MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

SYARAT DITERIMA,,UANGPUN TUNAI DIDAPAT

Menurut keterangan juru kunci Bank Gaib, untuk mendapatkan pesugihan di tempat ini, pelaku harus melakukan ritual khusus di bawah punden pohon kamboja tersebut. Adapun syarat sesaji yang harus dipenuhi oleh pelaku yakni, minyak jafaron, kembang tiga macam atau yang lazim disebut kembang telon, kemenyan atau yosua, nasi tumpeng serta ayam panggang.

Setelah semua sesaji lengkap, dengan dipandu oleh juru kunci atau penjaga punden, pelaku dapat langsung melakukan ritual. Dan ritual ini harus dilakukan pada malam Jum’at. Akan lebih afdol, jika ritual dilakukan pada malam Jum’at yang keramat, yakni malam Jum’at Legi atau Kliwon.

“Syarat-syaratnya harus dipenuhi. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Dan akan lebih baik. Kalau kurang, pasti tidak akan ada respon dari alam sana,” tutur juru kunci, yakni seorang kakek berusia 70-an tahun yang akrab disapa Mbah Miran.

Bila semua persyaratan sudah dilengkapi, dan si pelaku sudah mantap lahir dan batin, maka Mbah Miran akan membeberkan tata cara ritualnya. Setelah prosesi ritual yang dipandu juru kunci usai, pelaku dapat langsung pulang ke rumah. Karena memang, uang tunai yang didapat oleh pelaku dari mencari pesugihan di tempat ini, tidak cair saat itu juga. Namun pelaku harus menyediakan kamar khusus dirumahnya.( Bisa Juga di ambil secara langsung tapi ada syarat khusus berupa minyak seharga Rp.13 Juta )

“Asal sesaji yang dipersembahkan diterima oleh sang penguasa gaib, dalam kurun waktu antara 40-90 hari, maka uang tunai akan secepatnya dikirim,” tandas Mbah Miran.

Lebih lanjut dijelaskan olehnya, di Bank Gaib Punden Beji, sesungguhnya ada dua pilihan bagi pelaku yang ingin mendapatkan uang tunai. Pilihan pertama adalah dengan cara meminjam, dan yang kedua adalah dengan cara meminta. Jika meminta, biasanya maka yang didapat oleh pelaku cuma sekedarnya saja. Suatu missl, pelaku betul-betul kepepet karena ditagih utang dan harus segera membayar. Jika seperti ini dan mengatakan hanya ingin meminta pada saat ritual, maka pelaku akan diberi oleh sang penguasa gaib sebatas besarnya utang si pelaku. Konon, hal ini tanpa tumbal apapun. Yang penting, si pelaku benar-benar tengah dikejar utang.

“Kalau berbohong, jangan harap akan diberi. Malahan bisa saja dia celaka!” Tandas Mbah Miran.

Jika saat ritual pelaku mengatakan ingin mendapat pinjaman, maka akan lain lagi nilai yang diperoleh. “Pelaku tingal menyebut angka nominal yang diinginkannya,” tambah si kakek. Dia lalu menyebutkan bahwa penguasa gaib tempat itu hanya bisa memberikan pinjaman uang tak lebih dari 3 milyar rupiah jumlahnya.

“Kalau saat meminjam pelaku menyebut angka nominal lebih dari itu, maka dapat dipastikan tidak akan dipenuhi. Masalah besar pencairannya, Eyang yang mengira-ngira. Tapi yang jelas, pasti lebih satu milyar,” cerita Mbah Miran kepada kami

Ketika lebih lanjut ditanyakan tentang para pencari pesugian di tempat itu yang telah sukses, juru kunci dengan blak-blakan menyebut beberapa nama. Di antaranya, Margono warga , Purwodadi, Jawa Tengah, Adji Saputro dari Jakarta serta seorang berinisial SHD yang menurut Mbah Miran, berprofesi sebagai wartawan di Jakarta.

“Itu hanya sebagian yang saya sebutkan. Yang jelas, banyak sekali yang sukses. Dan yang jelas lagi, dari yang sukses itu ada juga wartawan. Tapi jangan tersinggung lho, Mas!” Tutur juru kunci dengan nada setengah bercanda.

Masih menurut cerita Mbah Miran, walau tempat itu sering didatangi para pencari pesugihan yang menginginkan uang tunai, baik itu yang pinjam milyaran rupiah maupun yang diberi secara cuma-cuma, tapi dana yang bersedia di Bank Gaib Punden Beji, takkan habis dalam waktu dekat ini. Pasalnya, menurut Mbah Miran, di tempat tersebut, tersedia uang tunai sebanyak tiga kontainer besar.

“Hingga kini, yang dibuka baru satu kontainer. Itupun belum ada sepersepuluh dari isi container itu yang telah dipinjamkan kepada para nasabah,” tandas Mbah Miran yang mengaku bisa melihat keberadaan uang tersebut dengan kekuatan mata batinnya.

Bahkan, menurutnya lagi, di bank gaib tersebut juga ada sistem seperti juga layaknya ada sistem administrasi yang berlaku di sebuah bank di alam manusia.

“Bank gaib itu juga punya karyawan. Para karyawan itu umumnya adalah mantan pelaku pesugihan yang telah dis waktunya, dan harus mengabdi di alam gaib Punden Boja. Nah, mereka inilah yang mendata besarnya pinjaman serta kapan waktu pengembaliannya bagi para nasabah baru,” cerita Mbah Miran.

“Yang jadi karyawannya adalah mantan nasabah yang sudah meninggal. Mereka yang kemudian disuruh mendata para nasabah baru. Termasuk mencatat kapan waktu pengembaliannya. Kalau masalah pencairan, Eyang sendiri yang mengantar ke rumah nasabah.” Jelas Mbah Miran ketika Misteri mendesaknya lagi. Yang disebutnya sebagai Eyang adalah penguasa gaib tempat itu.

Seperti halnya tempat pesugihan ditempat lain, pesugihan Bank Gaib Punden Beji juga meminta tumbal nyawa. Namun menurut juru kunci, penguasa gaib tempat itu, tidak mau diberi tumbal nyawa orang lain, walau itu keluarga si pelaku. Yang diinginkan oleh sang penguasa, nyawa pelaku sendiri.

“Namun hal ini berlaku jika pelaku tak mampu mengembalikan pinjaman tepat waktu!” Tandas Mbah Miran.

Menurut perkiraan Kamii, sebenarnya ada perbedaan yang signifikan antara tumbal nyawa di tempat pesugihan lain dengan Bank Gaib Punden Beji. Jika di tempat lain biasanya pelaku akan menjadi abdi sang penguasa gaib sebelum takdirnya tiba, tapi tidak demikian di tempat ini. Menurut juru kunci, biasanya pelaku diberi kesempatan hingga usia pelaku maksimal 90 tahun untuk mengembalikan pinjaman. Dalam kurun waktu itu, jika pelaku mampu mengembalikan dengan utuh pinjamannya yang tanpa bunga, maka akan bebas. Atau dengan kata lain, pelaku takkan menjadi abdi sang penguasa gaib.

“Namun menurut kejadian yang sudah-sudah, semua pelaku tak ada yang mampu mengembalikan dengan utuh,” terang Mbah Miran lagi.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurutnya, walau ketika dari rumah uang yang akan dikembalikan di hitung genap sesuai besarnya pinjaman semula, tapi sesampainya di areal Bank Gaib PundenBeji, uang itu pasti sudah berkurang jumlahnya. Hemat Kami, barangkali inilah cara para iblis yang bersemayam di sana untuk menjerat para korbannya agar menjadi hamba-hamba sesat dan menghuni alam kegelapan.

“Selama saya jadi juru kunci kurang lebih 30 tahun, tak seorangpun nasabah yang mampu mengembalikan pinjaman dengan utuh. Memang saat dihitung di rumah nilainya genap sejumlah pinjaman awal. Tapi setelah sampai di sini, jumlahnya pasti berkurang,” terangnya lagi.

Karena setelah dihitung kembali jumlahnya tidak sesuai dengan pinjaman semula, maka sang penguasa gaib tidak mau menerima pengembalikan. Walau begitu, sang penguasa gaib tidak langsung serta merta mengambil nyawa pelaku dalam waktu dekat. Karena penguasa gaib hanya mau mengambil nyawa pelaku dan dijadikan abdi jika takdir pelaku telah tiba. Maksudnya, kontrak umurnya memang sudah sampai.

“Enaknya ya…itu. Pelaku hanya diambil oleh Eyang jika takdinya sudah tiba. Kalau belum takdinya, ya dibiarkan. Tapi biasnya, para pelaku pencari pesugihan di tempat ini, umurnya justru panjang. Bahkan ada yang mencapai 90 tahun. Karena itu merupakan batas akhir yang diberikan oleh Eyang.” Papar Mbah Miran.

Cerita Mbah Miran, jika benar, barangkali memang bisa menggiurkan mereka yang punya keinginan cepat kaya tapi dengan pikiran pendek dan sesat. Sebenarnya, dari mana saja para pelaku pencari pesugihan di tempat ini? Menurut Miran, rata-rata pelaku berasal dari luar daerah setempat. Ada yang dari Jakarta, Bandung, serta luar Jawa.

RADEN SUBAKIR – DEWI AMINI

Siapa sebenarnya sosok gaib penghuni pohon kamboja yang telah berusia kurang lebih 450 tahun itu? Menurut juru kunci, yang menjadi penguasa gaib Bank Gaib Punden Boja adalah Raden Subakir dan isterinya yang bernama Dewi Amini.

Semasa hidupnya, mereka merupakan keturunan darah biru. Mereka juga dikenal sebagai saudagar yang kaya raya pada zamannya. Suatu ketika mereka pergi merantau ke tanah Jawa untuk berdagang. Setibanya di tanah Jawa, mereka kemudian menetap di kerajaan Pajang yang saat itu dipimpin oleh rajanya bernama Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.

Setelah sekian lama menikmati kemakmuran kerajaan Pajang lewat kegiatan bisnisnya, di tempat mereka menetap terjadi huru-hara besar, yakni pertempuran antara Pajang melawan Mataram, yang ketika dipimpin oleh rajanya bernama Panembahan Senopati. Padahal sebelumnya, Panembahan Senopati yang mempuyai nama kecil Sutawijaya, pernah menjadi seorang abdi di Pajang. Kemudian dia mendirikan kerajaan sendiri, dan Jaka Tingkir yang telah membesarkannya. Kemudian justru di serang. Ketika masih di Pajang, Panembahan Senopati diangkat sebagai putera angkat oleh Jaka Tingkir.

Penyerangan tersebut dilakukan oleh Panembahan Senopati, semata-mata untuk memenuhi ambisi politiknya untuk memperluas wilayah kekuasaan.

Karena situasi yang kurang mendukung, kemudian Raden Subakir beserta isterinya memilih untuk mengungsi ke arah timur. Perjalanannya kali ini bersama para bangsawan Pajang yang tidak mau mengakui kekuasaan Panembahan Senopati. Salah satu pangeran dari Pajang yang menyingkir bersama keduanya yakni seorang bernama Pangeran Timur.

Konon, sesampainya di Madiun, Jawa Timur, mereka sudah tidak bersama lagi. Raden Subakir dan isterinya memilih menetap di Ngawi, sementara Pangeran Timur memilih menetap di Madiun. Bahkan, Pangeran Timur kemudian menjadi Bupati Madiun yang pertama dengan gelar Adipati Ronggo Jumeno.

Tak lama setelah menjadi bupati, Ronggo Jumeno kemudian memberontak kepada Mataram. Konon, pemberontakan Ronggo Jumeno kepada Mataram ini terjadi karena masalah suplai logistic yang tidak adil.

Sementara itu, Raden Subakir dan isterinya saat mengungsi membawa serta seluruh harta berharga yang mereka miliki. Terutama barang-barang yang terbuat dari emas. Bahkan disebut-sebut, barang yang terbuat dari emas milik keduanya, jumlahnya mencapai puluhan peti.

Tak jarang, selain menyuplai logistik untuk pasukan Ronggo Jumeno dalam perang melawan Mataram, Raden Subakir dan Dewi Amini turut serta di dalam medan pertempuran. Karena memang sebenarnya keduanya juga orang sakti. Apalagi, jarak antara Madiun-Ngawi di mana keduanya tinggal, hanya terpaut sekitar 25 Km.

Walau bisa dikatakan sebagai rekan seperjuangan, ketika meninggal, keduanya tidak mau dimakamkan di komplek pemakaman para bangsawan Madiun. Ketika wafat, keduanya dimakamkan di Ngawi.

Dikisahkan, mereka dikubur bersama harta bendanya yang melimpah itu. Makam mereka tanpa batu nisan, kecuali sebuah pohon kamboja yang tertanam di atas pusaranya. Pohon kamboja inilah yang kemudian oleh warga disebut Bank Gaib Punden Beji.

Lalu bagaimana kedua sosok yang telah dimakamkan ini kemudian membuka bank gaib? Masih menurut juru kunci, walau secara kasat mata keduanya telah meninggal, tapi pada hari-hari tertentu mereka muncul di toko-toko emas yang ada di wilayah Ngawi dan sekitarnya, termasuk Madiun, Magetan serta Ponorogo.

Kemunculan kedua sosok ini, hanya untuk menjual emas miliknya ketika masih hidup. “Menurut pengalaman saya, Raden Subakir dan isterinya telah menjual emas ke toko-toko sejak era tahun 40-an atau ketika Indonesia belum merdeka. Uang hasil penjualaan emas inilah, yang kemudian di simpan dalam tiga gedung besar seperti kontainer dan kemudian dipinjamkan kepada para nasabah dari bangsa manusia, dengan persyaratan khusus,” papar Mbah Miran dengan bersungguh-sungguh.

Kalau benar begitu, bukankah uang hasil penjualan zaman dulu sekarang sudah tidak berlaku lagi? Padahal, yang dipinjamkan ke para nasabah, tentu adalah uang yang masih harus berlaku saat ini?

“Eyang juga punya tabungan di bank bangsa manusia. Karena itu, uangnya juga mengikuti zaman yang ada!” Jawab Mbah Miran.

Melihat Misteri yang kebingungan, dia lalu menambahkan, “Namanya juga sosok gaib. Apa yang tidak mungkin bagi kita, sangat mudah bagi Eyang.”

Sayangnya, Misteri tidak memperoleh informasi bagaimana cara pinjaman dikembalikan. Kalau harus dalam bentuk uang chas, lantas dikemanakan uang tersebut?

Satu hal lagi, Mbah Miran enggan menceritakan mengapa dirinya tetap hidup miskin, padahal dia sudah puluhan tahun diangkat sebagai penghubung Bank Gaib Punden Beji. Hanya, sekali waktu dia menyela dengan nada kurang suka, “Kalau saya mau kaya, itu mudah bagi saya. Tapi, saya lebih suka hidup seperti ini.”

Benarkah? Semuanya memang terbungkus misteri…!

SYARAT DITERIMA,,UANGPUN TUNAI DIDAPAT

Menurut keterangan juru kunci Bank Gaib, untuk mendapatkan pesugihan di tempat ini, pelaku harus melakukan ritual khusus di bawah punden pohon kamboja tersebut. Adapun syarat sesaji yang harus dipenuhi oleh pelaku yakni, minyak jafaron, kembang tiga macam atau yang lazim disebut kembang telon, kemenyan atau yosua, nasi tumpeng serta ayam panggang.

Setelah semua sesaji lengkap, dengan dipandu oleh juru kunci atau penjaga punden, pelaku dapat langsung melakukan ritual. Dan ritual ini harus dilakukan pada malam Jum’at. Akan lebih afdol, jika ritual dilakukan pada malam Jum’at yang keramat, yakni malam Jum’at Legi atau Kliwon.

“Syarat-syaratnya harus dipenuhi. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Dan akan lebih baik. Kalau kurang, pasti tidak akan ada respon dari alam sana,” tutur juru kunci, yakni seorang kakek berusia 70-an tahun yang akrab disapa Mbah Miran.

Bila semua persyaratan sudah dilengkapi, dan si pelaku sudah mantap lahir dan batin, maka Mbah Miran akan membeberkan tata cara ritualnya. Setelah prosesi ritual yang dipandu juru kunci usai, pelaku dapat langsung pulang ke rumah. Karena memang, uang tunai yang didapat oleh pelaku dari mencari pesugihan di tempat ini, tidak cair saat itu juga. Namun pelaku harus menyediakan kamar khusus dirumahnya.( Bisa Juga di ambil secara langsung tapi ada syarat khusus berupa minyak seharga Rp.13 Juta )

“Asal sesaji yang dipersembahkan diterima oleh sang penguasa gaib, dalam kurun waktu antara 40-90 hari, maka uang tunai akan secepatnya dikirim,” tandas Mbah Miran.

Lebih lanjut dijelaskan olehnya, di Bank Gaib Punden Beji, sesungguhnya ada dua pilihan bagi pelaku yang ingin mendapatkan uang tunai. Pilihan pertama adalah dengan cara meminjam, dan yang kedua adalah dengan cara meminta. Jika meminta, biasanya maka yang didapat oleh pelaku cuma sekedarnya saja. Suatu missl, pelaku betul-betul kepepet karena ditagih utang dan harus segera membayar. Jika seperti ini dan mengatakan hanya ingin meminta pada saat ritual, maka pelaku akan diberi oleh sang penguasa gaib sebatas besarnya utang si pelaku. Konon, hal ini tanpa tumbal apapun. Yang penting, si pelaku benar-benar tengah dikejar utang.

“Kalau berbohong, jangan harap akan diberi. Malahan bisa saja dia celaka!” Tandas Mbah Miran.

Jika saat ritual pelaku mengatakan ingin mendapat pinjaman, maka akan lain lagi nilai yang diperoleh. “Pelaku tingal menyebut angka nominal yang diinginkannya,” tambah si kakek. Dia lalu menyebutkan bahwa penguasa gaib tempat itu hanya bisa memberikan pinjaman uang tak lebih dari 3 milyar rupiah jumlahnya.

“Kalau saat meminjam pelaku menyebut angka nominal lebih dari itu, maka dapat dipastikan tidak akan dipenuhi. Masalah besar pencairannya, Eyang yang mengira-ngira. Tapi yang jelas, pasti lebih satu milyar,” cerita Mbah Miran kepada kami

Ketika lebih lanjut ditanyakan tentang para pencari pesugian di tempat itu yang telah sukses, juru kunci dengan blak-blakan menyebut beberapa nama. Di antaranya, Margono warga , Purwodadi, Jawa Tengah, Adji Saputro dari Jakarta serta seorang berinisial SHD yang menurut Mbah Miran, berprofesi sebagai wartawan di Jakarta.

“Itu hanya sebagian yang saya sebutkan. Yang jelas, banyak sekali yang sukses. Dan yang jelas lagi, dari yang sukses itu ada juga wartawan. Tapi jangan tersinggung lho, Mas!” Tutur juru kunci dengan nada setengah bercanda.

Masih menurut cerita Mbah Miran, walau tempat itu sering didatangi para pencari pesugihan yang menginginkan uang tunai, baik itu yang pinjam milyaran rupiah maupun yang diberi secara cuma-cuma, tapi dana yang bersedia di Bank Gaib Punden Beji, takkan habis dalam waktu dekat ini. Pasalnya, menurut Mbah Miran, di tempat tersebut, tersedia uang tunai sebanyak tiga kontainer besar.

“Hingga kini, yang dibuka baru satu kontainer. Itupun belum ada sepersepuluh dari isi container itu yang telah dipinjamkan kepada para nasabah,” tandas Mbah Miran yang mengaku bisa melihat keberadaan uang tersebut dengan kekuatan mata batinnya.

Bahkan, menurutnya lagi, di bank gaib tersebut juga ada sistem seperti juga layaknya ada sistem administrasi yang berlaku di sebuah bank di alam manusia.

“Bank gaib itu juga punya karyawan. Para karyawan itu umumnya adalah mantan pelaku pesugihan yang telah dis waktunya, dan harus mengabdi di alam gaib Punden Boja. Nah, mereka inilah yang mendata besarnya pinjaman serta kapan waktu pengembaliannya bagi para nasabah baru,” cerita Mbah Miran.

“Yang jadi karyawannya adalah mantan nasabah yang sudah meninggal. Mereka yang kemudian disuruh mendata para nasabah baru. Termasuk mencatat kapan waktu pengembaliannya. Kalau masalah pencairan, Eyang sendiri yang mengantar ke rumah nasabah.” Jelas Mbah Miran ketika Misteri mendesaknya lagi. Yang disebutnya sebagai Eyang adalah penguasa gaib tempat itu.

Seperti halnya tempat pesugihan ditempat lain, pesugihan Bank Gaib Punden Beji juga meminta tumbal nyawa. Namun menurut juru kunci, penguasa gaib tempat itu, tidak mau diberi tumbal nyawa orang lain, walau itu keluarga si pelaku. Yang diinginkan oleh sang penguasa, nyawa pelaku sendiri.

“Namun hal ini berlaku jika pelaku tak mampu mengembalikan pinjaman tepat waktu!” Tandas Mbah Miran.

Menurut perkiraan Kamii, sebenarnya ada perbedaan yang signifikan antara tumbal nyawa di tempat pesugihan lain dengan Bank Gaib Punden Beji. Jika di tempat lain biasanya pelaku akan menjadi abdi sang penguasa gaib sebelum takdirnya tiba, tapi tidak demikian di tempat ini. Menurut juru kunci, biasanya pelaku diberi kesempatan hingga usia pelaku maksimal 90 tahun untuk mengembalikan pinjaman. Dalam kurun waktu itu, jika pelaku mampu mengembalikan dengan utuh pinjamannya yang tanpa bunga, maka akan bebas. Atau dengan kata lain, pelaku takkan menjadi abdi sang penguasa gaib.

“Namun menurut kejadian yang sudah-sudah, semua pelaku tak ada yang mampu mengembalikan dengan utuh,” terang Mbah Miran lagi.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurutnya, walau ketika dari rumah uang yang akan dikembalikan di hitung genap sesuai besarnya pinjaman semula, tapi sesampainya di areal Bank Gaib PundenBeji, uang itu pasti sudah berkurang jumlahnya. Hemat Kami, barangkali inilah cara para iblis yang bersemayam di sana untuk menjerat para korbannya agar menjadi hamba-hamba sesat dan menghuni alam kegelapan.

“Selama saya jadi juru kunci kurang lebih 30 tahun, tak seorangpun nasabah yang mampu mengembalikan pinjaman dengan utuh. Memang saat dihitung di rumah nilainya genap sejumlah pinjaman awal. Tapi setelah sampai di sini, jumlahnya pasti berkurang,” terangnya lagi.

Karena setelah dihitung kembali jumlahnya tidak sesuai dengan pinjaman semula, maka sang penguasa gaib tidak mau menerima pengembalikan. Walau begitu, sang penguasa gaib tidak langsung serta merta mengambil nyawa pelaku dalam waktu dekat. Karena penguasa gaib hanya mau mengambil nyawa pelaku dan dijadikan abdi jika takdir pelaku telah tiba. Maksudnya, kontrak umurnya memang sudah sampai.

“Enaknya ya…itu. Pelaku hanya diambil oleh Eyang jika takdinya sudah tiba. Kalau belum takdinya, ya dibiarkan. Tapi biasnya, para pelaku pencari pesugihan di tempat ini, umurnya justru panjang. Bahkan ada yang mencapai 90 tahun. Karena itu merupakan batas akhir yang diberikan oleh Eyang.” Papar Mbah Miran.

Cerita Mbah Miran, jika benar, barangkali memang bisa menggiurkan mereka yang punya keinginan cepat kaya tapi dengan pikiran pendek dan sesat. Sebenarnya, dari mana saja para pelaku pencari pesugihan di tempat ini? Menurut Miran, rata-rata pelaku berasal dari luar daerah setempat. Ada yang dari Jakarta, Bandung, serta luar Jawa.

RADEN SUBAKIR – DEWI AMINI

Siapa sebenarnya sosok gaib penghuni pohon kamboja yang telah berusia kurang lebih 450 tahun itu? Menurut juru kunci, yang menjadi penguasa gaib Bank Gaib Punden Boja adalah Raden Subakir dan isterinya yang bernama Dewi Amini.

Semasa hidupnya, mereka merupakan keturunan darah biru. Mereka juga dikenal sebagai saudagar yang kaya raya pada zamannya. Suatu ketika mereka pergi merantau ke tanah Jawa untuk berdagang. Setibanya di tanah Jawa, mereka kemudian menetap di kerajaan Pajang yang saat itu dipimpin oleh rajanya bernama Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.

Setelah sekian lama menikmati kemakmuran kerajaan Pajang lewat kegiatan bisnisnya, di tempat mereka menetap terjadi huru-hara besar, yakni pertempuran antara Pajang melawan Mataram, yang ketika dipimpin oleh rajanya bernama Panembahan Senopati. Padahal sebelumnya, Panembahan Senopati yang mempuyai nama kecil Sutawijaya, pernah menjadi seorang abdi di Pajang. Kemudian dia mendirikan kerajaan sendiri, dan Jaka Tingkir yang telah membesarkannya. Kemudian justru di serang. Ketika masih di Pajang, Panembahan Senopati diangkat sebagai putera angkat oleh Jaka Tingkir.

Penyerangan tersebut dilakukan oleh Panembahan Senopati, semata-mata untuk memenuhi ambisi politiknya untuk memperluas wilayah kekuasaan.

Karena situasi yang kurang mendukung, kemudian Raden Subakir beserta isterinya memilih untuk mengungsi ke arah timur. Perjalanannya kali ini bersama para bangsawan Pajang yang tidak mau mengakui kekuasaan Panembahan Senopati. Salah satu pangeran dari Pajang yang menyingkir bersama keduanya yakni seorang bernama Pangeran Timur.

Konon, sesampainya di Madiun, Jawa Timur, mereka sudah tidak bersama lagi. Raden Subakir dan isterinya memilih menetap di Ngawi, sementara Pangeran Timur memilih menetap di Madiun. Bahkan, Pangeran Timur kemudian menjadi Bupati Madiun yang pertama dengan gelar Adipati Ronggo Jumeno.

Tak lama setelah menjadi bupati, Ronggo Jumeno kemudian memberontak kepada Mataram. Konon, pemberontakan Ronggo Jumeno kepada Mataram ini terjadi karena masalah suplai logistic yang tidak adil.

Sementara itu, Raden Subakir dan isterinya saat mengungsi membawa serta seluruh harta berharga yang mereka miliki. Terutama barang-barang yang terbuat dari emas. Bahkan disebut-sebut, barang yang terbuat dari emas milik keduanya, jumlahnya mencapai puluhan peti.

Tak jarang, selain menyuplai logistik untuk pasukan Ronggo Jumeno dalam perang melawan Mataram, Raden Subakir dan Dewi Amini turut serta di dalam medan pertempuran. Karena memang sebenarnya keduanya juga orang sakti. Apalagi, jarak antara Madiun-Ngawi di mana keduanya tinggal, hanya terpaut sekitar 25 Km.

Walau bisa dikatakan sebagai rekan seperjuangan, ketika meninggal, keduanya tidak mau dimakamkan di komplek pemakaman para bangsawan Madiun. Ketika wafat, keduanya dimakamkan di Ngawi.

Dikisahkan, mereka dikubur bersama harta bendanya yang melimpah itu. Makam mereka tanpa batu nisan, kecuali sebuah pohon kamboja yang tertanam di atas pusaranya. Pohon kamboja inilah yang kemudian oleh warga disebut Bank Gaib Punden Beji.

Lalu bagaimana kedua sosok yang telah dimakamkan ini kemudian membuka bank gaib? Masih menurut juru kunci, walau secara kasat mata keduanya telah meninggal, tapi pada hari-hari tertentu mereka muncul di toko-toko emas yang ada di wilayah Ngawi dan sekitarnya, termasuk Madiun, Magetan serta Ponorogo.

Kemunculan kedua sosok ini, hanya untuk menjual emas miliknya ketika masih hidup. “Menurut pengalaman saya, Raden Subakir dan isterinya telah menjual emas ke toko-toko sejak era tahun 40-an atau ketika Indonesia belum merdeka. Uang hasil penjualaan emas inilah, yang kemudian di simpan dalam tiga gedung besar seperti kontainer dan kemudian dipinjamkan kepada para nasabah dari bangsa manusia, dengan persyaratan khusus,” papar Mbah Miran dengan bersungguh-sungguh.

Kalau benar begitu, bukankah uang hasil penjualan zaman dulu sekarang sudah tidak berlaku lagi? Padahal, yang dipinjamkan ke para nasabah, tentu adalah uang yang masih harus berlaku saat ini?

“Eyang juga punya tabungan di bank bangsa manusia. Karena itu, uangnya juga mengikuti zaman yang ada!” Jawab Mbah Miran.

Melihat Misteri yang kebingungan, dia lalu menambahkan, “Namanya juga sosok gaib. Apa yang tidak mungkin bagi kita, sangat mudah bagi Eyang.”

Sayangnya, Misteri tidak memperoleh informasi bagaimana cara pinjaman dikembalikan. Kalau harus dalam bentuk uang chas, lantas dikemanakan uang tersebut?

Satu hal lagi, Mbah Miran enggan menceritakan mengapa dirinya tetap hidup miskin, padahal dia sudah puluhan tahun diangkat sebagai penghubung Bank Gaib Punden Beji. Hanya, sekali waktu dia menyela dengan nada kurang suka, “Kalau saya mau kaya, itu mudah bagi saya. Tapi, saya lebih suka hidup seperti ini.”

Benarkah? Semuanya memang terbungkus misteri…!

Kisah Nyata Uang gaib

Saya seorang tukang poles gabah, yaitu gabah yang digiling menjadi beras. Tugasku menggangkat gabah-gabah itu ke penggilingan, kemudian hasilnya aku masukkan dalam karung-karung beras. Sebagai buruh gilingan, tentunya gajiku cukup untuk makan saja. Sementara istriku Yanti, hanya ibu rumah tangga. Kami dikaruniai anak laki-laki, dan aku beri nama Heri. Rasa lelah sehabis kerja seharian hilang, begitu melihat Heri anakku menyambutku sambil berlari-lari kecil. Tahun 1986, Heri genab berumur 3 tahun. Awalnya kehidupan rumah tangga kami biasa-biasa saja, tetapi satu tahun kemudian semuanya itu menjadi hancur berantakan. Yach, gajiku tak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, akhirnya istriku tak tahan hidup serba kekurangan. Dia lari dengan laki-laki lain yang kaya.

Memang aku tidak bisa menyalahkan istriku, hidup denganku sangat susah dan pahit. Setelah istriku dan anakku pergi hidupku bagai kapal tak bernahkoda. Sedih, hancur, tanpa harapan menghantui pikiranku. Hidup ini menjadi tidak ada gunanya. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hidupku dengan jalan bunuh diri. Malam itu aku mendatangi makam raja-raja Jawa di Girigondo (sebelah utara Pantai Glagah Indah, wilayah Kulon Progo Jogjakarta). Makam Giri Gondo berada di atas bukit yang sangat tinggi, makam itu sangat terkenal di daerahku. Untuk sampai ke makam Giri Gondo harus mendaki tangga yang berjumlah sangat banyak, memang beberapa orang mencoba menghitung tangga itu, tetapi hasilnya satu sama lain pasti berlainan.

Hari mulai gelap, tangga makam Giri Gondo aku tapaki satu demi satu. Harapanku setelah sampai puncak, aku akan melompat ke jurang sebelah utara makam. Kurang lebih jam 22.00 malam, aku sampai puncak makam, walau di atas gunung, makam raja-raja Jawa ini cukup luas. Suasananya bersih, tertata rapi. Raja-raja Jawa dimakamkan di dalam yang berpagar besi, sedang untuk para abdi dimakamkam masih di lokasi Giri Gondo akan tetapi tidak berpagar. Memamg di hari-hari libur makam ramai didatangi orang-orang yang akan berziarah. Salah satu batu nisan raja Jawa ada yang dilapisi emas murni. Mungkin ini menjadi daya tarik para peziarah yang berkunjung kemakam Giri Gondo.

Karena kelelahan, aku duduk bersandar di pintu masuk utama makam raja-raja. Kantuk begitu menyerangku, karena sudah tidak tahan, aku rebahkan tubuhku di antara kanan kiri batu nisan. Tiba-tiba aku terbangun, hawa dingin ditambah bau kamboja begitu menyengat hidung. Tak lama kemudian aku lihat burung pipit berlompatan di antara batu nisan, burung menghilang, aku lihat dengan sangat jelas orang berpakain putih melompat-lompat, aku coba dekati, ya itu pocong, benar, betul-betul pocong, dia berikat di atas kepala. Tak ada perasaan takut. “Aku kesini memang ingin mati,” pikirku.

Pundakku terasa dipegang seseorang, begitu aku tengok, kekek-kakek berjenggot panjang dan berwarna putih. Kakek itu bertanya kepadaku mengapa malam-malam begini di makam. Aku sampaikan bahwa akau mau bunuh diri, dengan alasannya aku ceritakan semua masalah yang menimpaku. Kakek itu mangatakan bahwa hidupku masih panjang dan itu harus dilanjutkan. Kakek berjenggot itu memeberikan selembar daun, dalam daun itu tertera angka-angka. “Kakek selama saya hidup, saya belum pernah membeli nomor, untuk makan saja susah, mana bisa beli nomor,” kataku. “Coba saja, apabila berhasil kamu harus menyembelih 36 ekor ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi, semua itu harus kamu bagikan di penduduk sekitar makam,” kata kakek.

Aku diam dan kakek itu berjalan pergi. “Kek, rumah kakek dimana,” tanyaku. Dia menunjuk ke arah sebelah utara. Kemudian kakek itu menghilang bagai terbawa angin. Pagi harinya aku mencoba mencari rumah kakek tua itu, yang aku lihat sebatas pandangan mata, hanya jurang dan lembah yang menganga bersama hutan lebat. “Aneh mana ada rumah di tempat seperti itu,” gumanku.

Keinginanaku unyuk bunuh diri aku urungkan, petuah-petuah dari kakek berjenggot itu membuat aku punya semangat hidup lagi. Aku turuni tangga makam Giri Gondo satu demi satu, aku masih berpikir, dari mana mendapatkan uang untuk beli nomor SDSB ( Sumbangan Sosial Dana Berhadiah). SDSB waktu itu dilegalkan oleh pemerintah, yang menangani Departeman Sosial.

Satu-satunya harta milikku, hanyalah sebuah sepeda ontel, ya sepaeda ontel. Tanpa pikirr panjang, sepeda ontel aku jual dengan harga Rp 30.000, uang itu sudah banyak, dikarenakan tahun 1987 negara kita belum kena krisis moneter. Cepat-cepat aku beli kupon SDSB, tulisan angka-angka dalam daun masih terlihat dengan jelas.

Sambil menanti datangnya pengumumam undian SDSB, aku duduk-duduk di tepi sungai, tidak aku pikirkan, apakah nanti aku dapat undian atau tidak. Begitu pengumuman tiba, nomor SDSB yang aku beli keluar empat angka dengan tepat, bak disambar petir, gemetar seluruh tubuhku, “Aku mau jadi orang kaya,” teriakku.

Aku urus uang undian itu, dan yang aku dapat Rp 2 miliar. Seperti kata kakek, di Girigondo aku adakan selamatan dengan menyembelih 36 ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi. Aku tukarkan uang Rp 200 juta ke bank, kemudian uang itu aku bagikan pada warga Giri Gondo.

Setelah semuanya selesai, hidupku mulai tertata kembali, kubeli rumah yang ukuran besar, aku juga memulai bisnis jual beli motor. Masih juga punya usaha yang lain, semua itu yang menangani adikku. Kini rumahku sudah ada di beberapa tempat, secara materi aku tidak kekurangan. Istri dan anankku Heri kembali lagi, kini istriku ada 3 dengan masing-masing memegang usaha sendiri-sendiri. Aku sendiri punya 5 cabang penggilingan padi. Sementara aku bekerja kembali menjadi buruh, dimana aku dulu bekerja. Tetapi aku bekerja hanya sebagai hiburan, selakigus mengenang bahwa aku dulunya orang yang sangat miskin dan kini apa yang akan aku inginkan bisa aku dapat. Lambat laun usahaku berkembang dengan pesat, tiada kata yang aku ucapkan selain terima kasih kepada kakek berjenggot putih.


Kisah Nyata Uang gaib

Saya seorang tukang poles gabah, yaitu gabah yang digiling menjadi beras. Tugasku menggangkat gabah-gabah itu ke penggilingan, kemudian hasilnya aku masukkan dalam karung-karung beras. Sebagai buruh gilingan, tentunya gajiku cukup untuk makan saja. Sementara istriku Yanti, hanya ibu rumah tangga. Kami dikaruniai anak laki-laki, dan aku beri nama Heri. Rasa lelah sehabis kerja seharian hilang, begitu melihat Heri anakku menyambutku sambil berlari-lari kecil. Tahun 1986, Heri genab berumur 3 tahun. Awalnya kehidupan rumah tangga kami biasa-biasa saja, tetapi satu tahun kemudian semuanya itu menjadi hancur berantakan. Yach, gajiku tak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, akhirnya istriku tak tahan hidup serba kekurangan. Dia lari dengan laki-laki lain yang kaya.

Memang aku tidak bisa menyalahkan istriku, hidup denganku sangat susah dan pahit. Setelah istriku dan anakku pergi hidupku bagai kapal tak bernahkoda. Sedih, hancur, tanpa harapan menghantui pikiranku. Hidup ini menjadi tidak ada gunanya. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hidupku dengan jalan bunuh diri. Malam itu aku mendatangi makam raja-raja Jawa di Girigondo (sebelah utara Pantai Glagah Indah, wilayah Kulon Progo Jogjakarta). Makam Giri Gondo berada di atas bukit yang sangat tinggi, makam itu sangat terkenal di daerahku. Untuk sampai ke makam Giri Gondo harus mendaki tangga yang berjumlah sangat banyak, memang beberapa orang mencoba menghitung tangga itu, tetapi hasilnya satu sama lain pasti berlainan.

Hari mulai gelap, tangga makam Giri Gondo aku tapaki satu demi satu. Harapanku setelah sampai puncak, aku akan melompat ke jurang sebelah utara makam. Kurang lebih jam 22.00 malam, aku sampai puncak makam, walau di atas gunung, makam raja-raja Jawa ini cukup luas. Suasananya bersih, tertata rapi. Raja-raja Jawa dimakamkan di dalam yang berpagar besi, sedang untuk para abdi dimakamkam masih di lokasi Giri Gondo akan tetapi tidak berpagar. Memamg di hari-hari libur makam ramai didatangi orang-orang yang akan berziarah. Salah satu batu nisan raja Jawa ada yang dilapisi emas murni. Mungkin ini menjadi daya tarik para peziarah yang berkunjung kemakam Giri Gondo.

Karena kelelahan, aku duduk bersandar di pintu masuk utama makam raja-raja. Kantuk begitu menyerangku, karena sudah tidak tahan, aku rebahkan tubuhku di antara kanan kiri batu nisan. Tiba-tiba aku terbangun, hawa dingin ditambah bau kamboja begitu menyengat hidung. Tak lama kemudian aku lihat burung pipit berlompatan di antara batu nisan, burung menghilang, aku lihat dengan sangat jelas orang berpakain putih melompat-lompat, aku coba dekati, ya itu pocong, benar, betul-betul pocong, dia berikat di atas kepala. Tak ada perasaan takut. “Aku kesini memang ingin mati,” pikirku.

Pundakku terasa dipegang seseorang, begitu aku tengok, kekek-kakek berjenggot panjang dan berwarna putih. Kakek itu bertanya kepadaku mengapa malam-malam begini di makam. Aku sampaikan bahwa akau mau bunuh diri, dengan alasannya aku ceritakan semua masalah yang menimpaku. Kakek itu mangatakan bahwa hidupku masih panjang dan itu harus dilanjutkan. Kakek berjenggot itu memeberikan selembar daun, dalam daun itu tertera angka-angka. “Kakek selama saya hidup, saya belum pernah membeli nomor, untuk makan saja susah, mana bisa beli nomor,” kataku. “Coba saja, apabila berhasil kamu harus menyembelih 36 ekor ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi, semua itu harus kamu bagikan di penduduk sekitar makam,” kata kakek.

Aku diam dan kakek itu berjalan pergi. “Kek, rumah kakek dimana,” tanyaku. Dia menunjuk ke arah sebelah utara. Kemudian kakek itu menghilang bagai terbawa angin. Pagi harinya aku mencoba mencari rumah kakek tua itu, yang aku lihat sebatas pandangan mata, hanya jurang dan lembah yang menganga bersama hutan lebat. “Aneh mana ada rumah di tempat seperti itu,” gumanku.

Keinginanaku unyuk bunuh diri aku urungkan, petuah-petuah dari kakek berjenggot itu membuat aku punya semangat hidup lagi. Aku turuni tangga makam Giri Gondo satu demi satu, aku masih berpikir, dari mana mendapatkan uang untuk beli nomor SDSB ( Sumbangan Sosial Dana Berhadiah). SDSB waktu itu dilegalkan oleh pemerintah, yang menangani Departeman Sosial.

Satu-satunya harta milikku, hanyalah sebuah sepeda ontel, ya sepaeda ontel. Tanpa pikirr panjang, sepeda ontel aku jual dengan harga Rp 30.000, uang itu sudah banyak, dikarenakan tahun 1987 negara kita belum kena krisis moneter. Cepat-cepat aku beli kupon SDSB, tulisan angka-angka dalam daun masih terlihat dengan jelas.

Sambil menanti datangnya pengumumam undian SDSB, aku duduk-duduk di tepi sungai, tidak aku pikirkan, apakah nanti aku dapat undian atau tidak. Begitu pengumuman tiba, nomor SDSB yang aku beli keluar empat angka dengan tepat, bak disambar petir, gemetar seluruh tubuhku, “Aku mau jadi orang kaya,” teriakku.

Aku urus uang undian itu, dan yang aku dapat Rp 2 miliar. Seperti kata kakek, di Girigondo aku adakan selamatan dengan menyembelih 36 ayam, 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi. Aku tukarkan uang Rp 200 juta ke bank, kemudian uang itu aku bagikan pada warga Giri Gondo.

Setelah semuanya selesai, hidupku mulai tertata kembali, kubeli rumah yang ukuran besar, aku juga memulai bisnis jual beli motor. Masih juga punya usaha yang lain, semua itu yang menangani adikku. Kini rumahku sudah ada di beberapa tempat, secara materi aku tidak kekurangan. Istri dan anankku Heri kembali lagi, kini istriku ada 3 dengan masing-masing memegang usaha sendiri-sendiri. Aku sendiri punya 5 cabang penggilingan padi. Sementara aku bekerja kembali menjadi buruh, dimana aku dulu bekerja. Tetapi aku bekerja hanya sebagai hiburan, selakigus mengenang bahwa aku dulunya orang yang sangat miskin dan kini apa yang akan aku inginkan bisa aku dapat. Lambat laun usahaku berkembang dengan pesat, tiada kata yang aku ucapkan selain terima kasih kepada kakek berjenggot putih.


Misteri Ratu pantai Selatan

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.

Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.

Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.

Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

Misteri Ratu pantai Selatan

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.

Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.

Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.

Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.