MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Pesugihan Tali Pocong

inilah nasib manusia, hampir tak ada tempat yang tenang untuk berdiam di muka bumi ini. Bahkan sesudah meninggal pun masih saja ada manusia yang usil untuk mengganggunya. Mungkin pembaca masih ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu di desa Pelumutan, Purbalingga. Sumanto dengan berani dan nekat mengusik ketenangan mayat nenek Rinah dengan mencuri tubuhnya untuk dimakan. Lain lagi Parman, 40 tahun, (bukan nama sebenarnya), seorang nelayan warga desa Kawunganten, Cilacap. Dia mengusik mayat seseroang dengan maksud hanya untuk mengambil kain morinya sebagai media pesugihan. Parman dengan tega mengabil satu-satunya barang si mayat yang dia bawa ke alam kuburnya, yaitu selembar kain mori.
Sifat nekatnya ini dikarenakan beban hidup yang menghimpit keluarganya. Dia megikuti jalan seperti yang pernah ditempuh oleh temannya yang sekarang menjadi kaya raya. Berkat kenekatan dan keberaniannya, mencuri kain kafan atau mori orang yang mati pada malam Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon, Parman berharap bisa memperoleh apa yang dia inginkan sehingga bisa menjadi kaya raya dan tidak lagi mengontrak rumah mungil di perkampungan nelayan. Ritual ini dianggapnya paling mudah dan sederhana. Karena jika dia berhasil mengambilnya, dia bisa meminta apa saja pada sosok mayat yang diambil morinya itu, sebagai tebusan. Seperti petunjuk Badrun (bukan nama sebenarnya).

“Kenapa harus orang yang mati pada hari Jum’at atau Selasa Kliwon yang digunakan sebagai ritual pesugihan?” Tanya penulis saat itu. Menurutnya, ini sudah menjadi syarat ilmu kejawen dam ritual pesugihan kain mori yang dipercaya sejak dulu.
Berbulan-bulan Parman menunggu dan mengintai orang yang meninggal pada hari tersebut. Tak jarang dia menyelidiki, mencari informasi secara diam-diam hingga ke kampung sebelah. Kalau-kalau ada yang meninggal di hari yang dia harapkan agar bisa digunakan sebagai media ritualnya.
Hingga akhirnya dia menemukan orang meninggal seperti yang diharapkan itu.
“Beruntung sekali aku waktu itu, yang meninggal adalah seorang anak kecil. Sehingga aku bisa dan berani mengambil kain kafannya. Jika saja yang meninggal orang sudah dewasa, mungkin aku tak sanggup untuk mengambilnya. Karena si mayat tidak akan mungkin rela selimutnya (kain penghangat tidurnya) saya ambil. Dia akan mempertahankan kain mori itu sehingga akupun harus berkelahi dengannya di liang kubur,” cerita Parman mengawali kisahnya.
Memang benar, taruhannya nyawa untuk memperoleh dan merebut kain mori yang sedang dipakai oleh si mayat. Diamping harus waspada terhadap orang lain agar tidak diketahui, juga harus mati-matian dalam proses pengambilannya. Ketika menggali kuburan, tidak boleh menggunakan bantuan peralatan apapun. Jadi harus menggunakan kedua tangan. Hal inilah yang harus diperhatikan, agar ritual tidak sia-sia.
Kemudian setelah membuka tali pengikat mori, kita harus secepatnya untuk menarik kain mori tersebut menggunakan gigi. Seberapa pun yang kita dapatkan itulah yang harus kita bawa pulang sebagai media pesugihan. Jadi kita tidak boleh mengambilnya berulang-ulang kali, cukup sekenanya saja. Beruntung jika kita bisa mendapatkan yang cukup lebar sehingga kita bisa semakin kaya.
Menurut Parman jika sang mayat sudah nampak (kelihatan), disinilah kita harus berhati-hati. Karena si mayat akan cepat menyerang kita dan memperthankan kain mori yang digunakan untuk selimut baginya. Percaya atau tidak, setiap orang yang haus akan harta, dan melakukan ritual ini, pasti dia akan berkelahi dengan jasad orang tersebut. Dimana jasad mayat itu mungkin saja telah disusupi oleh roh jahat, sehingga tenaga diapun begitu kuat
“Aku benar-benar tak menyangka kalau mayat itu memiliki tenaga yang berlipat ganda.  Jauh lebih besar dari tenaga manusia pada umumnya. Walaupun yang aku ambil kain mori milik anak kecil, tapi tenaga dia seperti orang dewasa. Apalagi jika yang meninggal adalah orang dewasa, sudah pasti aku tak mampu untuk mengambilnya. Pantas saja banyak orang yang tak sanggup dan gagal melakukan ritual ini,” tuturnya kepada penulis.
Jika dia kalah dalam bertarung melawan si mayat, dia kan babak belur bahkan tak jarang dia mengalami cacat tubuh akibat dipukuli oleh mayat dalam liang kubur. Parman saja mengalami luka memar dan biru-biru di sekujur tubuhnya. Oleh karena itu, tak jarang orang yang punya niat mengambil kaim mori milik mayat hanya mendapatkan luka babak belur, tanpa membawa hasil apapun
“Yang jadi masalah, kita harus konsentrasi bagaimana secepatnya bisa mengambil kain mori itu dan melepaskan diri dari dalam liang lahat. Jadi kita sama sekali tak bisa untuk melawannya,” uangkapannya kemudian.
Cerita Parman bisa dimaklumi, disamping menahan takut, dia juga harus menahan pukulan dari si mayat tersebut. Hal ini berlangsung cukup lama, mengingat dalam penggalian serta cara mengambil mori itu hanya menggunakan tangan dan mulut. Karena menurut kepercayaan tak diperbolehkan menggunakan peralatan. Jika telah mendapat kain mori itu, keberhasilan hidup dimasa depan boleh dikatakan sudah di depan mata. Karena menurut Parman, kita bisa meminta apa saja nantinya pada si mayat yang telah kita ambil kain morinya itu. Bagaimana cara mengguankan kain mori yang telah diambilnya dari kuburan, sebagai sarana ritual pesugihan itu? Berikut cerita Parman membeberkan kepada penulis.
“Jika kita sudah mendapatkan mori mayat, sesampainya di rumah langsung kita simpan saja sementara di dalam almari menunggu waktu yang tepat untuk memulainya. Tapi jangan sampai di cuci. Cara menggunakannnya cukup mudah, kain mori tersebut kita jadikan sumbu lampu (templok). Tepat pada jam duabelas, malam Jum’at atau Selasa Kliwon. Dengan sedikit ritual dan mantra tertentu, lalu kita dulut (bakar). Setelah sumbu lampu itu menyala, asap dari sumbu mori itu akan membumbung. Dengan ketajaman si mayat, dia akan mencium di mana selimutnya berada. Sehingga bisa kita pastikan mayat pemilik kain mori tersebut akan muncul mendatangai rumah kita. Dia akan terus memutari rumah kita untuk meminta yang dia sebut selimutnya itu,” papar Parman.
Menurutnya pula, mayat itu akan merengek dan menangis meminta kepada kita. Nah, disaat inilah Parman akan mempermainkan dan memperdayainya untuk kepentingannya, yaitu dengan meminta segala sesuatu yang diinginkannya. Walaupun menurutnya pula, dia selalu merasa berdosa dan tak tega mendengar suara ratapannya itu.
“Waktu pertama saya mencobanya, saya merinding, bahkan ikut menangis. Tapi demi urusan perut dan masa depan keluargaku, ritual tersebut terpaksa aku teruskan. “Menurut Parman, saat dia menyobek kain mori untuk dijadikannya sumbu, ada perasaan lain yang dia rasakan. Perasaa itu semakin santer saat sumbu kain mori mulai disulut di dalam kamarnya. Lalu menyala dan mengeluarkan asap mengepul, memenuhi ruangan. Tiba-tiba dari arah jendela kamar, ada suara ketukan yang dibarengi dengan sebuah tangisan yang menyayat, serta permintaan tolong dari anak kecil.
“Tolong Pak…………….., kembalikan selimutku! Aku kedinginan. Kembalikan selimut satu-satunya miliku yang kamu ambil itu pak. Aku membutuhkannya…… jangan kau ambil miliku itu Pak! Berikan. Aku membutuhkannya……………” suara anak kecil yang berada di luar jendela itu. Parman tahu persis, kalau itu adalah suara sosok mayat yang diambil kain morinya itu. Dia terus memohon sambil menangis.
“Selimutmu akan aku kembalikan padamu, tapi nanti jika aku sudah memiliki rumah sendiri yang bagus. Makanya kamu bantu aku agar aku memiliki rumah bagus sehingga selimutmu segera aku kembalikan.” Janji Parman kepada sosok di luar.
Tak lama suara itu hilang, entah kemana dan Parman langsung mematikan lampu templok tersebut. Aneh tapi benar adanya. Tak begitu lama, Parman mendapatkan ikan saat melaut yang tak masuk akal dalam sepanjang sejarah dia menjadi nelayan. Dia mendapatkan tangkapan yang luar biasa banyaknya. Hal ini berlangsung hampir tiga bulan lamanya. Sehingga pada akhir bulan ketiga, dia benar-benar bisa memiliki rumah sendiri yang bagus. Parman tak mau berhenti hanya di situ. Malam Jum’at Kliwon berikutnya, kembali dia menyulut sumbu kain mori itu lagi. Sehingga kejadian seperti dulupun terulang lagi
“Tolong Pak…………., selimutku kembalikan, aku benar-benar. Aku tak tahan lagi aku tak kuat pak, bantu aku kembalikan selimut itu padaku,” rengeknya lagi. Parmanpun kembali menjanjikannya lagi.
“Kalau kamu ingin aku bantu, kamu juga harus membantuku. Aku menginginkan motor baru, jika kamu bisa membantu, nanti selimutmu akan aku kembalikan,” jawabnya lagi. Kembali suara itu hilang seperti terbawa angin malam Jum’at Kliwon saat itu. Benar-benar luar biasa, entah uang dari mana tapi yang jelas rezeki Parman terus mengalir, sehingga dia benar-benar bisa membeli sebuah sepeda motor baru.
Kini Parman semakin percaya akan keampuhan sumbu kain kafan seperti yang diceritakan Badrun. Pantas Badrun semakin kaya saja. Rupanya jika menginginkan sesuatu dia tinggal menyulut sumbu mori. Lalu empunya akan datang untuk memberinya apa yang dia inginkan, pikir Parman dalam hati. Kehidupan Parman benar-benar berubah drastis. Dia menjadi seorang yang kaya dan terpandang di kampungnya. Parman tak berpikir lagi tentang penderitaan mayat yang dicuri kain kafannya. Termasuk keluarga si mayat yang masih hidup yang tak rela kuburan anaknya di bongkar dan di rusak.
Parman malah semakin serakah dengan tipu muslihatnya memperdaya sukma orang yang mati. Roh yang seharusnya telah tenang di alam sana, masih dia usik kedamaiannya. Bahkan dimintai seabreg urusan duniawi yang ujung-ujungnya hanyalah tipu muslihat Parmana. Selama sumbu kain mori mayat itu masih ada, Parman masih terus bisa memperdaya makhluk halus itu. Dia sendiri tak tahu kapan sumbu itu akan habis sebagai sarana pesugihannya. Bahkan mungkin untuk kesekian puluh kalinya dia menginginkan sesuatu yang benar-benar dramatis. Dia berjanji kepada arwah anak kecil itu, untuk yang terakhir kalinya, kalau dia akan mengembalikan selimutnya jika dirinya telah memiliki sebuah kapal penangkap ikan sendiri, tidak menyewa kepada Bandar ikan lagi.
“Ingat pak, ini adalah janjimu yang terakhir kalinya. Aku juga sudah lelah dijanjikan terus menerus. Aku hanya ingin kamu menepati janji itu.” Ucap sosok bocah dari alam gaib itu sembari pergi.
Aneh bin ajaib, selang beberapa bulan, Parman pun bisa memiliki kapal penangkap ikan sendiri. Hasil lelang dari Bandar kaya di daerahnya. Kini tempat pelelangan ikan, benar-benar seperti telah dikuasainya. Tapi sayang, sifat serakah orang tak pernah hilang dari hatinya. Parman masih menginginkan beberapa bidang tambak di pinggiran teluk.
Malam Jum’at Kliwon kurang tiga hari lagi. Niat hati ingin membakar sumbu pesugihan itu, tapi sayang kapal ikannya justru tenggelam akibat badai dan ombak yang ganas dan tak bisa terselamatkan lagi. Tak hanya itu, rumah Parman beserta perabotannya terbakar habis saat kompor gas yang sedang dipakai memaksa istrinya meledak. Parman benar-benar kecewa, bahkan stress. Kini dia kembali lagi menjadi orang miskin yang hidup menumpang pada orang lain. Dia juga kembali menjadi nelayan buruh pada seseorang
“Percayalah Mas, tak pernah ada untungnya kita mendzalimi orang lain, apalagi orang yang sudah mati. Biarkan mereka tenang dan damai di sisi-Nya. Jangan sekali-kali pengalamanku ini dicontoh orang lagi. Ini hanya untuk mengambil hikmahnya saja bahwa segala sesuatu akan kembali kepada asalnya. Dan semua sudah ditakdirkan serta digariskan oleh-Nya,” tutur Parman yang kini benar-benar telah insaf. Dia merasa selalu dihantui oleh mayat yang dicuri kain kafannya itu.

Pesugihan Tali Pocong

inilah nasib manusia, hampir tak ada tempat yang tenang untuk berdiam di muka bumi ini. Bahkan sesudah meninggal pun masih saja ada manusia yang usil untuk mengganggunya. Mungkin pembaca masih ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu di desa Pelumutan, Purbalingga. Sumanto dengan berani dan nekat mengusik ketenangan mayat nenek Rinah dengan mencuri tubuhnya untuk dimakan. Lain lagi Parman, 40 tahun, (bukan nama sebenarnya), seorang nelayan warga desa Kawunganten, Cilacap. Dia mengusik mayat seseroang dengan maksud hanya untuk mengambil kain morinya sebagai media pesugihan. Parman dengan tega mengabil satu-satunya barang si mayat yang dia bawa ke alam kuburnya, yaitu selembar kain mori.
Sifat nekatnya ini dikarenakan beban hidup yang menghimpit keluarganya. Dia megikuti jalan seperti yang pernah ditempuh oleh temannya yang sekarang menjadi kaya raya. Berkat kenekatan dan keberaniannya, mencuri kain kafan atau mori orang yang mati pada malam Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon, Parman berharap bisa memperoleh apa yang dia inginkan sehingga bisa menjadi kaya raya dan tidak lagi mengontrak rumah mungil di perkampungan nelayan. Ritual ini dianggapnya paling mudah dan sederhana. Karena jika dia berhasil mengambilnya, dia bisa meminta apa saja pada sosok mayat yang diambil morinya itu, sebagai tebusan. Seperti petunjuk Badrun (bukan nama sebenarnya).

“Kenapa harus orang yang mati pada hari Jum’at atau Selasa Kliwon yang digunakan sebagai ritual pesugihan?” Tanya penulis saat itu. Menurutnya, ini sudah menjadi syarat ilmu kejawen dam ritual pesugihan kain mori yang dipercaya sejak dulu.
Berbulan-bulan Parman menunggu dan mengintai orang yang meninggal pada hari tersebut. Tak jarang dia menyelidiki, mencari informasi secara diam-diam hingga ke kampung sebelah. Kalau-kalau ada yang meninggal di hari yang dia harapkan agar bisa digunakan sebagai media ritualnya.
Hingga akhirnya dia menemukan orang meninggal seperti yang diharapkan itu.
“Beruntung sekali aku waktu itu, yang meninggal adalah seorang anak kecil. Sehingga aku bisa dan berani mengambil kain kafannya. Jika saja yang meninggal orang sudah dewasa, mungkin aku tak sanggup untuk mengambilnya. Karena si mayat tidak akan mungkin rela selimutnya (kain penghangat tidurnya) saya ambil. Dia akan mempertahankan kain mori itu sehingga akupun harus berkelahi dengannya di liang kubur,” cerita Parman mengawali kisahnya.
Memang benar, taruhannya nyawa untuk memperoleh dan merebut kain mori yang sedang dipakai oleh si mayat. Diamping harus waspada terhadap orang lain agar tidak diketahui, juga harus mati-matian dalam proses pengambilannya. Ketika menggali kuburan, tidak boleh menggunakan bantuan peralatan apapun. Jadi harus menggunakan kedua tangan. Hal inilah yang harus diperhatikan, agar ritual tidak sia-sia.
Kemudian setelah membuka tali pengikat mori, kita harus secepatnya untuk menarik kain mori tersebut menggunakan gigi. Seberapa pun yang kita dapatkan itulah yang harus kita bawa pulang sebagai media pesugihan. Jadi kita tidak boleh mengambilnya berulang-ulang kali, cukup sekenanya saja. Beruntung jika kita bisa mendapatkan yang cukup lebar sehingga kita bisa semakin kaya.
Menurut Parman jika sang mayat sudah nampak (kelihatan), disinilah kita harus berhati-hati. Karena si mayat akan cepat menyerang kita dan memperthankan kain mori yang digunakan untuk selimut baginya. Percaya atau tidak, setiap orang yang haus akan harta, dan melakukan ritual ini, pasti dia akan berkelahi dengan jasad orang tersebut. Dimana jasad mayat itu mungkin saja telah disusupi oleh roh jahat, sehingga tenaga diapun begitu kuat
“Aku benar-benar tak menyangka kalau mayat itu memiliki tenaga yang berlipat ganda.  Jauh lebih besar dari tenaga manusia pada umumnya. Walaupun yang aku ambil kain mori milik anak kecil, tapi tenaga dia seperti orang dewasa. Apalagi jika yang meninggal adalah orang dewasa, sudah pasti aku tak mampu untuk mengambilnya. Pantas saja banyak orang yang tak sanggup dan gagal melakukan ritual ini,” tuturnya kepada penulis.
Jika dia kalah dalam bertarung melawan si mayat, dia kan babak belur bahkan tak jarang dia mengalami cacat tubuh akibat dipukuli oleh mayat dalam liang kubur. Parman saja mengalami luka memar dan biru-biru di sekujur tubuhnya. Oleh karena itu, tak jarang orang yang punya niat mengambil kaim mori milik mayat hanya mendapatkan luka babak belur, tanpa membawa hasil apapun
“Yang jadi masalah, kita harus konsentrasi bagaimana secepatnya bisa mengambil kain mori itu dan melepaskan diri dari dalam liang lahat. Jadi kita sama sekali tak bisa untuk melawannya,” uangkapannya kemudian.
Cerita Parman bisa dimaklumi, disamping menahan takut, dia juga harus menahan pukulan dari si mayat tersebut. Hal ini berlangsung cukup lama, mengingat dalam penggalian serta cara mengambil mori itu hanya menggunakan tangan dan mulut. Karena menurut kepercayaan tak diperbolehkan menggunakan peralatan. Jika telah mendapat kain mori itu, keberhasilan hidup dimasa depan boleh dikatakan sudah di depan mata. Karena menurut Parman, kita bisa meminta apa saja nantinya pada si mayat yang telah kita ambil kain morinya itu. Bagaimana cara mengguankan kain mori yang telah diambilnya dari kuburan, sebagai sarana ritual pesugihan itu? Berikut cerita Parman membeberkan kepada penulis.
“Jika kita sudah mendapatkan mori mayat, sesampainya di rumah langsung kita simpan saja sementara di dalam almari menunggu waktu yang tepat untuk memulainya. Tapi jangan sampai di cuci. Cara menggunakannnya cukup mudah, kain mori tersebut kita jadikan sumbu lampu (templok). Tepat pada jam duabelas, malam Jum’at atau Selasa Kliwon. Dengan sedikit ritual dan mantra tertentu, lalu kita dulut (bakar). Setelah sumbu lampu itu menyala, asap dari sumbu mori itu akan membumbung. Dengan ketajaman si mayat, dia akan mencium di mana selimutnya berada. Sehingga bisa kita pastikan mayat pemilik kain mori tersebut akan muncul mendatangai rumah kita. Dia akan terus memutari rumah kita untuk meminta yang dia sebut selimutnya itu,” papar Parman.
Menurutnya pula, mayat itu akan merengek dan menangis meminta kepada kita. Nah, disaat inilah Parman akan mempermainkan dan memperdayainya untuk kepentingannya, yaitu dengan meminta segala sesuatu yang diinginkannya. Walaupun menurutnya pula, dia selalu merasa berdosa dan tak tega mendengar suara ratapannya itu.
“Waktu pertama saya mencobanya, saya merinding, bahkan ikut menangis. Tapi demi urusan perut dan masa depan keluargaku, ritual tersebut terpaksa aku teruskan. “Menurut Parman, saat dia menyobek kain mori untuk dijadikannya sumbu, ada perasaan lain yang dia rasakan. Perasaa itu semakin santer saat sumbu kain mori mulai disulut di dalam kamarnya. Lalu menyala dan mengeluarkan asap mengepul, memenuhi ruangan. Tiba-tiba dari arah jendela kamar, ada suara ketukan yang dibarengi dengan sebuah tangisan yang menyayat, serta permintaan tolong dari anak kecil.
“Tolong Pak…………….., kembalikan selimutku! Aku kedinginan. Kembalikan selimut satu-satunya miliku yang kamu ambil itu pak. Aku membutuhkannya…… jangan kau ambil miliku itu Pak! Berikan. Aku membutuhkannya……………” suara anak kecil yang berada di luar jendela itu. Parman tahu persis, kalau itu adalah suara sosok mayat yang diambil kain morinya itu. Dia terus memohon sambil menangis.
“Selimutmu akan aku kembalikan padamu, tapi nanti jika aku sudah memiliki rumah sendiri yang bagus. Makanya kamu bantu aku agar aku memiliki rumah bagus sehingga selimutmu segera aku kembalikan.” Janji Parman kepada sosok di luar.
Tak lama suara itu hilang, entah kemana dan Parman langsung mematikan lampu templok tersebut. Aneh tapi benar adanya. Tak begitu lama, Parman mendapatkan ikan saat melaut yang tak masuk akal dalam sepanjang sejarah dia menjadi nelayan. Dia mendapatkan tangkapan yang luar biasa banyaknya. Hal ini berlangsung hampir tiga bulan lamanya. Sehingga pada akhir bulan ketiga, dia benar-benar bisa memiliki rumah sendiri yang bagus. Parman tak mau berhenti hanya di situ. Malam Jum’at Kliwon berikutnya, kembali dia menyulut sumbu kain mori itu lagi. Sehingga kejadian seperti dulupun terulang lagi
“Tolong Pak…………., selimutku kembalikan, aku benar-benar. Aku tak tahan lagi aku tak kuat pak, bantu aku kembalikan selimut itu padaku,” rengeknya lagi. Parmanpun kembali menjanjikannya lagi.
“Kalau kamu ingin aku bantu, kamu juga harus membantuku. Aku menginginkan motor baru, jika kamu bisa membantu, nanti selimutmu akan aku kembalikan,” jawabnya lagi. Kembali suara itu hilang seperti terbawa angin malam Jum’at Kliwon saat itu. Benar-benar luar biasa, entah uang dari mana tapi yang jelas rezeki Parman terus mengalir, sehingga dia benar-benar bisa membeli sebuah sepeda motor baru.
Kini Parman semakin percaya akan keampuhan sumbu kain kafan seperti yang diceritakan Badrun. Pantas Badrun semakin kaya saja. Rupanya jika menginginkan sesuatu dia tinggal menyulut sumbu mori. Lalu empunya akan datang untuk memberinya apa yang dia inginkan, pikir Parman dalam hati. Kehidupan Parman benar-benar berubah drastis. Dia menjadi seorang yang kaya dan terpandang di kampungnya. Parman tak berpikir lagi tentang penderitaan mayat yang dicuri kain kafannya. Termasuk keluarga si mayat yang masih hidup yang tak rela kuburan anaknya di bongkar dan di rusak.
Parman malah semakin serakah dengan tipu muslihatnya memperdaya sukma orang yang mati. Roh yang seharusnya telah tenang di alam sana, masih dia usik kedamaiannya. Bahkan dimintai seabreg urusan duniawi yang ujung-ujungnya hanyalah tipu muslihat Parmana. Selama sumbu kain mori mayat itu masih ada, Parman masih terus bisa memperdaya makhluk halus itu. Dia sendiri tak tahu kapan sumbu itu akan habis sebagai sarana pesugihannya. Bahkan mungkin untuk kesekian puluh kalinya dia menginginkan sesuatu yang benar-benar dramatis. Dia berjanji kepada arwah anak kecil itu, untuk yang terakhir kalinya, kalau dia akan mengembalikan selimutnya jika dirinya telah memiliki sebuah kapal penangkap ikan sendiri, tidak menyewa kepada Bandar ikan lagi.
“Ingat pak, ini adalah janjimu yang terakhir kalinya. Aku juga sudah lelah dijanjikan terus menerus. Aku hanya ingin kamu menepati janji itu.” Ucap sosok bocah dari alam gaib itu sembari pergi.
Aneh bin ajaib, selang beberapa bulan, Parman pun bisa memiliki kapal penangkap ikan sendiri. Hasil lelang dari Bandar kaya di daerahnya. Kini tempat pelelangan ikan, benar-benar seperti telah dikuasainya. Tapi sayang, sifat serakah orang tak pernah hilang dari hatinya. Parman masih menginginkan beberapa bidang tambak di pinggiran teluk.
Malam Jum’at Kliwon kurang tiga hari lagi. Niat hati ingin membakar sumbu pesugihan itu, tapi sayang kapal ikannya justru tenggelam akibat badai dan ombak yang ganas dan tak bisa terselamatkan lagi. Tak hanya itu, rumah Parman beserta perabotannya terbakar habis saat kompor gas yang sedang dipakai memaksa istrinya meledak. Parman benar-benar kecewa, bahkan stress. Kini dia kembali lagi menjadi orang miskin yang hidup menumpang pada orang lain. Dia juga kembali menjadi nelayan buruh pada seseorang
“Percayalah Mas, tak pernah ada untungnya kita mendzalimi orang lain, apalagi orang yang sudah mati. Biarkan mereka tenang dan damai di sisi-Nya. Jangan sekali-kali pengalamanku ini dicontoh orang lagi. Ini hanya untuk mengambil hikmahnya saja bahwa segala sesuatu akan kembali kepada asalnya. Dan semua sudah ditakdirkan serta digariskan oleh-Nya,” tutur Parman yang kini benar-benar telah insaf. Dia merasa selalu dihantui oleh mayat yang dicuri kain kafannya itu.

Pesugihan Bulus Njimbung

Jimbung adalah sebutan dari kawasan yang berada di bawah pemerintahan Daerah Klaten. Kawasan satu ini banyak menarik perhatian dari para pencari pesugihan. Mayoritas berasal dari luar warga setempat. Bahkan ada yang berasal dari kota-kota besar yang jauh, seperti Bandung, Jakarta, Medan, Bangka, dan Surabaya.
Di tembok sendang Jimbung sendiri saat ini tertulis kalimat berupa pemberitahuan, yang berbunyi: “SENDANG INI BUKAN TEMPAT PEMUSRIKAN”. Namun tetap saja masih terlihat adanya bekas tanda-tanda yang digunakan memuja penunggu ‘Sendang Jimbung’.

Tanda-tanda bekas pemujaan tersebut terlihat ada segelas air putih yang didalamnya berisi kembang setamn, kemenyan Jawa yang telah dibakar serta sebungkus kain kafan putih. Entah apa yang ada di dalam bungkusan kain kafan putih tersebut. Setidaknya pemandangan tersebut membuktikan bahwa sendang satu ini memang benar-benar tempat memuja roh kegelapan.
Penasaran dengan sosok yang disebut Eyang Poleng, Misteri mencoba mendatangi salah satu sesepuh warga di sana, yakni Bapak Projo Sugito. Lelaki ini mantan Kepala Desa dua periode. Misteri disambut dengan hangat olehnya.
Menurut Pak Projo, demikian panggilan akrab mantan Kades itu, Eyang Poleng adalah sosok sakti pada masa kerajaan Mataram. Dia juga sosok yang disegani oleh pihak kerajaan Mataram. Setiap kerajaan Mataram mengalami pergolakan, maka Eyang Poleng tersebut pasti dilibatkan. Panggilan ketika mudanya adalah Joko Poleng.
Salah satu kesaktiannya adalah mampu mengubah dirinya dalam bentuk apapun, tak terkecuali menjadi seekor bulus. Mitos menyebutkan ia merupakan salah satu sosok yang disayangi oleh Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Dengan demikian tidak aneh bila ia memiliki kesaktian yang tiada tara, bahkan bisa juga Eyang Poleng masuk dalam kategori manusia setengah siluman.
Awalnya, sebelum ia masuk dalam jajaran orang sakti di bumi Mataram, Joko Poleng adalah seorang pengembara. Dalam pengembaraannya ia hanya seorang diri. Dikisahkan, suatu ketika dalam perjalanan ia diundang sekelompok perampok di tengah hutan belantara di tenga-tengah rawa yang saat itu masih sunyi senyap yaitu Rawa Jombor.
Para perampok tersebut hendak merampas barang-barang yang dibawa Joko Poleng. Namun mereka dapat dikalahkan oleh sang pengembara tadi. Sejak saat itulah Joko Poleng menetap di daerah Rawa Jombor, tepatnya di dukuh Jimbung.
“Ketika hendak menetap di Jimbung merasa ada yang kurang yaitu tempat mandi, maka ia membuat sendang. Kemudian sendang tersebut digunakan untuk mandi Joko Poleng dan sendang itulah yang oleh warga sekitar disebut dengan Sendang Jimbung,” cerita Pak Projo lebih jauh.
Sejak saat itu ia menetap di daerah yang kala itu masih sunyi belum banyak penghuninya. Yang menarik, Joko Poleng tiap malam Jum’at Kliwon melakukan tirakat dengan cara berendam atau kungkum di sendang.
Setiap kali tirakat ia lebih suka merubah bentuk menjadi seekor bulus. Dengan maksud agar tidak terganggu oleh orang yang melihat. Sampai suatu ketika ada salah seorang yang melihat dirinya sedfng tirakat berendam. Tetapi menurut pandangan orang ketika itu ia melihat seluruh tubuh Joko Poleng berwarna belang-belang dengan bentuk menyerupai kulit bulus.
Sejaksaat itu keberadaan Joko Poleng tidak diketahui oleh warga. Atau detailnya Joko Poleng masa itu seperti hilang ditelan bumi tanpa seorangpun yang tahu keberadaannya. Entah meninggal atau belum, warga pada saat itu tidak tahu.
“Semenjak saat itu baik sendang maupun mitos sosok Joko Poleng melegenda dan begitu keramat,” demikian keterangan Pak Projo.
Seiring dengan berkembangnya mitos keangkeran, kekeramatan serta keampuhan yang diyakini para pemburu pesugihan sehubungn dengan Sendang Jimbung, mereka pun berbondong-bondong melakukan tirakat atau ritual di sendang ini.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi para pencari pesugihan. Di antaranya adalah, mereka harus menyiapkan sesajen yang diinginkan. Misalnya, segelas air putih yang berisi kembang setaman, sebatang rokok klobot, kemenyan, tanah rumah pencari pesugihan yang harus dibungkus dengan kain kafan. Syarat-syarat tersebut diletakkan di bawah pohon di dekat sendang. Setelah itu mereka berendam/kungkum di sendang. Mulainya harus malam Jum’at Kliwon.
Syarat lainnya adalah, bagi mereka yang telah dikabulkan harus melakukan tasyakuran setiap bulan syuro di ‘Sendang Jimbung’. Bila ini dilanggar fatal akibatnya bagi pencari pesugihan tersebut. Ada pantangan yang harus dihindari oleh para pamuja Eyang Poleng, pantangan tersebut tidak boleh membunuh hewan bulus secara sengaja atau tidak.
Karena bila membunuh hewan bulus maka hidup sang pemuja itu tidak begitu lama, akan mati sebelum jadwal maut yang dijadwalkan datang. Setiap malam Jum’at Kliwon si pelaku juga tidak boleh absent datang ke sendang, meski dia sudah sekses sekalipun tidak boleh lupa.
“Bila sampai lupa, maka akan ada seekor bulus yang datang berkunjung ke rumah sang pemuja tadi. Kedatangan pertama bulus ini sekedar mengingatkan. Namun bila sampai dua malam Jum’at Kliwon dirinya tidak sowan atau tidak menghadap, maka dalam bulan tersebut, sang pemuja akan dipanggil untuk menghadap oleh siluman penunggu sendang tersebut. Otomatis wujud si pemuja pun akan berubah menjadi seekor bulus seperti para pemuja Eyang Poleng lainnya yang melanggar pantangan,” beber Pak Projo.
Masih menurut Pak Projo, tidak hanya resiko-resiko itu yang harus diterima pemuja Joko Poleng. Masih ada resiko lainnya yaitu mereka yang memuja atau mencari pesugihan di Jimbung dapat dipastikan sekujur tubuhnya mengalami cacat sedikit demi sedikit. Kulit tubuhnya akan terlihat belang-belang. Cacat kulit ini bisa dilihat dengan kasat mata.
Pada dasarnya pesugihan bulus jimbung tidak meminta tumbal nyawa baik anggota keluarga pemuja maupun orang lain, kecuali pemuja pesugihan itu sendiri yang harus menanggung resikonya. Dalam arti resiko yang telah disebutkan di atas.
“Yang pasti, kelak bila pemuja pesugihan bulus jimbung meninggal, arwah serta rohnya tidak langsung dibawa malaikat menghadap Tuhan, melainkan akan disabotase oleh komunitas siluman yang berwujud binatang yang suka menyembunyikan bagian kepalanya tersebut. Dengan demikian secara resmi ia sah menjadi anggota siluman sesat yang diketuai oleh Eyang Poleng,” tambah Pak Projo.
Sebelum menutup pembicaraan dengan Misteri, Pak Projo memberi contoh salah satu realita yang terjadi pada pemuja Bulus Jimbung. Pemuja pesugihan ini merupakan teman dekat pak Projo, tetapi satu kampung dengan lelaki yang suka mengenakan peci hitam ini. Temannya tersebut semula sudah diingatkan oleh Pak Projo sebelum melakukan ritual. Namun karena rapuhnya keimanan sang teman, akhirnya dia membulatkan tekad untuk melakukan tirakat di sendang Jimbung.
Setelah beberapa malam Jum’at Kliwon melakukan ritual di sendang Jimbung, kehidupan teman Pak Projo tersebut memang berkembang pesat. Dia berhasil mempunyai satu unit mesin penggiling padi. Beberapa tahun kemudian temannya tadi mempunyai 3 buah truk pengangkut padi, sehingga warga sekitar menyebutnya dengan julukan juragan beras.
Namun bila dicernati, seiring kesuksesan duniawi yang berhasil diraihnya, ternyata dibarengi juga dengan tanda-tanda ganjui di sekujur tubuhnya. “Ya, sekujur kulitnya berubah menjadi belang-belang, sehingga membuat warga enggan untuk berdekatan dengan dirinya, dan selanjutnya dia diasingkan oleh sebagian warga,” kisah Park Projo lebih jauh.
Demikianlah sedikit liputan tentang pesugihan Buyut Jimpang. Ingatlah, setiap segala sesuatu ada resiko yang harus ditanggung oleh para pemburu pesugihan. Hidup hanyalah laksana perjalanan yang kita tidak tahu kapan perjalanan tersebut terhenti. Sehingga kita perlu merenung sejenak tentang hakiki dari sebuah hiruk-pikuk alam fana ini. Hanya satu yang membuat orang beruntung yaitu “ketika orang itu selalu mendekatkan diri pada Tuhan….”

Pesugihan Bulus Njimbung

Jimbung adalah sebutan dari kawasan yang berada di bawah pemerintahan Daerah Klaten. Kawasan satu ini banyak menarik perhatian dari para pencari pesugihan. Mayoritas berasal dari luar warga setempat. Bahkan ada yang berasal dari kota-kota besar yang jauh, seperti Bandung, Jakarta, Medan, Bangka, dan Surabaya.
Di tembok sendang Jimbung sendiri saat ini tertulis kalimat berupa pemberitahuan, yang berbunyi: “SENDANG INI BUKAN TEMPAT PEMUSRIKAN”. Namun tetap saja masih terlihat adanya bekas tanda-tanda yang digunakan memuja penunggu ‘Sendang Jimbung’.

Tanda-tanda bekas pemujaan tersebut terlihat ada segelas air putih yang didalamnya berisi kembang setamn, kemenyan Jawa yang telah dibakar serta sebungkus kain kafan putih. Entah apa yang ada di dalam bungkusan kain kafan putih tersebut. Setidaknya pemandangan tersebut membuktikan bahwa sendang satu ini memang benar-benar tempat memuja roh kegelapan.
Penasaran dengan sosok yang disebut Eyang Poleng, Misteri mencoba mendatangi salah satu sesepuh warga di sana, yakni Bapak Projo Sugito. Lelaki ini mantan Kepala Desa dua periode. Misteri disambut dengan hangat olehnya.
Menurut Pak Projo, demikian panggilan akrab mantan Kades itu, Eyang Poleng adalah sosok sakti pada masa kerajaan Mataram. Dia juga sosok yang disegani oleh pihak kerajaan Mataram. Setiap kerajaan Mataram mengalami pergolakan, maka Eyang Poleng tersebut pasti dilibatkan. Panggilan ketika mudanya adalah Joko Poleng.
Salah satu kesaktiannya adalah mampu mengubah dirinya dalam bentuk apapun, tak terkecuali menjadi seekor bulus. Mitos menyebutkan ia merupakan salah satu sosok yang disayangi oleh Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Dengan demikian tidak aneh bila ia memiliki kesaktian yang tiada tara, bahkan bisa juga Eyang Poleng masuk dalam kategori manusia setengah siluman.
Awalnya, sebelum ia masuk dalam jajaran orang sakti di bumi Mataram, Joko Poleng adalah seorang pengembara. Dalam pengembaraannya ia hanya seorang diri. Dikisahkan, suatu ketika dalam perjalanan ia diundang sekelompok perampok di tengah hutan belantara di tenga-tengah rawa yang saat itu masih sunyi senyap yaitu Rawa Jombor.
Para perampok tersebut hendak merampas barang-barang yang dibawa Joko Poleng. Namun mereka dapat dikalahkan oleh sang pengembara tadi. Sejak saat itulah Joko Poleng menetap di daerah Rawa Jombor, tepatnya di dukuh Jimbung.
“Ketika hendak menetap di Jimbung merasa ada yang kurang yaitu tempat mandi, maka ia membuat sendang. Kemudian sendang tersebut digunakan untuk mandi Joko Poleng dan sendang itulah yang oleh warga sekitar disebut dengan Sendang Jimbung,” cerita Pak Projo lebih jauh.
Sejak saat itu ia menetap di daerah yang kala itu masih sunyi belum banyak penghuninya. Yang menarik, Joko Poleng tiap malam Jum’at Kliwon melakukan tirakat dengan cara berendam atau kungkum di sendang.
Setiap kali tirakat ia lebih suka merubah bentuk menjadi seekor bulus. Dengan maksud agar tidak terganggu oleh orang yang melihat. Sampai suatu ketika ada salah seorang yang melihat dirinya sedfng tirakat berendam. Tetapi menurut pandangan orang ketika itu ia melihat seluruh tubuh Joko Poleng berwarna belang-belang dengan bentuk menyerupai kulit bulus.
Sejaksaat itu keberadaan Joko Poleng tidak diketahui oleh warga. Atau detailnya Joko Poleng masa itu seperti hilang ditelan bumi tanpa seorangpun yang tahu keberadaannya. Entah meninggal atau belum, warga pada saat itu tidak tahu.
“Semenjak saat itu baik sendang maupun mitos sosok Joko Poleng melegenda dan begitu keramat,” demikian keterangan Pak Projo.
Seiring dengan berkembangnya mitos keangkeran, kekeramatan serta keampuhan yang diyakini para pemburu pesugihan sehubungn dengan Sendang Jimbung, mereka pun berbondong-bondong melakukan tirakat atau ritual di sendang ini.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi para pencari pesugihan. Di antaranya adalah, mereka harus menyiapkan sesajen yang diinginkan. Misalnya, segelas air putih yang berisi kembang setaman, sebatang rokok klobot, kemenyan, tanah rumah pencari pesugihan yang harus dibungkus dengan kain kafan. Syarat-syarat tersebut diletakkan di bawah pohon di dekat sendang. Setelah itu mereka berendam/kungkum di sendang. Mulainya harus malam Jum’at Kliwon.
Syarat lainnya adalah, bagi mereka yang telah dikabulkan harus melakukan tasyakuran setiap bulan syuro di ‘Sendang Jimbung’. Bila ini dilanggar fatal akibatnya bagi pencari pesugihan tersebut. Ada pantangan yang harus dihindari oleh para pamuja Eyang Poleng, pantangan tersebut tidak boleh membunuh hewan bulus secara sengaja atau tidak.
Karena bila membunuh hewan bulus maka hidup sang pemuja itu tidak begitu lama, akan mati sebelum jadwal maut yang dijadwalkan datang. Setiap malam Jum’at Kliwon si pelaku juga tidak boleh absent datang ke sendang, meski dia sudah sekses sekalipun tidak boleh lupa.
“Bila sampai lupa, maka akan ada seekor bulus yang datang berkunjung ke rumah sang pemuja tadi. Kedatangan pertama bulus ini sekedar mengingatkan. Namun bila sampai dua malam Jum’at Kliwon dirinya tidak sowan atau tidak menghadap, maka dalam bulan tersebut, sang pemuja akan dipanggil untuk menghadap oleh siluman penunggu sendang tersebut. Otomatis wujud si pemuja pun akan berubah menjadi seekor bulus seperti para pemuja Eyang Poleng lainnya yang melanggar pantangan,” beber Pak Projo.
Masih menurut Pak Projo, tidak hanya resiko-resiko itu yang harus diterima pemuja Joko Poleng. Masih ada resiko lainnya yaitu mereka yang memuja atau mencari pesugihan di Jimbung dapat dipastikan sekujur tubuhnya mengalami cacat sedikit demi sedikit. Kulit tubuhnya akan terlihat belang-belang. Cacat kulit ini bisa dilihat dengan kasat mata.
Pada dasarnya pesugihan bulus jimbung tidak meminta tumbal nyawa baik anggota keluarga pemuja maupun orang lain, kecuali pemuja pesugihan itu sendiri yang harus menanggung resikonya. Dalam arti resiko yang telah disebutkan di atas.
“Yang pasti, kelak bila pemuja pesugihan bulus jimbung meninggal, arwah serta rohnya tidak langsung dibawa malaikat menghadap Tuhan, melainkan akan disabotase oleh komunitas siluman yang berwujud binatang yang suka menyembunyikan bagian kepalanya tersebut. Dengan demikian secara resmi ia sah menjadi anggota siluman sesat yang diketuai oleh Eyang Poleng,” tambah Pak Projo.
Sebelum menutup pembicaraan dengan Misteri, Pak Projo memberi contoh salah satu realita yang terjadi pada pemuja Bulus Jimbung. Pemuja pesugihan ini merupakan teman dekat pak Projo, tetapi satu kampung dengan lelaki yang suka mengenakan peci hitam ini. Temannya tersebut semula sudah diingatkan oleh Pak Projo sebelum melakukan ritual. Namun karena rapuhnya keimanan sang teman, akhirnya dia membulatkan tekad untuk melakukan tirakat di sendang Jimbung.
Setelah beberapa malam Jum’at Kliwon melakukan ritual di sendang Jimbung, kehidupan teman Pak Projo tersebut memang berkembang pesat. Dia berhasil mempunyai satu unit mesin penggiling padi. Beberapa tahun kemudian temannya tadi mempunyai 3 buah truk pengangkut padi, sehingga warga sekitar menyebutnya dengan julukan juragan beras.
Namun bila dicernati, seiring kesuksesan duniawi yang berhasil diraihnya, ternyata dibarengi juga dengan tanda-tanda ganjui di sekujur tubuhnya. “Ya, sekujur kulitnya berubah menjadi belang-belang, sehingga membuat warga enggan untuk berdekatan dengan dirinya, dan selanjutnya dia diasingkan oleh sebagian warga,” kisah Park Projo lebih jauh.
Demikianlah sedikit liputan tentang pesugihan Buyut Jimpang. Ingatlah, setiap segala sesuatu ada resiko yang harus ditanggung oleh para pemburu pesugihan. Hidup hanyalah laksana perjalanan yang kita tidak tahu kapan perjalanan tersebut terhenti. Sehingga kita perlu merenung sejenak tentang hakiki dari sebuah hiruk-pikuk alam fana ini. Hanya satu yang membuat orang beruntung yaitu “ketika orang itu selalu mendekatkan diri pada Tuhan….”

Pesugihan Tumbal Anak ( Keluarga )

Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.

Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia  hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.

Pesugihan Tumbal Anak ( Keluarga )

Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.

Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia  hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.

Ritual Pesugihan Keris Omyang Jimbe

Namaku Yogi, sebut saja begitu, umurku 52 tahun. Aku tinggal di sebuah perumahan di Jakarta Selatan bersama isteri dan dua orang putraku. Sampai penghujung tahun 2007, rumah tanggaku tak menemui masalah yang berarti. Kami hidup rukun dengan segala kebutuhan rumah tangga yang selalu bisa aku penuhi. Dua orang putraku pun bisa bersekolah dengan layak, salah satunya sudah duduk dibangku perguruan tinggi dan adiknya masih di bangku SLTP.
Tapi suatu ketika musibah datang beruntun dan langsung membuatku ambruk hingga tenggelam ke dasar lumpur kenistaan. Padahal baru saja dua bulan aku mengambil kredit di sebuah bank swasta nasional yang nilainya 700 juta rupiah. Untuk mendapatkan kredit sebesar itu, aku mengagunkan rumah yang aku tempati bersama isteri dan anak-anakku. Uang sejumlah itu aku gunakan untuk modal usaha karena aku sudah lama mendapatkan klien dari Singapura mengirim hiasan rumah tradisional.

Seperti disambar petir di siang bolong, hari itu aku mendapat kabar bahwa barang yang kupesan dari para pengrajin di Tasikmalaya tidak bisa dikirimkan. Alasan mereka belum mendapatkan bayaran sejak 3 bulan lalu. Para pengrajin itu menuntut pembayaran semua barang yang mereka kirim senilai hampir setengah milyar. Padahal aku sudah membayarkan semua hak mereka tanpa ada yang aku tunda-tunda. Pembayaran itu aku lakukan melalui kasir dan orang kepercayaanku.
Tak hanya itu, masalah lain timbul dari klienku yang di Singapura, dia menuntut aku untuk segera mengirimkan barang pesanannya. Panik bukan kepalang, di satu sisi aku harus membayar uang kepada para pengrajin di Tasikmalaya. Di sisi lain aku dituntut untuk mengirim barang ke Singapura atau kontrak yang telah kubangun akan segera diputuskan. Artinya aku akan kehilangan klien sekaligus harus membayar utang yang segunung jumlahnya.
Yah, tentu saja bukan aku tidak berusaha mencari jalan keluar. Aku sudah melaporkan penggelapan uang, penipuan dan korupsi pada Kepolisian. Tapi apa pun itu, tidak membuat usahaku lancar. Aku kehilangan klien karena ulah karyawanku yang membawa kabur uangku. Aku tak tahu ke mana harus mencarinya lagi. Alamat yang ditinggalkannya ketika melamar pekerjaan 4 tahun lalu ternyata palsu. Aku sudah menelusuri semua jejak yang pernah dia tinggalkan, tapi semua nihil.
Singkat cerita, aku benar-benar terpuruk, usahaku hancur dan rumahku disita bank karena aku tak mampu membayar hutang. Aku ngontrak di sebuah rumah petakan di Cinere. Tapi itu belum bisa membuat hidupku tenang. Karena para pengrajin di Tasikmalaya masih terus memburuku karena aku masih mempunyai hutang pada mereka sejumlah hampir 400 juta rupiah. Nyaris setiap hari aku didatangi orang yang menagih hutang ke rumah kontrakanku. Dan hampir setiap jam telepon genggamku berdering oleh orang-orang yang menagih hutang.
Keterpurukanku itu berlangsung hingga tahun 2009. Sepanjang dua tahun, hidupku benar-benar hancur, untuk mencari makan saja aku harus meminta bantuan ke mana-mana. Anak sulungku terpaksa harus berhenti kuliah karena aku tak sanggup lagi membiayainya. Isteriku setiap hari harus ikut mencari nafkah dengan berjualan gorengan dan makanan kecil di depan kontrakan. Sementara hutangku masih menggunung dan aku hanya mampu menjanjikan pada para pengrajin di Tasik, bahwa suatu hari aku pasti akan melunasi semua hutang-hutangku.
Hari itu temanku Haris memperkenalkan aku pada seorang temannya yang bernama Edi. Menurut Haris, temannya yang bernama Edi itu bisa membantu menyelesaikan masalahku dengan kekuatan gaib. Tertarik dengan hal itu, aku mengajak Haris bertemu dengan Edi di suatu tempat di bilangan Bekasi. Dan hari itu pula aku diajak Edi bertemu dengan seorang spiritualis yang bernama Wisnu. Dari mas Wisnu inilah aku diberitahu bahwa aku bisa menggelar sebuah ritual untuk mendapatkan sejumlah uang dari gaib.
Menurut Wisnu, spiritualis yang berusia sekitar 45 tahun itu, ritual menarik uang gaib ini menggunakan kekuatan keris Omyang Jimbe. Sebuah keris keramat yang umurnya sudah ratusan tahun. Di rumah Mas Wisnu, aku diperlihatkan sebuah keris yang di kepalanya berhias dua orang yang nampak sedang semedi. Itulah yang disebut Mpu Omyang Jimbe pembuat keris pusaka yang kekuatan gaibnya bisa digunakan untuk menarik uang dari alam gaib.
Aku semakin antusias karena menurut Mas Wisnu tak perlu tumbal untuk mendapatkan uang dari alam gaib itu. Meski dengan ritual yang teramat sakral tapi gaib penghuni keris itu tidak meminta tumbal pada pelaku ritual. Gaib itu hanya menuntut agar pelaku ritual itu berlaku jujur. Sebab uang yang bisa ditarik dari alam gaib itu hanya boleh dipergunakan untuk membayar hutang atau pelakunya benar-benar dalam keadaan terdesak. Selain itu jumlah uang yang bisa didapatkan pun terbatas sesuai dengan kebutuhan pelaku itu sendiri.
Yah, dengan bermodalkan keyakinan aku menghadap Mas Wisnu untuk mengadakan perjanjian ritual. Aku diminta untuk menyediakan sejumlah sesajian lengkap untuk menggelar ritual itu. Aku harus menyediakan kembang setaman lengkap dengan kemenyan dan uborampe lainnya. Kemudian aku juga diminta untuk menentukan di mana lokasi ritual itu akan digelar. Menurut Mas Wisnu, lokasi ritual itu boleh ditentukan oleh pelaku sendiri. Bisa digelar di tempat keramat atau di mana saja bahkan juga bisa digelar di rumah pelaku sendiri. Tapi karena rumah kontrakkanku terlalu sempit, maka aku memilih menggelar ritual di sebuah tempat keramat di Bogor, Jawa Barat.
Sesuai dengan kesepakatan dan perhitungan primbon Mas Wisnu, siang itu aku berangkat ke rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. Hari itu Kamis malam Jumat, berdasarkan perhitungan Mas Wisnu, hari itu adalah hari baik untukku dan keluargaku. Aku berangkat dari rumah Mas Wisnu sekitar pukul 4 sore menuju sebuah tempat keramat di perbatasan antara Jasinga, Bogor dengan Tangerang Banten. Ritual itu sendiri baru akan digelar menjelang tengah malam.
Sesuai perhitungan, kami baru tiba di keramat itu sekitar pukul 8 malam. Setelah meminta ijin pada juru kunci, kami langsung menuju lokasi keramat untuk mengenali situasinya. Ternyata keramat ini memang nampak menyeramkan. Pohon-pohon besar berdiri tegak bagaikan raksasa yang tengah berkacak pinggang. Di bawah pohon-pohon besar itu berdiri sebuah gubuk kecil yang gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu minyak yang kadang redup tertiup angin malam.
Beberapa saat aku ngobrol dalam gubuk itu bersama 5 orang yang ikut dalam ritual itu. Aku sendiri ditemani seorang saudaraku yang ingin ikut menyaksikan ritual itu. Selama kami ngobrol, aku merasakan banyak getaran gaib yang menyelimuti tempat keramat itu. Aku yakin tempat itu pasti dihuni oleh banyak makhluk halus yang tak kasat mata. Dan setelah ngalor ngidul kami ngobrol akhirnya waktu yang telah ditentukan untuk menggelar ritual itu pun tiba.
Pukul 11 malam, Mas Wisnu mulai memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan segala sesajian yang kami bawa. Berbagai uborampe digelar dalam cungkup yang luasnya sekitar 10 meter persegi itu. Kembang setaman digelar di atas sehelai kain putih. Perapian mulai dibakar dan sesaat kemudian api mulai menyala membakar arang dalam bokor tembaga. Beberapa batang hio mulai mengepulkan asap yang baunya khas menusuk hidung. Terakhir Mas Wisnu mencabut sebuah keris yang bernama Omyang Jimbe. Keris itu berdiri tegak di atas sehelai kain putih di depan sesajian.
Ritual itu mulai digelar, aku duduk bersila di belakang Mas Wisnu. Berjejer di samping kiriku adalah saudaraku dan seorang anak buah Mas Wisnu. Lalu di samping kananaku dua orang lain yang diajak Mas Wisnu. Segala syarat perlengkapan untuk memanggil kekuatan gaib keris Omyang Jimbe telah siap digelar. Asap hio dan kemenyan pun telah mengepul sejak beberapa menit lalu. Memanggil segala jenis makhluk halus untuk memberi kekuatan pada ritual itu.
Tepat tengah malam, Mas Wisnu mulai membacakan mantera dan jampi-jampi yang aku tak mengerti. Beberapa bait mantera dan jampe-jampe dari bahasa Jawa kuno meluncur dari mulutnya. Sebelum itu Mas Wisnu juga membacakan beberapa Ayat Suci Al Qur’an, maksudnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada para peserta ritual. Sebab menurutnya di tempat seperti itu resiko gangguan makhluk halus pasti sangat besar.
Setelah pembacaan mantera itu selesai, lalu Mas Wisnu memerintahkan seorang asistennya yang masih sangat muda untuk duduk di depan sesajian itu. Sesaat kemudian asisstennya yang masih anak muda itu menutupi sebuah kardus dengan kain putih. Kemudian dia pun membacakan beberapa ayat Suci Al Qur’an sambil duduk bersila di depan sesajian dan kardus itu.
Suasana mulai terasa mencekam manakala anak muda itu usai membacakan manteranya. Bulu kuduku terasa lebih merinding dibandingkan beberapa saat lalu. Aku merasa seperti ada makhluk halus yang tengah memperhatikan gerak-gerikku. Mataku mulai melirik ke kiri dan ke kanan memperhatikan seluruh ruangan cungkup itu. Tapi tak ada apapun di sana, hanya kegelapan malam yang kulihat. Sesekali aku mendengar suara burung hantu dan binatang malam yang membuat suasana makin mengerikan. Aku yakin di situ pasti ada makhluk halus yang tengah memperhatikanku. Aku merasakan itu karena hampir seluruh bulu dalam tubuhku berdiri. Dadaku pun berdebar makin keras. Naluriku memastikan ada makhluk lain yang ikut dalam ritual itu.
Sedang diliputi rasa takut itu, tiba-tiba blaaarrrr. Kardus yang ditutup kain putih itu seperti meledak menimbulkan suara gaduh. Jantungku seperti mau copot, aku kaget bukan kepalang hingga posisi duduku berubah sedikit mundur bahkan nyaris lari lantaran kaget dan rasa takut.
“Tenang-tenang. Tidak ada apa-apa. Itu hanya sebuah pertanda bahwa ritual kita direstui gaib dan kita nyaris berhasil,” ujar Mas Wisnu manakala melihat keadaanku yang sangat ketakutan.
“Tetap konsentrasi dan jangan bertindak yang bukan-bukan,” lanjutnya.
Sesaat kemudian Mas Wisnu mengambil alih ritual dari anak muda itu. Kembali Mas Wisnu membacakan beberapa bait mantera sambil menaburkan kemenyan ke atas bokor yang arangnya masih terlihat membara merah. Tak seorang pun yang berani membuka mulut, suasana makin hening mencekam.
“Nah, ritual ini telah selesai. Mari kita lihat apa yang ada dalam kardus itu,” tiba-tiba Mas Wisnu bersuara sambil menunjuk kardus yang tertutup kain putih.
“Silahkan buka kardus itu, Mas Yogi,” tuturnya sambil menatap ke arahku. “Atau kalau sampeyan takut, biar aku saja yang membukanya,” lanjutnya melihat aku yang nampak ragu dan ketakutan.
“Silahkan, mas saja yang membukanya,” jawabku singkat.
Perlahan Mas Wisnu mulai menyingkap kain putih yang menutupi kardus itu. Dadaku masih berdebar, benakku terus bertanya-tanya apa yang ada dalam kardus kosong itu. Sesekali aku bisa melihat raut wajah Mas Wisnu yang nampak was-was. Entah apa yang ada dalam benak lelaki itu. Tapi sedetik kemudian, raut wajah Mas Wisnu nampak berubah. Ada rasa sumringah tatkala dia mulai membuka tutup kardus itu.
“Alhamdulillah, ternyata ritual kita dikabulkan. Silahkan lihat apa isi kardus ini,” tutur Mas Wisnu dengan senyum penuh kebahagiaan.
Dan betapa terkejutnya aku manakala melihat apa yang ada dalam kardus itu. Setumpuk uang pecahan seratus ribuan memenuhi kardus itu. Dengan penuh kebahagiaan dan rasa tak percaya, aku mengambil segepok uang itu. Setelah kuperhatikan, ternyata benar itu adalah uang yang selama ini aku dambakan untuk melunasi hutang-hutangku.
“Ingat Mas Yogi, pertama kali yang sampeyan lakukan dengan uang ini adalah membayar hutang. Jika hutangmu sudah lunas semua, maka sisanya boleh digunakan untuk apapun,” jelas Mas Wisnu mengingatkanku.
Yah, singkat cerita, kami pulang dengan membawa hasil yang kami harapkan. Dengan uang itu aku membayar seluruh hutangku pada para pengrajin di Tasikmalaya. Aku juga melunasi hutang-hutang kecilku pada teman-teman dan tetangga yang telah membantuku. Anehnya uang itu memang hanya cukup untuk membayar hutang. Hanya tersisa tak lebih dari 2 juta saja dari sisa pembayaran hutang-hutangku itu. Tapi syukur, aku bisa melunasi hutang-hutangku meski kini aku harus mulai kembali usahaku dari nol.

Ritual Pesugihan Keris Omyang Jimbe

Namaku Yogi, sebut saja begitu, umurku 52 tahun. Aku tinggal di sebuah perumahan di Jakarta Selatan bersama isteri dan dua orang putraku. Sampai penghujung tahun 2007, rumah tanggaku tak menemui masalah yang berarti. Kami hidup rukun dengan segala kebutuhan rumah tangga yang selalu bisa aku penuhi. Dua orang putraku pun bisa bersekolah dengan layak, salah satunya sudah duduk dibangku perguruan tinggi dan adiknya masih di bangku SLTP.
Tapi suatu ketika musibah datang beruntun dan langsung membuatku ambruk hingga tenggelam ke dasar lumpur kenistaan. Padahal baru saja dua bulan aku mengambil kredit di sebuah bank swasta nasional yang nilainya 700 juta rupiah. Untuk mendapatkan kredit sebesar itu, aku mengagunkan rumah yang aku tempati bersama isteri dan anak-anakku. Uang sejumlah itu aku gunakan untuk modal usaha karena aku sudah lama mendapatkan klien dari Singapura mengirim hiasan rumah tradisional.

Seperti disambar petir di siang bolong, hari itu aku mendapat kabar bahwa barang yang kupesan dari para pengrajin di Tasikmalaya tidak bisa dikirimkan. Alasan mereka belum mendapatkan bayaran sejak 3 bulan lalu. Para pengrajin itu menuntut pembayaran semua barang yang mereka kirim senilai hampir setengah milyar. Padahal aku sudah membayarkan semua hak mereka tanpa ada yang aku tunda-tunda. Pembayaran itu aku lakukan melalui kasir dan orang kepercayaanku.
Tak hanya itu, masalah lain timbul dari klienku yang di Singapura, dia menuntut aku untuk segera mengirimkan barang pesanannya. Panik bukan kepalang, di satu sisi aku harus membayar uang kepada para pengrajin di Tasikmalaya. Di sisi lain aku dituntut untuk mengirim barang ke Singapura atau kontrak yang telah kubangun akan segera diputuskan. Artinya aku akan kehilangan klien sekaligus harus membayar utang yang segunung jumlahnya.
Yah, tentu saja bukan aku tidak berusaha mencari jalan keluar. Aku sudah melaporkan penggelapan uang, penipuan dan korupsi pada Kepolisian. Tapi apa pun itu, tidak membuat usahaku lancar. Aku kehilangan klien karena ulah karyawanku yang membawa kabur uangku. Aku tak tahu ke mana harus mencarinya lagi. Alamat yang ditinggalkannya ketika melamar pekerjaan 4 tahun lalu ternyata palsu. Aku sudah menelusuri semua jejak yang pernah dia tinggalkan, tapi semua nihil.
Singkat cerita, aku benar-benar terpuruk, usahaku hancur dan rumahku disita bank karena aku tak mampu membayar hutang. Aku ngontrak di sebuah rumah petakan di Cinere. Tapi itu belum bisa membuat hidupku tenang. Karena para pengrajin di Tasikmalaya masih terus memburuku karena aku masih mempunyai hutang pada mereka sejumlah hampir 400 juta rupiah. Nyaris setiap hari aku didatangi orang yang menagih hutang ke rumah kontrakanku. Dan hampir setiap jam telepon genggamku berdering oleh orang-orang yang menagih hutang.
Keterpurukanku itu berlangsung hingga tahun 2009. Sepanjang dua tahun, hidupku benar-benar hancur, untuk mencari makan saja aku harus meminta bantuan ke mana-mana. Anak sulungku terpaksa harus berhenti kuliah karena aku tak sanggup lagi membiayainya. Isteriku setiap hari harus ikut mencari nafkah dengan berjualan gorengan dan makanan kecil di depan kontrakan. Sementara hutangku masih menggunung dan aku hanya mampu menjanjikan pada para pengrajin di Tasik, bahwa suatu hari aku pasti akan melunasi semua hutang-hutangku.
Hari itu temanku Haris memperkenalkan aku pada seorang temannya yang bernama Edi. Menurut Haris, temannya yang bernama Edi itu bisa membantu menyelesaikan masalahku dengan kekuatan gaib. Tertarik dengan hal itu, aku mengajak Haris bertemu dengan Edi di suatu tempat di bilangan Bekasi. Dan hari itu pula aku diajak Edi bertemu dengan seorang spiritualis yang bernama Wisnu. Dari mas Wisnu inilah aku diberitahu bahwa aku bisa menggelar sebuah ritual untuk mendapatkan sejumlah uang dari gaib.
Menurut Wisnu, spiritualis yang berusia sekitar 45 tahun itu, ritual menarik uang gaib ini menggunakan kekuatan keris Omyang Jimbe. Sebuah keris keramat yang umurnya sudah ratusan tahun. Di rumah Mas Wisnu, aku diperlihatkan sebuah keris yang di kepalanya berhias dua orang yang nampak sedang semedi. Itulah yang disebut Mpu Omyang Jimbe pembuat keris pusaka yang kekuatan gaibnya bisa digunakan untuk menarik uang dari alam gaib.
Aku semakin antusias karena menurut Mas Wisnu tak perlu tumbal untuk mendapatkan uang dari alam gaib itu. Meski dengan ritual yang teramat sakral tapi gaib penghuni keris itu tidak meminta tumbal pada pelaku ritual. Gaib itu hanya menuntut agar pelaku ritual itu berlaku jujur. Sebab uang yang bisa ditarik dari alam gaib itu hanya boleh dipergunakan untuk membayar hutang atau pelakunya benar-benar dalam keadaan terdesak. Selain itu jumlah uang yang bisa didapatkan pun terbatas sesuai dengan kebutuhan pelaku itu sendiri.
Yah, dengan bermodalkan keyakinan aku menghadap Mas Wisnu untuk mengadakan perjanjian ritual. Aku diminta untuk menyediakan sejumlah sesajian lengkap untuk menggelar ritual itu. Aku harus menyediakan kembang setaman lengkap dengan kemenyan dan uborampe lainnya. Kemudian aku juga diminta untuk menentukan di mana lokasi ritual itu akan digelar. Menurut Mas Wisnu, lokasi ritual itu boleh ditentukan oleh pelaku sendiri. Bisa digelar di tempat keramat atau di mana saja bahkan juga bisa digelar di rumah pelaku sendiri. Tapi karena rumah kontrakkanku terlalu sempit, maka aku memilih menggelar ritual di sebuah tempat keramat di Bogor, Jawa Barat.
Sesuai dengan kesepakatan dan perhitungan primbon Mas Wisnu, siang itu aku berangkat ke rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. Hari itu Kamis malam Jumat, berdasarkan perhitungan Mas Wisnu, hari itu adalah hari baik untukku dan keluargaku. Aku berangkat dari rumah Mas Wisnu sekitar pukul 4 sore menuju sebuah tempat keramat di perbatasan antara Jasinga, Bogor dengan Tangerang Banten. Ritual itu sendiri baru akan digelar menjelang tengah malam.
Sesuai perhitungan, kami baru tiba di keramat itu sekitar pukul 8 malam. Setelah meminta ijin pada juru kunci, kami langsung menuju lokasi keramat untuk mengenali situasinya. Ternyata keramat ini memang nampak menyeramkan. Pohon-pohon besar berdiri tegak bagaikan raksasa yang tengah berkacak pinggang. Di bawah pohon-pohon besar itu berdiri sebuah gubuk kecil yang gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu minyak yang kadang redup tertiup angin malam.
Beberapa saat aku ngobrol dalam gubuk itu bersama 5 orang yang ikut dalam ritual itu. Aku sendiri ditemani seorang saudaraku yang ingin ikut menyaksikan ritual itu. Selama kami ngobrol, aku merasakan banyak getaran gaib yang menyelimuti tempat keramat itu. Aku yakin tempat itu pasti dihuni oleh banyak makhluk halus yang tak kasat mata. Dan setelah ngalor ngidul kami ngobrol akhirnya waktu yang telah ditentukan untuk menggelar ritual itu pun tiba.
Pukul 11 malam, Mas Wisnu mulai memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan segala sesajian yang kami bawa. Berbagai uborampe digelar dalam cungkup yang luasnya sekitar 10 meter persegi itu. Kembang setaman digelar di atas sehelai kain putih. Perapian mulai dibakar dan sesaat kemudian api mulai menyala membakar arang dalam bokor tembaga. Beberapa batang hio mulai mengepulkan asap yang baunya khas menusuk hidung. Terakhir Mas Wisnu mencabut sebuah keris yang bernama Omyang Jimbe. Keris itu berdiri tegak di atas sehelai kain putih di depan sesajian.
Ritual itu mulai digelar, aku duduk bersila di belakang Mas Wisnu. Berjejer di samping kiriku adalah saudaraku dan seorang anak buah Mas Wisnu. Lalu di samping kananaku dua orang lain yang diajak Mas Wisnu. Segala syarat perlengkapan untuk memanggil kekuatan gaib keris Omyang Jimbe telah siap digelar. Asap hio dan kemenyan pun telah mengepul sejak beberapa menit lalu. Memanggil segala jenis makhluk halus untuk memberi kekuatan pada ritual itu.
Tepat tengah malam, Mas Wisnu mulai membacakan mantera dan jampi-jampi yang aku tak mengerti. Beberapa bait mantera dan jampe-jampe dari bahasa Jawa kuno meluncur dari mulutnya. Sebelum itu Mas Wisnu juga membacakan beberapa Ayat Suci Al Qur’an, maksudnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada para peserta ritual. Sebab menurutnya di tempat seperti itu resiko gangguan makhluk halus pasti sangat besar.
Setelah pembacaan mantera itu selesai, lalu Mas Wisnu memerintahkan seorang asistennya yang masih sangat muda untuk duduk di depan sesajian itu. Sesaat kemudian asisstennya yang masih anak muda itu menutupi sebuah kardus dengan kain putih. Kemudian dia pun membacakan beberapa ayat Suci Al Qur’an sambil duduk bersila di depan sesajian dan kardus itu.
Suasana mulai terasa mencekam manakala anak muda itu usai membacakan manteranya. Bulu kuduku terasa lebih merinding dibandingkan beberapa saat lalu. Aku merasa seperti ada makhluk halus yang tengah memperhatikan gerak-gerikku. Mataku mulai melirik ke kiri dan ke kanan memperhatikan seluruh ruangan cungkup itu. Tapi tak ada apapun di sana, hanya kegelapan malam yang kulihat. Sesekali aku mendengar suara burung hantu dan binatang malam yang membuat suasana makin mengerikan. Aku yakin di situ pasti ada makhluk halus yang tengah memperhatikanku. Aku merasakan itu karena hampir seluruh bulu dalam tubuhku berdiri. Dadaku pun berdebar makin keras. Naluriku memastikan ada makhluk lain yang ikut dalam ritual itu.
Sedang diliputi rasa takut itu, tiba-tiba blaaarrrr. Kardus yang ditutup kain putih itu seperti meledak menimbulkan suara gaduh. Jantungku seperti mau copot, aku kaget bukan kepalang hingga posisi duduku berubah sedikit mundur bahkan nyaris lari lantaran kaget dan rasa takut.
“Tenang-tenang. Tidak ada apa-apa. Itu hanya sebuah pertanda bahwa ritual kita direstui gaib dan kita nyaris berhasil,” ujar Mas Wisnu manakala melihat keadaanku yang sangat ketakutan.
“Tetap konsentrasi dan jangan bertindak yang bukan-bukan,” lanjutnya.
Sesaat kemudian Mas Wisnu mengambil alih ritual dari anak muda itu. Kembali Mas Wisnu membacakan beberapa bait mantera sambil menaburkan kemenyan ke atas bokor yang arangnya masih terlihat membara merah. Tak seorang pun yang berani membuka mulut, suasana makin hening mencekam.
“Nah, ritual ini telah selesai. Mari kita lihat apa yang ada dalam kardus itu,” tiba-tiba Mas Wisnu bersuara sambil menunjuk kardus yang tertutup kain putih.
“Silahkan buka kardus itu, Mas Yogi,” tuturnya sambil menatap ke arahku. “Atau kalau sampeyan takut, biar aku saja yang membukanya,” lanjutnya melihat aku yang nampak ragu dan ketakutan.
“Silahkan, mas saja yang membukanya,” jawabku singkat.
Perlahan Mas Wisnu mulai menyingkap kain putih yang menutupi kardus itu. Dadaku masih berdebar, benakku terus bertanya-tanya apa yang ada dalam kardus kosong itu. Sesekali aku bisa melihat raut wajah Mas Wisnu yang nampak was-was. Entah apa yang ada dalam benak lelaki itu. Tapi sedetik kemudian, raut wajah Mas Wisnu nampak berubah. Ada rasa sumringah tatkala dia mulai membuka tutup kardus itu.
“Alhamdulillah, ternyata ritual kita dikabulkan. Silahkan lihat apa isi kardus ini,” tutur Mas Wisnu dengan senyum penuh kebahagiaan.
Dan betapa terkejutnya aku manakala melihat apa yang ada dalam kardus itu. Setumpuk uang pecahan seratus ribuan memenuhi kardus itu. Dengan penuh kebahagiaan dan rasa tak percaya, aku mengambil segepok uang itu. Setelah kuperhatikan, ternyata benar itu adalah uang yang selama ini aku dambakan untuk melunasi hutang-hutangku.
“Ingat Mas Yogi, pertama kali yang sampeyan lakukan dengan uang ini adalah membayar hutang. Jika hutangmu sudah lunas semua, maka sisanya boleh digunakan untuk apapun,” jelas Mas Wisnu mengingatkanku.
Yah, singkat cerita, kami pulang dengan membawa hasil yang kami harapkan. Dengan uang itu aku membayar seluruh hutangku pada para pengrajin di Tasikmalaya. Aku juga melunasi hutang-hutang kecilku pada teman-teman dan tetangga yang telah membantuku. Anehnya uang itu memang hanya cukup untuk membayar hutang. Hanya tersisa tak lebih dari 2 juta saja dari sisa pembayaran hutang-hutangku itu. Tapi syukur, aku bisa melunasi hutang-hutangku meski kini aku harus mulai kembali usahaku dari nol.