisi orang-orang Yahudi, khususnya tradisi hari Assyura

Dalam agama Yahudi, ada satu hari yang dipandang bernilai rohaniah dan sangat diagungkan,yaitu hari Yom Kippur (Hari Penebusan Dosa). Istilah ini dari bahasa Ibrani, "yom" (yaumun, bahasa Arab) yang berarti "hari" dan "kippur" (dari kata Ibrani "kuppar") yang berarti "perdamaian". Hari ini merupakan salah satu hari suci yang paling dikeramatkan orang-orang Yahudi.

Hari Yom Kippur itu jatuh pada hari kesepuluh dalam bulan ke-7 (yang disebut bulan Tishri) dalam agama Yahudi. Istilah "Hari Kesepuluh" (The Tenth) ini dalam bahasa Yahudi-Aram (Hebrew-Aramic) disebut "Asyura." Pada hari ini, orang-orang Yahudi melakukan persembahyangan dan puasa. Mereka yakin bahwa pada hari inilah mereka diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menghapuskan dosa mereka yang dilakukan selama setahun sebelumnya. Dalam kesempatan ini mereka berkunjung antar keluarga, antar sahabat dan tetangga untuk saling memohon maaf.

Dalam Serat Widya Pradana (karangan R. Ng. Ranggawarsita) dikatakan bahwa untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa, maka bertepatan dengan tahun 931 H atau 1400 tahun Saka, atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Caranya adalah menggabungkan hari tujuh Hijriyah dengan hari kelima (tepatnya hari lima atau pancawara). Sebelum ada hari tujuh Islam (Itsnain, Tsulatsa', Arba'a, Khamis, Jum'ah, Sabt dan Ahad) ada hari tujuh lama (Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Tumpak dan Radite). Adapun pancawara tetap dipakai tidak diganti. Pancawara itu meliputi: legi (manis), pahing (merah), pon (kuning), wage (hitam), dan kliwon (asih atau kasih). Karena perangkapan atau penggabungan ini (hari tujuh Islam dengan pancawara), maka dikenallah hitungan selapan (35 hari) dalam setiap bulan.

Penggabungan kalender tersebut, untuk sebagian orang, diduga sebagai salah satu strategi untuk merukunkan dua varian, yang menurut Clifford Geertz disebut "Islam santri" dan "Islam abangan." Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin "menyatukan Pulau Jawa." Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Harnyokrokusumo ingin merangkul dua varian tersebut.

Pada setiap hari Jumat legi, Sultan Agung menjadikan dina paseban (hari pertemuan resmi) sebagai pelaporan pemerintahan daerah-daerah kepada keraton secara resmi. Sementara itu, untuk daerah Timur, pada hari yang sama (Jumat legi) dilakukan juga laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu) ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Malam Satu Suro di Parang Kusumo

Malam Satu Suro

Belajar menelusuri sejarah, tradisi dan budaya yang masih melekat erat di kalangan rakyat Ngayogyokarto Hadiningrat. Sembari jalan-jalan menelusuri Yogyakarta di waktu malam, malam satu Suro, menjadi momen yang tepat. Malam satu Suro, bagi sebagian orang jawa dikaitkan dengan hal-hal mistis dan berfilosofis. Sebenarnya, diluar liputan, ada banyak latar belakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu.


Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di jaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Tradisi Jawa

Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.

Pantai Parangkusumo

Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.

Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.

Wayang Kulit Semalam Suntuk

Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.

Wayang Kulit

Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang malam itu.

Cepuri Parangkusumo

Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.

tempat aiarah dua batu yang dikeramtkan

Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.

prosesi ziarah di watu Kyai Panembahan Senopati

watu Kyai Nyai Roro Kidul

Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan Senopati dengan pakaian jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.

peziarah yang antri Kyai Panembahan batu keramat Parangkusumo

Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar. Mereka menggunakan pakaian jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.

peziarah -konon- dari Kraton Solo

Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.

Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.

Malam Satu Suro di Parang Kusumo

Malam Satu Suro

Belajar menelusuri sejarah, tradisi dan budaya yang masih melekat erat di kalangan rakyat Ngayogyokarto Hadiningrat. Sembari jalan-jalan menelusuri Yogyakarta di waktu malam, malam satu Suro, menjadi momen yang tepat. Malam satu Suro, bagi sebagian orang jawa dikaitkan dengan hal-hal mistis dan berfilosofis. Sebenarnya, diluar liputan, ada banyak latar belakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu.


Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di jaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Tradisi Jawa

Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.

Pantai Parangkusumo

Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.

Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.

Wayang Kulit Semalam Suntuk

Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.

Wayang Kulit

Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang malam itu.

Cepuri Parangkusumo

Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.

tempat aiarah dua batu yang dikeramtkan

Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.

prosesi ziarah di watu Kyai Panembahan Senopati

watu Kyai Nyai Roro Kidul

Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan Senopati dengan pakaian jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.

peziarah yang antri Kyai Panembahan batu keramat Parangkusumo

Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar. Mereka menggunakan pakaian jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.

peziarah -konon- dari Kraton Solo

Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.

Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.

Penjaga Gunung Yang Setia

Tanyakan kepada orang Jogyakarta, siapa yang tak kenal Mbah Marijan? Jika ia memang orang asli Jogyakarta, Insya Allah tak mungkin tak mengenal tokoh satu ini. Terlebih kini namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan seiring hangatnya udara malam di Kaliurang karena sang Merapi tengah bergejolak. Mbah Marijan, menjadi tokoh yang tak kalah tenarnya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Gubernur Kota pelajar ini.

Gunung Merapi, memang diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas gunung merapi paling aktif di Indonesia ini. Riuh rendah dan hingar bingar di 'bawah' ternyata tak membuat Mbah Marijan ikut sibuk. Ia tetap tenang seolah Merapi tak tengah mengancamnya.

Aneh. Kesan itu yang terbawa ketika hendak menemuinya Sabtu sore (29/4) di rumahnya di Dusun Kinahrejo.
Banyak berita yang menyebut lelaki tua ini sangat sakti, memiliki 'ilmu' yang sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi. Jalan menuju rumah Mbah Marijan terus menanjak mendekati Gunung Merapi, namun sepanjang jalan tak sedikit pun ditemui jalan rusak, sepanjang jalan semenjak dari Palemsari hingga rumah Mbah Marijan jalannya mulus tak berlubang. Mungkin karena Sultan kerap mengunjungi kuncen Merapi itu.

Sekitar pukul 17.00, setibanya di rumah Mbah Marijan, tokoh yang saat ini menjadi "most wanted person" bagi para pencari berita itu sedang duduk berdzikir di Masjid di depan rumahnya. Perawakannya kecil, jalannya sudah mulai lamban walau pun ia masih mampu menempuh puncak Merapi dengan berjalan kaki. Kesan pertama ketika bertemunya, jauh dari cerita yang sering tertulis di beberapa media massa. Sosoknya amat sederhana, sesederhana rumahnya yang tak berbeda dengan rumah kebanyakan warga di Dusun Kinaherjo. Padahal, 'jabatan' yang disandangnya dari Sultan bukanlah jabatan sepele dan tidak sembarang orang bisa dipercaya menjadi juru kunci.

Mbah Marijan tetap tenang, tak menganggap kepulan asap di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warganya untuk waspada, namun ia belum menganjurkan seluruh warga yang tinggal di lereng merapi untuk mengungsi. Menurut mbah Marijan, Merapi sudah biasa 'batuk-batuk' seperti saat ini. Dan belum warga belum perlu mengungsi.

Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya gunung Merapi. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya untuk turun dan mengungsi. Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sultan yang meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur," ujar Mbah Marijan.

Dalam pembicaraan yang terekam handycam yang kami bawa itu, Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah mengizinkannya melakukan doa bersama mohon keselamatan agar Merapi tak 'marah'. "Masalahnya, saya diizinkan atau tidak oleh pemerintah kalau saya berdoa kepada Gusti Allah..." tanya Mbah berharap.

Pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu jawaban dari Sultan atau pun pemerintah setempat. Karena bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di kampung-kampung dengan mengundang banyak orang. "Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," tambah Mbah.

Mbah Marijan bukan sosok penuh misteri, bukan tokoh klenik, bukan pula seperti yang banyak diberitakan di media massa tentang kesaktian dan ilmu-ilmu aneh yang dimilikinya. Lelaki berumur lebih dari 80-an itu adalah orang yang shalih, taat beribadah dan senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Begitu juga dengan keluarganya, istri dan lima anaknya adalah orang-orang shalih.

Soal keengganannya berbahasa Indonesia, mbah Marijan berkomentar, "Saya ini orang kecil, hanya berbahasa menggunanakan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong, saya tak mau dibilang sombong."

Subhanallah, suatu anugerah luar biasa bisa berkunjung ke rumah mbah Marijan. Teramat banyak pelajaran dari tutur kata lembutnya yang terasa sangat 'dalam'. Tak terasa persinggahan di rumah sederhana itu hingga pukul 20.00. Kekhawatiran akan meletusnya Merapi pada saat kami berada di rumah itu, seolah sirna oleh ketenangan yang memancar dari wajah lelaki mengagumkan itu.

Penjaga Gunung Yang Setia

Tanyakan kepada orang Jogyakarta, siapa yang tak kenal Mbah Marijan? Jika ia memang orang asli Jogyakarta, Insya Allah tak mungkin tak mengenal tokoh satu ini. Terlebih kini namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan seiring hangatnya udara malam di Kaliurang karena sang Merapi tengah bergejolak. Mbah Marijan, menjadi tokoh yang tak kalah tenarnya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Gubernur Kota pelajar ini.

Gunung Merapi, memang diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas gunung merapi paling aktif di Indonesia ini. Riuh rendah dan hingar bingar di 'bawah' ternyata tak membuat Mbah Marijan ikut sibuk. Ia tetap tenang seolah Merapi tak tengah mengancamnya.

Aneh. Kesan itu yang terbawa ketika hendak menemuinya Sabtu sore (29/4) di rumahnya di Dusun Kinahrejo.
Banyak berita yang menyebut lelaki tua ini sangat sakti, memiliki 'ilmu' yang sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi. Jalan menuju rumah Mbah Marijan terus menanjak mendekati Gunung Merapi, namun sepanjang jalan tak sedikit pun ditemui jalan rusak, sepanjang jalan semenjak dari Palemsari hingga rumah Mbah Marijan jalannya mulus tak berlubang. Mungkin karena Sultan kerap mengunjungi kuncen Merapi itu.

Sekitar pukul 17.00, setibanya di rumah Mbah Marijan, tokoh yang saat ini menjadi "most wanted person" bagi para pencari berita itu sedang duduk berdzikir di Masjid di depan rumahnya. Perawakannya kecil, jalannya sudah mulai lamban walau pun ia masih mampu menempuh puncak Merapi dengan berjalan kaki. Kesan pertama ketika bertemunya, jauh dari cerita yang sering tertulis di beberapa media massa. Sosoknya amat sederhana, sesederhana rumahnya yang tak berbeda dengan rumah kebanyakan warga di Dusun Kinaherjo. Padahal, 'jabatan' yang disandangnya dari Sultan bukanlah jabatan sepele dan tidak sembarang orang bisa dipercaya menjadi juru kunci.

Mbah Marijan tetap tenang, tak menganggap kepulan asap di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warganya untuk waspada, namun ia belum menganjurkan seluruh warga yang tinggal di lereng merapi untuk mengungsi. Menurut mbah Marijan, Merapi sudah biasa 'batuk-batuk' seperti saat ini. Dan belum warga belum perlu mengungsi.

Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya gunung Merapi. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya untuk turun dan mengungsi. Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sultan yang meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur," ujar Mbah Marijan.

Dalam pembicaraan yang terekam handycam yang kami bawa itu, Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah mengizinkannya melakukan doa bersama mohon keselamatan agar Merapi tak 'marah'. "Masalahnya, saya diizinkan atau tidak oleh pemerintah kalau saya berdoa kepada Gusti Allah..." tanya Mbah berharap.

Pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu jawaban dari Sultan atau pun pemerintah setempat. Karena bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di kampung-kampung dengan mengundang banyak orang. "Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," tambah Mbah.

Mbah Marijan bukan sosok penuh misteri, bukan tokoh klenik, bukan pula seperti yang banyak diberitakan di media massa tentang kesaktian dan ilmu-ilmu aneh yang dimilikinya. Lelaki berumur lebih dari 80-an itu adalah orang yang shalih, taat beribadah dan senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Begitu juga dengan keluarganya, istri dan lima anaknya adalah orang-orang shalih.

Soal keengganannya berbahasa Indonesia, mbah Marijan berkomentar, "Saya ini orang kecil, hanya berbahasa menggunanakan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong, saya tak mau dibilang sombong."

Subhanallah, suatu anugerah luar biasa bisa berkunjung ke rumah mbah Marijan. Teramat banyak pelajaran dari tutur kata lembutnya yang terasa sangat 'dalam'. Tak terasa persinggahan di rumah sederhana itu hingga pukul 20.00. Kekhawatiran akan meletusnya Merapi pada saat kami berada di rumah itu, seolah sirna oleh ketenangan yang memancar dari wajah lelaki mengagumkan itu.

Petilasan Panembahan Senopati

Kotagede yang sering disebut juga Sargede terletak kurang lebih lima kilometer di sebelah tenggara Yogyakarta. Di kawasan ini wisatawan dapat mengunjungi makam Raja-raja Mataram seperti Sutowijoyo atau Ngabei Loring Pasar, pendiri Kerajaan Mataram yang kemudian digelari Panembahan Senopati. Ada juga makam yang unik dari Ki Ageng Mangir, yaitu menantu dan sekaligus musuh Panembahan Senopati. Jasadnya dimakamkan diluar kompleks.

Seratus meter dari makam terdapat sebuah batu yang disebut ‘Watu Gilang’, yaitu batu yang digunakan oleh Panembahan Senopati untuk menghantam kepala Ki Ageng Mangir hingga tewas. Bagi yang ingin masuk ke dalam makam harus mengenakan pakaian tradisional yang dapat disewa di tempat itu juga. Makam Raja-raja di Kotagede dibuka setiap hari Senin jam 10.00 sampai 12.00, dan hari Jumat. Di sana terdapat gerbang yang anggun, kolam yang penuh dengan Clarius Melanodermas dan kura-kura kuning yang telah berumur ratusan tahun, masyarakat meyakini bahwa kura-kura tersebut ajaib dan keramat Kompleks makam berada dalam lingkungan pagar tembok berbahan batu putih dan batu bata.

Kompleks makam terbagi dalam 3 bagian, yaitu Masjid, makam dan sendang. Masjid terletak di bagian Timur, makam di bagian Barat dan sendang di bagian Barat Daya. Ketiga bagian tersebut dibatasi oleh pagar tembok dan dihubungkan dengan gapura. Pada halaman pertama ini terdapat prasasti yang berbunyi: Kanjeng Panembahan Senopati, Bertahta Kerajaan Mataram, Tahun Djinawal : 1509 Tahun Masehi : 1579, Kubur Kotagede Selain itu juga terdapat bangunan yang disebut dengan Bangsal Duda dengan. Halaman Kedua, di halaman ini terdapat 4 buah bangunan, yaitu bangunan di sudut Tenggara, Timur laut, Barat laut dan Barat Daya. Halaman Ketiga, terdapat bangunan utama yang terdiri dari 3 buah bangunan yang disebut Bangsal Prabayaksa, Bangsal Witana dan Bangsal Tajug.

Bangsal Prabayaksa merupakan bangunan berdinding tembok di dalam bangsal ini terdapat 72 makam yang dibuat dengan bahan marmer berwarna putih, yaitu antara lain makam Panembahan Senopati, Sultan Sedo Krapyak, Sultan Sepuh, Pangeran adipati Pakualam I, ki Ageng Mangir, PA II, PA III, dan PA IV Khusus untuk makam Ki Ageng Mangir, sebagian berada di luar bangunan dan sebagian berada di dalam bangunan.

angsal Witana, di dalam bangsal witana ini terdapat 4 buah makam dari bahan marmer, yaitu makam Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Juru Mertani. Bangsal Tajug, di dalam bangunan terdapat 3 buah makam, yaitu makam Nyai Ageng Nis, Pangeran Jayaprana dan Datuk Palembang. Selain bangunan utama terdapat bangunan cungkup yang lain dengan ukuran yang lebih kecil, yang berada di sebelah Timur bangunan utama. Cungkup tersebut berisi makam-makam keturunan Pangeran Pakualam I Terletak di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantu tepatnya di sebelah Selatan Pasar Kotagede.

Petilasan Panembahan Senopati

Kotagede yang sering disebut juga Sargede terletak kurang lebih lima kilometer di sebelah tenggara Yogyakarta. Di kawasan ini wisatawan dapat mengunjungi makam Raja-raja Mataram seperti Sutowijoyo atau Ngabei Loring Pasar, pendiri Kerajaan Mataram yang kemudian digelari Panembahan Senopati. Ada juga makam yang unik dari Ki Ageng Mangir, yaitu menantu dan sekaligus musuh Panembahan Senopati. Jasadnya dimakamkan diluar kompleks.

Seratus meter dari makam terdapat sebuah batu yang disebut ‘Watu Gilang’, yaitu batu yang digunakan oleh Panembahan Senopati untuk menghantam kepala Ki Ageng Mangir hingga tewas. Bagi yang ingin masuk ke dalam makam harus mengenakan pakaian tradisional yang dapat disewa di tempat itu juga. Makam Raja-raja di Kotagede dibuka setiap hari Senin jam 10.00 sampai 12.00, dan hari Jumat. Di sana terdapat gerbang yang anggun, kolam yang penuh dengan Clarius Melanodermas dan kura-kura kuning yang telah berumur ratusan tahun, masyarakat meyakini bahwa kura-kura tersebut ajaib dan keramat Kompleks makam berada dalam lingkungan pagar tembok berbahan batu putih dan batu bata.

Kompleks makam terbagi dalam 3 bagian, yaitu Masjid, makam dan sendang. Masjid terletak di bagian Timur, makam di bagian Barat dan sendang di bagian Barat Daya. Ketiga bagian tersebut dibatasi oleh pagar tembok dan dihubungkan dengan gapura. Pada halaman pertama ini terdapat prasasti yang berbunyi: Kanjeng Panembahan Senopati, Bertahta Kerajaan Mataram, Tahun Djinawal : 1509 Tahun Masehi : 1579, Kubur Kotagede Selain itu juga terdapat bangunan yang disebut dengan Bangsal Duda dengan. Halaman Kedua, di halaman ini terdapat 4 buah bangunan, yaitu bangunan di sudut Tenggara, Timur laut, Barat laut dan Barat Daya. Halaman Ketiga, terdapat bangunan utama yang terdiri dari 3 buah bangunan yang disebut Bangsal Prabayaksa, Bangsal Witana dan Bangsal Tajug.

Bangsal Prabayaksa merupakan bangunan berdinding tembok di dalam bangsal ini terdapat 72 makam yang dibuat dengan bahan marmer berwarna putih, yaitu antara lain makam Panembahan Senopati, Sultan Sedo Krapyak, Sultan Sepuh, Pangeran adipati Pakualam I, ki Ageng Mangir, PA II, PA III, dan PA IV Khusus untuk makam Ki Ageng Mangir, sebagian berada di luar bangunan dan sebagian berada di dalam bangunan.

angsal Witana, di dalam bangsal witana ini terdapat 4 buah makam dari bahan marmer, yaitu makam Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Juru Mertani. Bangsal Tajug, di dalam bangunan terdapat 3 buah makam, yaitu makam Nyai Ageng Nis, Pangeran Jayaprana dan Datuk Palembang. Selain bangunan utama terdapat bangunan cungkup yang lain dengan ukuran yang lebih kecil, yang berada di sebelah Timur bangunan utama. Cungkup tersebut berisi makam-makam keturunan Pangeran Pakualam I Terletak di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantu tepatnya di sebelah Selatan Pasar Kotagede.

Misteri Lereng Gunung Dieng

Dieng, yang berarti edi tur aengsi (tempat yang indah). Apalagi kalau dilihat dari puncak gunung, pemandangan dari sana terlihat sangat indah.

Dieng juga berarti tempat para dewa.

Menurut Ki Rusmanto(58), kuncen Pertapan Mandala Sari, yang di nobatkan oleh Eyang Begawan Sampurno Jati. Dieng adalah tempat bersemayamnya para dewa, dan sampai sekarang pun masih bersemayam disini. “Saya yakin bahwa para dewa masih bersemayam disini, pertapan ini adalah keratonnya para dewa,” katanya.

Keberadaan keramat-keramat di Gunung Dieng, memiliki kaitan erat dengan kekuasaan gaib Segoro Kidul. “Ibu Ratu Segoro Kidul memberikan Amanat pada para leluhur yang ditugaskan di Gunung Dieng,” lanjutnya. Perjalanan spiritual di keramat-keramat Gunung Dieng mengandung makna kehidupan, pelajaran-pelajaran hidup tersirat di dalamnya, tinggal bagaimana kita yang memaknai. Keramat-keramat di Gunung Dieng memiliki nilai pendidikan spiritual.

“Semua keramat di Gunung Dieng mengandung pendidikan spiritual,” kata Ki Rusmanto,

Dimulai dari Bima Lukar yang merupakan sumber mata air Sungai Serayu, disini harus mandi jamas yang bertujuan untuk mengeluarkan “bronjong kamurkan” atau angkara murka. Membersihkan jiwa dan raga, ini dilakukan sebelum masuk ke Pertapan Mandala Sari. Di depan ada Telaga Warna, yang melambangkan nafsu yaitu empat nafsu kalau orang Jawa menyebutnya sedulur papat, (amarah, aluamah, supiah dan mutmainah). Kelima pancer yang dianut dari empat saudara itu. Sehingga sedulur papat harus menyatu atau manunggal, jangan sampai pisah apalagi jalan sendiri-sendiri.

“Disini ada Goa Jaran, Jaran itu nafsu, jadi nafsu ke empat tadi harus dikendalikan ke arah yang putih. Sehingga, disitu jumeneng Eyang Resi Kendali Seto atau yang mengendalikan nafsu.”

Telaga pengilon (cermin), manusia harus berkaca, introspeksi diri, jangan suka menyalahkan orang lain tapi kita sudah benar apa belum? Kalau kita sudah benar pun juga tidak boleh mengatakan benar. Membenarkan diri adalah prilaku yang kurang baik.

Setelah itu baru bisa masuk ke Goa Semar, Goa berarti ghugu marang pitulungku, Semar’ ojo samar wong urip ono sing nguripi. Gusti Inkang Maha Suci Sumarah Purbange Sang Murbeng dzat, olo becik dadi sandangane alam mboten saget dirubah. Baik dan buruk adalah kelengkapan alam, tidak bisa dirubah tetapi tinggal bagaimana mengendalikannya. Jadi yang nafsu jelek itu bisa dikendalikan atau tidak.

“Kemudian Goa Sumur, disitu ada banyu panguripan (tirto kamandanu) bagi orang yang percaya pada warisan leluhur, air itu bisa bermanfaat untuk pengobatan, penglaris, dll,” kata Ki Rusmanto.

Misalnya Kawah Sikidang, kidang (rusa) itu jalannya lompat-lompat dan makannya pupus daun, memiliki magna bahwa cita-cita atau keinginan boleh setinggi langit tapi “Sumarah purbaning gusti, mupus panduming gusti” berserah pada Tuhan, karena semua kuasanya Gusti Alloh.

Makanya harus masuk Kawah Sileri yang magnanya, orang hidup tidak boleh melanggar wewelering (aturan) urip yang empat perkara.

1. Melanggar wewelering rumah tangga.
2. Melanggar wewelering masyarakat.
3. Melanggar wewelering negara.
4. Melanggar wewelering Gusti Inkang Maha Suci, Alloh SWT.

Setelah itu masuk Kawah Candradimuka, kalau semua di jalankan dengan baik, keinginan atau cita-cita ya jangan sampai di tunda-tunda. Condro iku wulan, muko iku ngarep yo ojo ditunda nganti wulan-wulan. Makanya ada Jala Tunda, keinginan yang baik jangan ditunda-tunda. “Apa yang diinginkan supaya cepat kesampaian dan tidak tertunda-tunda,” kata Ki Rusmanto. Itu tatanan alam yang ada disini mengandung nilai pendidikan spiritual yang harus dihayati semua umat berbudaya.

Eyang Purbowaseso, yang menentukan diterima tidaknya permintaan ke para leluhur.

“Sebagai orang tua, harus memberikan wawasan untuk anak-anak supaya nanti dapat memahami dan mengetahui tatanan budaya Nusantara yang sebenarnya,” tuturnya. Sebab jaman akan berubah, kembali lagi pada tatanan budaya. Nanti setelah tahun 2011, harus sudah berjalan tatanan budaya Nusantara, adat istiadat, budaya, warisan.

Bangsa Indonesia akan mengalami kejayaan apabila mau kembali pada tatanan budaya, agama yang berbudaya itu, tidak meninggalkan adat istiadat warisan leluhur. Silahkan beragama apapun yang disahkan oleh negara, tapi kebudayaan harus tetap di pertahankan keberadaannya.

“Kalau tidak mau kembali pada tatanan budaya Nusantara, akan tersingkir oleh Revolusi Alam, tahun 2009 akan terjadi huru-hara yaitu perang politik dan perang gaib,” kata Ki Rusmanto. “Perang gaib, kawulanya Ibu Ratu Kidul sudah mulai kerja, mulai mengambil orang-orang jahat yang tidak kena jeratan hukum, dengan revolusi alam lewat karma pala, ” lanjutnya.

Setelah itu Indonesia akan mengalami kejayaan, Dunia akan berpaling ke Indonesia setelah Pancasila diamalkan oleh bangsa Indonesia secara murni dan konsekuen. Karena pancasila merupakan jatidiri bangsa warisan leluhur.

Dieng sangat erat kaitannya dengan Ratu Kidul, setiap kali menjalankan peringatan adat rambut gembel, kalau sudah diruwat dipotong kemudian rambut gembel akan dilarung di Telaga Warna. “Lha itu hubungannya Telaga Warna dengan Ibu Ratu Kidul, untuk umum larungan di Sungai Serayu yang mengalir ke Segoro Kidul.” Demikian “Yang menitipkan rambut gembel untuk anak-anak daerah Wonosobo, Banjar Negara, Temanggung, ya utusan Ibu Ratu Kidul,” tuturnya. Gembel untuk anaknya seneng, tapi bagi orang tuanya diberi sesuker, tanggung jawab karena anak yang diberi gembel nantinya mesti diruwat.

“Tapi anaknya kan seneng, anak gembel itu minta kadangan apa yang diminta eyangnya lha itu nanti dituruti permintaannya,” kata Ki Rusmanto. Gembel tidak dibuat, karena itu titipan dari Kyai Tumenggung Kala Dete yang artinya, Kala itu waktu, Dete itu kosong. Jadi ketika itu Eyang Tumenggung Kala Dete naik ke Dieng masih dalam keadaan kosong, belum ada penghuninya. Kemudian muswo di Gunung Kendil, di Pesanggrahan Giri Kala Wacana di Gunung Kendil, yang menitipkan sesuker di Gunung Dieng yang disebut gembel. “Proses datangnya gembel biasanya anak itu akan panas (sakit) sampai tujuh kali, tidak perlu di obati nanti kalau gembelnya jadi ya sembuh sendiri,” tuturnya. Biasanya mulai umur dua sampai tiga tahun, baru ada proses gembel.

Candi Pandawa Lima.

Candi Pandawa Lima, peninggalan jaman Kalingga sekitar abad VIII. Dibangun sekitar tahun 732 M. Candi-candi itu dulunya merupakan makam para raja waktu itu, kemudian menjadi tempat sembahyang umat Hindu.

Pandawa Lima adalah para kesatria di jaman Mahabarata, putra Pandu Dewanata yang memiliki watak kesatria. Pandawa Lima menjadi figur kebajikan, juga menjadi contoh bagi para pemimpin dan harapan bagi orang tua kepada anak-anaknya.

Bagi masyarakat Jawa, tokoh pandawa sudah tidak asing lagi. Namun, entah dengan anak-anak sekarang apakah ada pengenalan tentang tokoh-tokoh kesatria ini ditengah maraknya jagoan-jagoan dalam film kartun yang di Import dari luar.

Para tokoh pandawa antara lain.

1. Puntadewa, memiliki watak pendiam, bijaksana dan sedikit bicara. selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Melambangkan sifat keTuhanan.
2. Werkudara (Bimo), memiliki postur yang besar, keberaniannya menghadapi apapun menjadi figur keTeguhan dalam mempertahankan prinsip dan nilai-nilai dasar kehidupan. Karena keteguhannya sehingga mampu mencapai keIklasan tertinggi seperti dalam kisah pewayangan, ketika Werkudara yang bertekad menolong Pandu dari dasar neraka atau Kawah Candradimuka.
3. Arjuna, memiliki kepiawaian, kecerdasan dan kecakapan. Sehingga, selalu menang dalam setiap pertandingan dan sayembara. Melambangkan seorang yang memiliki Pendidikan dan Intelektual yang tinggi dan menggunakannya dalam kebajikan.
4. Nakula, memiliki sifat welas asih, serta kasih sayang pada sesama.
5. Sadewa, melambangkan sifat Loyalitas, Sadewa juga mendapatkan nama Sudhamala yang artinya bersih dari dosa dan pasrah pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Namun para Satria Pandawa harus di bimbing oleh Ki Semar, yang mampu memberikan petunjuk kebaikan dan lebih mengutamakan derajad atau keUtamaan (kautaman) tanpa Pamrih.

Misteri Lereng Gunung Dieng

Dieng, yang berarti edi tur aengsi (tempat yang indah). Apalagi kalau dilihat dari puncak gunung, pemandangan dari sana terlihat sangat indah.

Dieng juga berarti tempat para dewa.

Menurut Ki Rusmanto(58), kuncen Pertapan Mandala Sari, yang di nobatkan oleh Eyang Begawan Sampurno Jati. Dieng adalah tempat bersemayamnya para dewa, dan sampai sekarang pun masih bersemayam disini. “Saya yakin bahwa para dewa masih bersemayam disini, pertapan ini adalah keratonnya para dewa,” katanya.

Keberadaan keramat-keramat di Gunung Dieng, memiliki kaitan erat dengan kekuasaan gaib Segoro Kidul. “Ibu Ratu Segoro Kidul memberikan Amanat pada para leluhur yang ditugaskan di Gunung Dieng,” lanjutnya. Perjalanan spiritual di keramat-keramat Gunung Dieng mengandung makna kehidupan, pelajaran-pelajaran hidup tersirat di dalamnya, tinggal bagaimana kita yang memaknai. Keramat-keramat di Gunung Dieng memiliki nilai pendidikan spiritual.

“Semua keramat di Gunung Dieng mengandung pendidikan spiritual,” kata Ki Rusmanto,

Dimulai dari Bima Lukar yang merupakan sumber mata air Sungai Serayu, disini harus mandi jamas yang bertujuan untuk mengeluarkan “bronjong kamurkan” atau angkara murka. Membersihkan jiwa dan raga, ini dilakukan sebelum masuk ke Pertapan Mandala Sari. Di depan ada Telaga Warna, yang melambangkan nafsu yaitu empat nafsu kalau orang Jawa menyebutnya sedulur papat, (amarah, aluamah, supiah dan mutmainah). Kelima pancer yang dianut dari empat saudara itu. Sehingga sedulur papat harus menyatu atau manunggal, jangan sampai pisah apalagi jalan sendiri-sendiri.

“Disini ada Goa Jaran, Jaran itu nafsu, jadi nafsu ke empat tadi harus dikendalikan ke arah yang putih. Sehingga, disitu jumeneng Eyang Resi Kendali Seto atau yang mengendalikan nafsu.”

Telaga pengilon (cermin), manusia harus berkaca, introspeksi diri, jangan suka menyalahkan orang lain tapi kita sudah benar apa belum? Kalau kita sudah benar pun juga tidak boleh mengatakan benar. Membenarkan diri adalah prilaku yang kurang baik.

Setelah itu baru bisa masuk ke Goa Semar, Goa berarti ghugu marang pitulungku, Semar’ ojo samar wong urip ono sing nguripi. Gusti Inkang Maha Suci Sumarah Purbange Sang Murbeng dzat, olo becik dadi sandangane alam mboten saget dirubah. Baik dan buruk adalah kelengkapan alam, tidak bisa dirubah tetapi tinggal bagaimana mengendalikannya. Jadi yang nafsu jelek itu bisa dikendalikan atau tidak.

“Kemudian Goa Sumur, disitu ada banyu panguripan (tirto kamandanu) bagi orang yang percaya pada warisan leluhur, air itu bisa bermanfaat untuk pengobatan, penglaris, dll,” kata Ki Rusmanto.

Misalnya Kawah Sikidang, kidang (rusa) itu jalannya lompat-lompat dan makannya pupus daun, memiliki magna bahwa cita-cita atau keinginan boleh setinggi langit tapi “Sumarah purbaning gusti, mupus panduming gusti” berserah pada Tuhan, karena semua kuasanya Gusti Alloh.

Makanya harus masuk Kawah Sileri yang magnanya, orang hidup tidak boleh melanggar wewelering (aturan) urip yang empat perkara.

1. Melanggar wewelering rumah tangga.
2. Melanggar wewelering masyarakat.
3. Melanggar wewelering negara.
4. Melanggar wewelering Gusti Inkang Maha Suci, Alloh SWT.

Setelah itu masuk Kawah Candradimuka, kalau semua di jalankan dengan baik, keinginan atau cita-cita ya jangan sampai di tunda-tunda. Condro iku wulan, muko iku ngarep yo ojo ditunda nganti wulan-wulan. Makanya ada Jala Tunda, keinginan yang baik jangan ditunda-tunda. “Apa yang diinginkan supaya cepat kesampaian dan tidak tertunda-tunda,” kata Ki Rusmanto. Itu tatanan alam yang ada disini mengandung nilai pendidikan spiritual yang harus dihayati semua umat berbudaya.

Eyang Purbowaseso, yang menentukan diterima tidaknya permintaan ke para leluhur.

“Sebagai orang tua, harus memberikan wawasan untuk anak-anak supaya nanti dapat memahami dan mengetahui tatanan budaya Nusantara yang sebenarnya,” tuturnya. Sebab jaman akan berubah, kembali lagi pada tatanan budaya. Nanti setelah tahun 2011, harus sudah berjalan tatanan budaya Nusantara, adat istiadat, budaya, warisan.

Bangsa Indonesia akan mengalami kejayaan apabila mau kembali pada tatanan budaya, agama yang berbudaya itu, tidak meninggalkan adat istiadat warisan leluhur. Silahkan beragama apapun yang disahkan oleh negara, tapi kebudayaan harus tetap di pertahankan keberadaannya.

“Kalau tidak mau kembali pada tatanan budaya Nusantara, akan tersingkir oleh Revolusi Alam, tahun 2009 akan terjadi huru-hara yaitu perang politik dan perang gaib,” kata Ki Rusmanto. “Perang gaib, kawulanya Ibu Ratu Kidul sudah mulai kerja, mulai mengambil orang-orang jahat yang tidak kena jeratan hukum, dengan revolusi alam lewat karma pala, ” lanjutnya.

Setelah itu Indonesia akan mengalami kejayaan, Dunia akan berpaling ke Indonesia setelah Pancasila diamalkan oleh bangsa Indonesia secara murni dan konsekuen. Karena pancasila merupakan jatidiri bangsa warisan leluhur.

Dieng sangat erat kaitannya dengan Ratu Kidul, setiap kali menjalankan peringatan adat rambut gembel, kalau sudah diruwat dipotong kemudian rambut gembel akan dilarung di Telaga Warna. “Lha itu hubungannya Telaga Warna dengan Ibu Ratu Kidul, untuk umum larungan di Sungai Serayu yang mengalir ke Segoro Kidul.” Demikian “Yang menitipkan rambut gembel untuk anak-anak daerah Wonosobo, Banjar Negara, Temanggung, ya utusan Ibu Ratu Kidul,” tuturnya. Gembel untuk anaknya seneng, tapi bagi orang tuanya diberi sesuker, tanggung jawab karena anak yang diberi gembel nantinya mesti diruwat.

“Tapi anaknya kan seneng, anak gembel itu minta kadangan apa yang diminta eyangnya lha itu nanti dituruti permintaannya,” kata Ki Rusmanto. Gembel tidak dibuat, karena itu titipan dari Kyai Tumenggung Kala Dete yang artinya, Kala itu waktu, Dete itu kosong. Jadi ketika itu Eyang Tumenggung Kala Dete naik ke Dieng masih dalam keadaan kosong, belum ada penghuninya. Kemudian muswo di Gunung Kendil, di Pesanggrahan Giri Kala Wacana di Gunung Kendil, yang menitipkan sesuker di Gunung Dieng yang disebut gembel. “Proses datangnya gembel biasanya anak itu akan panas (sakit) sampai tujuh kali, tidak perlu di obati nanti kalau gembelnya jadi ya sembuh sendiri,” tuturnya. Biasanya mulai umur dua sampai tiga tahun, baru ada proses gembel.

Candi Pandawa Lima.

Candi Pandawa Lima, peninggalan jaman Kalingga sekitar abad VIII. Dibangun sekitar tahun 732 M. Candi-candi itu dulunya merupakan makam para raja waktu itu, kemudian menjadi tempat sembahyang umat Hindu.

Pandawa Lima adalah para kesatria di jaman Mahabarata, putra Pandu Dewanata yang memiliki watak kesatria. Pandawa Lima menjadi figur kebajikan, juga menjadi contoh bagi para pemimpin dan harapan bagi orang tua kepada anak-anaknya.

Bagi masyarakat Jawa, tokoh pandawa sudah tidak asing lagi. Namun, entah dengan anak-anak sekarang apakah ada pengenalan tentang tokoh-tokoh kesatria ini ditengah maraknya jagoan-jagoan dalam film kartun yang di Import dari luar.

Para tokoh pandawa antara lain.

1. Puntadewa, memiliki watak pendiam, bijaksana dan sedikit bicara. selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Melambangkan sifat keTuhanan.
2. Werkudara (Bimo), memiliki postur yang besar, keberaniannya menghadapi apapun menjadi figur keTeguhan dalam mempertahankan prinsip dan nilai-nilai dasar kehidupan. Karena keteguhannya sehingga mampu mencapai keIklasan tertinggi seperti dalam kisah pewayangan, ketika Werkudara yang bertekad menolong Pandu dari dasar neraka atau Kawah Candradimuka.
3. Arjuna, memiliki kepiawaian, kecerdasan dan kecakapan. Sehingga, selalu menang dalam setiap pertandingan dan sayembara. Melambangkan seorang yang memiliki Pendidikan dan Intelektual yang tinggi dan menggunakannya dalam kebajikan.
4. Nakula, memiliki sifat welas asih, serta kasih sayang pada sesama.
5. Sadewa, melambangkan sifat Loyalitas, Sadewa juga mendapatkan nama Sudhamala yang artinya bersih dari dosa dan pasrah pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Namun para Satria Pandawa harus di bimbing oleh Ki Semar, yang mampu memberikan petunjuk kebaikan dan lebih mengutamakan derajad atau keUtamaan (kautaman) tanpa Pamrih.