MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Demi Uang Milyaran Aku Rela Kawin dengan Genderowo.

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.


Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!

Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.

Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,  ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.

Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.

Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.

Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.

Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.

Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.

Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini memilih pindah sekolah.

Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.

Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.

Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?

Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.

Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.

Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama  untuk pendidikannya.

Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.

Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.

Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke rumahnya.

Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah menurut ukuranku.

“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.

Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.

Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera menyambung penjelasannya.

“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”

Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.

Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”

“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.

“Kau harus kawin dengan genderuwo!”

Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?

Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”

Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.

Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan genderuwo itu.

Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.

Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.

Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.

Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung mendapatkannya!”

Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?

Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.

Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.

Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.

Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.

Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarku.

Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.

Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah membohongiku?

Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu kekuatan gaib.

Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.

Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.

“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.

Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja hilang kesadaran.

Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”

Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.

Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.

“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”

Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.

Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.

“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.

Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesusahan hidup….

Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.

“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.

Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.

Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.

Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….

Demi Uang Milyaran Aku Rela Kawin dengan Genderowo.

Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali lagi, ia melakukannya demi masa depan  kedua anaknya yang telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya.


Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!

Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo, seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan sangat menyayangi ketiga anaknya.

Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,  ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah kepahitan itu berawal.

Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri. Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua, terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi. Kenyataan tetap berbicara lain.

Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan penangangan gawat darurat.

Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit Bambang.

Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.

Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya, sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.

Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri, bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini memilih pindah sekolah.

Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa. Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri. Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi jiwaku masih sangat labil.

Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6 sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.

Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan?

Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.

Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.

Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama  untuk pendidikannya.

Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu. Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu, ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak cantik sekali dengan balutan busana muslimah.

Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin sering kali aku yang mentraktirnya.

Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku. Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke rumahnya.

Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja. Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah menurut ukuranku.

“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.

Yuliana tersenyum  sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.

Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera menyambung penjelasannya.

“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula, sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak. Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”

Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.

Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno. Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan mempercayainya?”

“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.

“Kau harus kawin dengan genderuwo!”

Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?

Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif! Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak, Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa menjalankan ibadah.”

Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga sudah berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang merongrong tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan kuliah sampai ke perguruan tinggi.

Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu ritual kawin dengan genderuwo itu.

Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo. Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.

Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi, penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi, dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus penghulunya.

Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.

Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung mendapatkannya!”

Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?

Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu, setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang lebih dari mencukupi.

Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.

Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan gerah.

Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.

Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku, antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam kamarku.

Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan pakaian walau sehelai benang pun.

Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal, Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar sudah membohongiku?

Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh suatu kekuatan gaib.

Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan pipi, hidung, bibir dan daguku.

Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha mengangkangkannya.

“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga dadaku.

Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir saja hilang kesadaran.

Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”

Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.

Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.

“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”

Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam dinding.

Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.

“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.

Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan menanggung kesusahan hidup….

Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.

“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar penjelasan Yulianah.

Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku. Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi terhadap diriku.

Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang, tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku dan menagih malam pertamanya padaku.

Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat memberikan solusi yang terbaik bagiku….

Sate Gagak Bisa Jadi Duit Milyaran

Mendapatkan uang gaib melalui media sate gagak merupakan ciri khas ilmu pesugihan Dewi Lanjar. Dikisahkan, sosok gaib Dewi Lanjar memiliki kekayaan melimpah, berupa harta emas lantakan dan tumpukan uang yang tak terhitung nilainya. Uniknya, mata uang yang dimiliki Dewi Lanjar ini mengikuti mata uang yang berlaku di alam manusia. Konon, mata uang rupiah, dollar Amerika, dollar Singapura, Ringgit Malaysia, dll, terdapat dalam tumpukan uang yang dimiliki Dewi Lanjar.


Itulah sebabnya banyak orang yang berupaya mendapatkan uang gaib tersebut. Mata uang yang diinginkan tergantung peminatnya, asalkan syarat yang diminta Dewi Lanjar dapat dipenuhi, yaitu sate gagak.

Sepintas mudah saja menyediakan sate gagak. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Itulah yang dialami Amin (48 tahun).

“Pengalaman yang saya alami sangat menakutkan. Bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa. Sebaiknya jangan coba-coba mengikutinya,” kenang Amin yang menetap di Kampung Pekalipan, Cirebon.

“Bagaimana kisah itu terjadi?” Tanya Misteri.

“Awalnya kami ingin membuktikan uang gaib. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya. Tetapi teman saya mengatakan ada seorang kyai di Banyumas, Jawa Tengah, yang memiliki kemampuan mendatangkan uang gaib,” kata Amin.

Selanjutnya dikisahkan, Amin bersama delapan orang temannya menemui Kyai Rozykin di Banyumas. Mereka mengutarakan niatnya mendapatkan uang gaib.

Ketika itu Kyai Rozykin hanya tersenyum mendengarnya.

“Apa kalian sudah mantap dengan niat itu? Apa tidak takut dengan resiko yang dihadapi?” Tanya Kyai Rozykin.

Tentu saja semuanya menjawab mantap dan siap dengan resikonya.  Niat itu sudah bulat dan tidak mungkin diubah lagi.

“Baiklah. Siapkan seekor burung gagak. Nanti kita lihat apa yang terjadi,” ujar Kyai Rozykin.

Beberapa hari kemudian, Kyai Rozykin bersama sembilan orang itu berangkat menuju pasar burung di Plered, Cirebon.

Nasib mereka mujur. Burung gagak berwarna hitam kelam berhasil diperoleh dengan harga 250.000 rupiah seekor.

Bahas Rencana

Pada hari yang telah ditentukan, mereka berkumpul di rumah rekan Amin membahas rencana semula.

“Berapa uang yang kalian inginkan?” Tanya Kyai Rozykin yang memimpin acara itu.

Amin dan teman-temannya bingung mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu.

“Lho! Kalian bagaimana? Ingin mendapatkan uang gaib tapi tidak tahu jumlahnya,” kata Kyai Rozykin kesal.

“Lima belas milyar,” ujar rekan Amin memecah keheningan.

“Rupiah, dollar, ringgit…” Kyai Rozykin menyambung cepat.

“Rupiah,” serentak jawaban keluar dari sembilan orang yang sedang bermimpi menjadi kaya tanpa susah payah.

“Baiklah. Burung gagak itu kalian potong dan siapkan 15 tusuk sate. Lalu siapa yang akan berjualan sate gagaknya?” Tanya Kyai Rozykin.

Amin dan temannya hanya terbengong mendengar pertanyaan itu.

“Apa maksud Kyai?”

“Salah seorang diantara kalian bertugas menjual 15 tusuk sate gagak. Apabila ada yang datang membeli, jangan berikan sate itu sebelum sang pembeli membayar 1 milyar untuk satu tusuk sate,” Kyai Rozykin menjelaskan.

“Siapapun yang berjualan harus memastikan pembeli menyediakan uang sebanyak yang kalian inginkan. Kalian juga harus membawa selembar uang seratus ribu sebagai contoh. Katakan pada pembeli agar menyediakan uang seperti uang yang kalian bawa itu,” lanjut Kyai Rozykin.

Kesembilan orang itu tersenyum mendengar penuturan Kyai Rozykin. Tampaknya tidak terlalu sulit mendapatkan uang bermilyar-milyar rupiah. Tetapi mereka serentak diam, ketika Kyai Rozykin bertanya siapa yang akan bertugas menjadi penjual sate gagak.

Terjadilah perdebatan. Mereka saling tunjuk siapa yang akan menjadi penjual. Setelah disepakati, Amin dipilih mengambil tugas itu.

Kyai Rozykin lalu memanggil Amin untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan saat berjualan.

“Kamu harus berani dan jangan gentar. Ingat, dalam dunia gaib, justru penjual yang menjadi raja dan bukan pembeli,” nasihat Kyai Rozykin.

Memang terdengar aneh. Bisnis manusia jelas mengatakan pembeli adalah raja. Sementara di alam gaib sebaliknya, penjual adalah raja.

Jualan Sate Gagak

Pada malam Jumat, sekitar pukul 21.00 malam, menggunakan mobil mereka menuju tempat yang dipilih berjualan sate. Lokasinya di muara sungai Kalijaga, persis di tepi laut.

Seorang diri Amin berjalan ke arah lokasi tersebut sambil membawa 15 tusuk sate gagak dan peralatan untuk membakar sate. Lokasi tersebut dipenuhi pepohonan lebat dan alang-alang. Sambil berjalan, Amin harus membabat alang-alang dengan sebilah parang. Sekitar 1 meter dari tepi laut, Amin membersihkan tempat yang akan digunakan berjualan. Setelah itu dia mulai membakar satu persatu sate yang dipersiapkan.

Sementara itu, posisi Kyai Rozykin dan teman-temannya berada  di dekat mobil yang berjarak sekitar 500 meter dari Amin. Kyai Rozykin melakukan ritual dekat mobil tersebut.

Tepat jam 22.00 malam, 15 tusuk sate yang dibakar sudah matang dan siap dijual. Aroma daging terbakar menyeruak ke segala arah.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin berteriak-teriak seolah memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin sambil mengacung-acungkan satenya.

Tampaknya belum ada yang datang membeli. Amin mulai didera rasa takut. Suasana malam terasa mencekam. Debur ombak dan desiran angin mendirikan bulu roma. Pada saat itu, Amin membaca doa-doa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Amin tersentak kaget mendengar suara petir yang keras. Kilatan petir bahkan berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin. Kilatan petir terasa menyambar kepala, hingga secara refleks menunduk menghindarinya.

Belum hilang rasa kaget mendengar petir, tiba-tiba seekor burung hantu terbang berputar-putar. Amin yang tangan kanannya masih memegang sate gagak langsung saja mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak. Sementara tangan kirinya memegang selembar uang seratus ribu rupiah.

“Sate gagak… sate gagak…siapa mau beli,” teriak Amin dengan suara parau.

Burung hantu itu hinggap pada sebatang pohon sekitar 10 meter darinya. Matanya menatap tajam. Amin balas menatapnya sambil terus berteriak-teriak menawarkan sate gagak.

Burung hantu itu lalu turun di tanah dan mulai berjalan mendekat. Tetapi tiba-tiba saja burung itu terlempar menjauh sambil mengeluarkan suara keras.

Amin terkejut melihat kejadian itu. Tapi dia tidak mengerti apa yang terjadi.

Sambil membakar sate gagak agar aroma daging tetap menyebar, Amin terus berteriak-teriak memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak…sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin.

Entah darimana datangnya, Amin tersentak melihat sosok gaib berujud manusia setengah badan muncul dari semak-semak belukar.

Sosok gaib itu hanya terlihat dari dada ke atas. Bagian perut dan kakinya tidak ada. Sosok gaib itu berambut gondrong, berwajah seram dan mata merah menyala. Seperti melayang, sosok itu mendekati Amin.

Anehnya, sosok itu berhenti 10 meter di depan Amin. Makhluk dari bangsa jin itu menatap tajam dengan mulut seolah sedang berbicara.

“Sate gagak…sate gagak….sate gagak. Ayo beli sate gagak. Murah…satu milyar untuk satu tusuk sate gagak,” kata Amin berteriak sambil mengacungkan sate gagak di tangan kanan dan uang seratus ribu di tangan kiri. Amin berharap makhluk gaib itu datang mendekatinya dan membeli sate gagak.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin harus menunjukkan sate gagak itu kepada pembeli. Apabila sang pembeli berminat, maka Amin harus pula menyodorkan uang seratus ribu rupiah untuk pembayarannya.

Tetapi Amin heran melihat sosok setengah badan itu tidak juga mendekat. Padahal ekspresi wajah gaib itu terlihat berminat membeli sate.

Amin tidak menyerah. Dia terus berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Agaknya pancingan ini berhasil, sosok gaib itu bergerak mendekatinya.

Tiba-tiba sosok gaib itu mengeluarkan suara lengkingan keras disertai kobaran api. Sosok gaib itu terbakar dan kemudian lenyap.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin.  Dia heran mengapa makhluk itu terbakar.

Buaya Putih

Tetapi Amin tetap bertahan. Keinginannya mendapatkan uang gaib sudah bulat. Apapun yang terjadi. Amin memang kesal dengan teman-temannya yang memilihnya berjualan sate. Sementara mereka asyik duduk di mobil menunggu perkembangan. Pada saat itu Amin tidak menyadari rekan-rekannya di dalam mobil lari kocar-kacir akibat mobil tersebut diguncang-guncang keras sejumlah sosok gaib hingga terperosok ke dalam parit. Bahkan Kyai Rozykin pun lari ketakutan.

Sekitar pukul 02.00 pagi, Amin melihat pemandangan aneh. Dua buah perahu melaju pelan dari arah muara sungai Kalijaga. Semakin lama perahu itu mendekati posisi duduknya yang hanya berjarak 1 meter dari tepi laut.

Amin mengamati kedua perahu itu. Aneh, tidak ada seorang pun di dalam perahu. Tetapi Amin dengan sangat jelas melihat beberapa tumpukan karung di dalam perahu.

“Apa isi karung-karung itu? Pikir Amin. Setelah Amin menghitung, ternyata jumlah karung itu ada 15.

“Apakah karung-karung itu berisi uang 15 milyar? Tetapi mengapa perahu itu terus berjalan dan tidak berhenti?” Tanya Amin dalam hati.

Kedua perahu itu berjalan di muara sungai dan menuju laut lepas. Deburan ombak seketika melenyapkan perahu itu.

Amin mulai pesimis sate gagak yang dijualnya akan laku. Tetapi dia belum mau beranjak pulang sebelum kedatangan sosok gaib Dewi Lanjar. Dia masih menunggu putri dari bangsa jin yang sangat kaya itu.

Menjelang pukul 03.00 pagi, Amin dikejutkan kedatangan seekor buaya putih berukuran raksasa. Lebar badan buaya itu sekitar 2 meter, dengan panjang hampir 15 meter.

Buaya berbadan besar itu muncul dari dalam sungai dan berjalan terseok-seok mendekatinya.

“Sate gagak…sate gagak. Ayo beli sate gagak,” teriak Amin sambil menatap ke arah buaya yang berjarak sekitar 10 meter. Kali ini, tubuh Amin gemetar. Dia khawatir buaya itu akan memangsa dirinya dan bukan sate gagak yang dipegangnya.

Lagi-lagi kejadian yang sama terulang. Buaya yang mendekatinya itu terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya melayang dan terhempas di permukaan sungai. Suaranya keras menggelegar.

“Astaghfirullah,”teriak Amin.

Beberapa saat kemudian, muncul lagi buaya besar dan berjalan mendekatinya. Tetapi buaya itu kembali terhempas di permukaan sungai.

Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang dialami hingga fajar menyingsing.

Amin berkemas meninggalkan lokasi berjualan dan berjalan menuju temannya menunggu di mobil.

Dia heran melihat teman-temannya sibuk mendorong mobil yang terperosok di parit.

“Apa yang terjadi?” Tanya Amin.

Seorang temannya mengatakan, mobil itu diguncang-guncang sosok tak kasat mata hingga terperosok di parit. Beruntung tidak terlalu membahayakan. Mobil pun dikeluarkan dari parit hingga mereka dapat pulang.

Dalam perjalanan pulang, Kyai Rozykin bertanya kepada Amin seputar pengalaman yang dialami.

Setelah mendengar cerita Amin, Kyai Rozykin tersenyum.

“Tentu saja sate gagak itu tidak laku. Sepanjang berjualan kamu terus melantunkan zikir di dalam hati. Dewi Lanjar takut dan tidak berani mendekat,” kata Kyai Rozykin yang mengaku baru pertama kali ini gagal mendatangkan uang gaib.

Menutup kisahnya kepada Misteri, Amin berkata,

“Ini pelajaran buat saya bahwa mendatangkan uang gaib itu perbuatan batil. Buktinya makhluk gaib itu takut dengan bacaan zikrullah.”

Sate Gagak Bisa Jadi Duit Milyaran

Mendapatkan uang gaib melalui media sate gagak merupakan ciri khas ilmu pesugihan Dewi Lanjar. Dikisahkan, sosok gaib Dewi Lanjar memiliki kekayaan melimpah, berupa harta emas lantakan dan tumpukan uang yang tak terhitung nilainya. Uniknya, mata uang yang dimiliki Dewi Lanjar ini mengikuti mata uang yang berlaku di alam manusia. Konon, mata uang rupiah, dollar Amerika, dollar Singapura, Ringgit Malaysia, dll, terdapat dalam tumpukan uang yang dimiliki Dewi Lanjar.


Itulah sebabnya banyak orang yang berupaya mendapatkan uang gaib tersebut. Mata uang yang diinginkan tergantung peminatnya, asalkan syarat yang diminta Dewi Lanjar dapat dipenuhi, yaitu sate gagak.

Sepintas mudah saja menyediakan sate gagak. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Itulah yang dialami Amin (48 tahun).

“Pengalaman yang saya alami sangat menakutkan. Bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa. Sebaiknya jangan coba-coba mengikutinya,” kenang Amin yang menetap di Kampung Pekalipan, Cirebon.

“Bagaimana kisah itu terjadi?” Tanya Misteri.

“Awalnya kami ingin membuktikan uang gaib. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya. Tetapi teman saya mengatakan ada seorang kyai di Banyumas, Jawa Tengah, yang memiliki kemampuan mendatangkan uang gaib,” kata Amin.

Selanjutnya dikisahkan, Amin bersama delapan orang temannya menemui Kyai Rozykin di Banyumas. Mereka mengutarakan niatnya mendapatkan uang gaib.

Ketika itu Kyai Rozykin hanya tersenyum mendengarnya.

“Apa kalian sudah mantap dengan niat itu? Apa tidak takut dengan resiko yang dihadapi?” Tanya Kyai Rozykin.

Tentu saja semuanya menjawab mantap dan siap dengan resikonya.  Niat itu sudah bulat dan tidak mungkin diubah lagi.

“Baiklah. Siapkan seekor burung gagak. Nanti kita lihat apa yang terjadi,” ujar Kyai Rozykin.

Beberapa hari kemudian, Kyai Rozykin bersama sembilan orang itu berangkat menuju pasar burung di Plered, Cirebon.

Nasib mereka mujur. Burung gagak berwarna hitam kelam berhasil diperoleh dengan harga 250.000 rupiah seekor.

Bahas Rencana

Pada hari yang telah ditentukan, mereka berkumpul di rumah rekan Amin membahas rencana semula.

“Berapa uang yang kalian inginkan?” Tanya Kyai Rozykin yang memimpin acara itu.

Amin dan teman-temannya bingung mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu.

“Lho! Kalian bagaimana? Ingin mendapatkan uang gaib tapi tidak tahu jumlahnya,” kata Kyai Rozykin kesal.

“Lima belas milyar,” ujar rekan Amin memecah keheningan.

“Rupiah, dollar, ringgit…” Kyai Rozykin menyambung cepat.

“Rupiah,” serentak jawaban keluar dari sembilan orang yang sedang bermimpi menjadi kaya tanpa susah payah.

“Baiklah. Burung gagak itu kalian potong dan siapkan 15 tusuk sate. Lalu siapa yang akan berjualan sate gagaknya?” Tanya Kyai Rozykin.

Amin dan temannya hanya terbengong mendengar pertanyaan itu.

“Apa maksud Kyai?”

“Salah seorang diantara kalian bertugas menjual 15 tusuk sate gagak. Apabila ada yang datang membeli, jangan berikan sate itu sebelum sang pembeli membayar 1 milyar untuk satu tusuk sate,” Kyai Rozykin menjelaskan.

“Siapapun yang berjualan harus memastikan pembeli menyediakan uang sebanyak yang kalian inginkan. Kalian juga harus membawa selembar uang seratus ribu sebagai contoh. Katakan pada pembeli agar menyediakan uang seperti uang yang kalian bawa itu,” lanjut Kyai Rozykin.

Kesembilan orang itu tersenyum mendengar penuturan Kyai Rozykin. Tampaknya tidak terlalu sulit mendapatkan uang bermilyar-milyar rupiah. Tetapi mereka serentak diam, ketika Kyai Rozykin bertanya siapa yang akan bertugas menjadi penjual sate gagak.

Terjadilah perdebatan. Mereka saling tunjuk siapa yang akan menjadi penjual. Setelah disepakati, Amin dipilih mengambil tugas itu.

Kyai Rozykin lalu memanggil Amin untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan saat berjualan.

“Kamu harus berani dan jangan gentar. Ingat, dalam dunia gaib, justru penjual yang menjadi raja dan bukan pembeli,” nasihat Kyai Rozykin.

Memang terdengar aneh. Bisnis manusia jelas mengatakan pembeli adalah raja. Sementara di alam gaib sebaliknya, penjual adalah raja.

Jualan Sate Gagak

Pada malam Jumat, sekitar pukul 21.00 malam, menggunakan mobil mereka menuju tempat yang dipilih berjualan sate. Lokasinya di muara sungai Kalijaga, persis di tepi laut.

Seorang diri Amin berjalan ke arah lokasi tersebut sambil membawa 15 tusuk sate gagak dan peralatan untuk membakar sate. Lokasi tersebut dipenuhi pepohonan lebat dan alang-alang. Sambil berjalan, Amin harus membabat alang-alang dengan sebilah parang. Sekitar 1 meter dari tepi laut, Amin membersihkan tempat yang akan digunakan berjualan. Setelah itu dia mulai membakar satu persatu sate yang dipersiapkan.

Sementara itu, posisi Kyai Rozykin dan teman-temannya berada  di dekat mobil yang berjarak sekitar 500 meter dari Amin. Kyai Rozykin melakukan ritual dekat mobil tersebut.

Tepat jam 22.00 malam, 15 tusuk sate yang dibakar sudah matang dan siap dijual. Aroma daging terbakar menyeruak ke segala arah.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin berteriak-teriak seolah memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin sambil mengacung-acungkan satenya.

Tampaknya belum ada yang datang membeli. Amin mulai didera rasa takut. Suasana malam terasa mencekam. Debur ombak dan desiran angin mendirikan bulu roma. Pada saat itu, Amin membaca doa-doa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Amin tersentak kaget mendengar suara petir yang keras. Kilatan petir bahkan berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin. Kilatan petir terasa menyambar kepala, hingga secara refleks menunduk menghindarinya.

Belum hilang rasa kaget mendengar petir, tiba-tiba seekor burung hantu terbang berputar-putar. Amin yang tangan kanannya masih memegang sate gagak langsung saja mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak. Sementara tangan kirinya memegang selembar uang seratus ribu rupiah.

“Sate gagak… sate gagak…siapa mau beli,” teriak Amin dengan suara parau.

Burung hantu itu hinggap pada sebatang pohon sekitar 10 meter darinya. Matanya menatap tajam. Amin balas menatapnya sambil terus berteriak-teriak menawarkan sate gagak.

Burung hantu itu lalu turun di tanah dan mulai berjalan mendekat. Tetapi tiba-tiba saja burung itu terlempar menjauh sambil mengeluarkan suara keras.

Amin terkejut melihat kejadian itu. Tapi dia tidak mengerti apa yang terjadi.

Sambil membakar sate gagak agar aroma daging tetap menyebar, Amin terus berteriak-teriak memanggil pembeli.

“Sate gagak….sate gagak…sate gagak. Siapa mau beli,” teriak Amin.

Entah darimana datangnya, Amin tersentak melihat sosok gaib berujud manusia setengah badan muncul dari semak-semak belukar.

Sosok gaib itu hanya terlihat dari dada ke atas. Bagian perut dan kakinya tidak ada. Sosok gaib itu berambut gondrong, berwajah seram dan mata merah menyala. Seperti melayang, sosok itu mendekati Amin.

Anehnya, sosok itu berhenti 10 meter di depan Amin. Makhluk dari bangsa jin itu menatap tajam dengan mulut seolah sedang berbicara.

“Sate gagak…sate gagak….sate gagak. Ayo beli sate gagak. Murah…satu milyar untuk satu tusuk sate gagak,” kata Amin berteriak sambil mengacungkan sate gagak di tangan kanan dan uang seratus ribu di tangan kiri. Amin berharap makhluk gaib itu datang mendekatinya dan membeli sate gagak.

Sebagaimana petunjuk Kyai Rozykin, Amin harus menunjukkan sate gagak itu kepada pembeli. Apabila sang pembeli berminat, maka Amin harus pula menyodorkan uang seratus ribu rupiah untuk pembayarannya.

Tetapi Amin heran melihat sosok setengah badan itu tidak juga mendekat. Padahal ekspresi wajah gaib itu terlihat berminat membeli sate.

Amin tidak menyerah. Dia terus berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Agaknya pancingan ini berhasil, sosok gaib itu bergerak mendekatinya.

Tiba-tiba sosok gaib itu mengeluarkan suara lengkingan keras disertai kobaran api. Sosok gaib itu terbakar dan kemudian lenyap.

“Astaghfirullah,” teriak Amin dalam batin.  Dia heran mengapa makhluk itu terbakar.

Buaya Putih

Tetapi Amin tetap bertahan. Keinginannya mendapatkan uang gaib sudah bulat. Apapun yang terjadi. Amin memang kesal dengan teman-temannya yang memilihnya berjualan sate. Sementara mereka asyik duduk di mobil menunggu perkembangan. Pada saat itu Amin tidak menyadari rekan-rekannya di dalam mobil lari kocar-kacir akibat mobil tersebut diguncang-guncang keras sejumlah sosok gaib hingga terperosok ke dalam parit. Bahkan Kyai Rozykin pun lari ketakutan.

Sekitar pukul 02.00 pagi, Amin melihat pemandangan aneh. Dua buah perahu melaju pelan dari arah muara sungai Kalijaga. Semakin lama perahu itu mendekati posisi duduknya yang hanya berjarak 1 meter dari tepi laut.

Amin mengamati kedua perahu itu. Aneh, tidak ada seorang pun di dalam perahu. Tetapi Amin dengan sangat jelas melihat beberapa tumpukan karung di dalam perahu.

“Apa isi karung-karung itu? Pikir Amin. Setelah Amin menghitung, ternyata jumlah karung itu ada 15.

“Apakah karung-karung itu berisi uang 15 milyar? Tetapi mengapa perahu itu terus berjalan dan tidak berhenti?” Tanya Amin dalam hati.

Kedua perahu itu berjalan di muara sungai dan menuju laut lepas. Deburan ombak seketika melenyapkan perahu itu.

Amin mulai pesimis sate gagak yang dijualnya akan laku. Tetapi dia belum mau beranjak pulang sebelum kedatangan sosok gaib Dewi Lanjar. Dia masih menunggu putri dari bangsa jin yang sangat kaya itu.

Menjelang pukul 03.00 pagi, Amin dikejutkan kedatangan seekor buaya putih berukuran raksasa. Lebar badan buaya itu sekitar 2 meter, dengan panjang hampir 15 meter.

Buaya berbadan besar itu muncul dari dalam sungai dan berjalan terseok-seok mendekatinya.

“Sate gagak…sate gagak. Ayo beli sate gagak,” teriak Amin sambil menatap ke arah buaya yang berjarak sekitar 10 meter. Kali ini, tubuh Amin gemetar. Dia khawatir buaya itu akan memangsa dirinya dan bukan sate gagak yang dipegangnya.

Lagi-lagi kejadian yang sama terulang. Buaya yang mendekatinya itu terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya melayang dan terhempas di permukaan sungai. Suaranya keras menggelegar.

“Astaghfirullah,”teriak Amin.

Beberapa saat kemudian, muncul lagi buaya besar dan berjalan mendekatinya. Tetapi buaya itu kembali terhempas di permukaan sungai.

Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang dialami hingga fajar menyingsing.

Amin berkemas meninggalkan lokasi berjualan dan berjalan menuju temannya menunggu di mobil.

Dia heran melihat teman-temannya sibuk mendorong mobil yang terperosok di parit.

“Apa yang terjadi?” Tanya Amin.

Seorang temannya mengatakan, mobil itu diguncang-guncang sosok tak kasat mata hingga terperosok di parit. Beruntung tidak terlalu membahayakan. Mobil pun dikeluarkan dari parit hingga mereka dapat pulang.

Dalam perjalanan pulang, Kyai Rozykin bertanya kepada Amin seputar pengalaman yang dialami.

Setelah mendengar cerita Amin, Kyai Rozykin tersenyum.

“Tentu saja sate gagak itu tidak laku. Sepanjang berjualan kamu terus melantunkan zikir di dalam hati. Dewi Lanjar takut dan tidak berani mendekat,” kata Kyai Rozykin yang mengaku baru pertama kali ini gagal mendatangkan uang gaib.

Menutup kisahnya kepada Misteri, Amin berkata,

“Ini pelajaran buat saya bahwa mendatangkan uang gaib itu perbuatan batil. Buktinya makhluk gaib itu takut dengan bacaan zikrullah.”