Goa Langse terletak di kaki tebing Pantai Parangtritis. Walau medannya sulit dijangkau namun banyak peziarah yang menantang maut untuk mendatanginya.Salah satunya adalah Gino. gara-gara suka judi dan main perempuan, pria asal Bantul, Yogyakarta ini usahanya bangkrut.
Karena prilaku suaminya yang sudah keterlaluan Marni, istri Gino, memilih kembali ke rumah orang tuanya dengan memboyong anak mereka yang masih balita. ”Aku tak tahan hidup serumah dengan penjudi dan suka selingkuh. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku.” Demikian salah sebagian isi surat Marni yang ditinggalkannya di meja makan.
Ketika membaca surat ini, batin Gino tergetar. Dia merasa sangat kehilangan marni dan anaknya yang sedang lucu-lucunya itu. Gino ingin menjemput Marni dan anaknya. Namun, dia belum punya nyali untuk menyusul istrinya ke rumah mertuanya di Plered, Bantul. Apalagi keadaan dirinya sekarang sudah boleh dikatakan bangkrut total. Mobil dan barang-barang berharga yang dulu dipunyainya telah habis terjual untuk membayar utang-utangnya. Bahkan sertifikat tanahnya juga telah digadaikan, itu saja belum bisa melunasi semua utangnya. Ini semua karena kebiasaan buruk yang senang menghambur-hamburkan uang di meja judi dan main perempuan jalang.
“Aku ingin menyepi di Goa Langse untuk menenangkan diri dulu. Mudah-mudahan bisa kutemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang membelitku sekarang ini,” kata Gino pada Wahyu, sahabatnya.
Mendengar niatan sahabatnya ini Wahyu hanya mengangguk-anggukan kepalanya, karena sebagai pegawai negeri sipil golongan IIA tentu dia tidak bisa banyak membantu persoalan yang membelit kehidupan Gino. Bahkan, untuk menghidupi keluarganya sehari-hari saja boleh dikatakan sudah sangat pas-pasan.
Gua Langse yang banyak orang mengatakan sebagai gua milik penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul, ini sejak dulu memang dikenal sebagai tempat untuk bertapa. Dr Hermanus Johanes de Graff, sejarahwan Belanda yang mengkhususkan pada pengkajian Tanah Jawa dalam buku-bukunya, menyebutkan kalau di goa inilah dulu Sunan Kalijaga sering bertapa. Demikian juga halnya dengan Syech Siti Jenar. Bahkan, para raja Mataram, seperti Panembahan Senopati dan Sultan Agung Hanyakrakusuma sering memanfaatkan tempat ini untuk bermeditasi, terutama kalau mereka tengah menghadapi berbagai persoalan kerajaan yang cukup berat.
Karena pernah jadi tempat bermeditasi para tokoh besar, maka sampai saat ini banyak warga masyarakat yang datang ke Goa Langse untuk bertapa. Tujuannya macam-macam. Dari sekadar untuk menenangkan diri, mencari wangsit, sampai ingin mencari kekayaan dengan cara yang sebenarnya tidak dibenarkan oleh agama. Pesugihan!
Bagaimana dengan kisah Gino selanjutnya?
“Hati-hati ya, Gin. Jangan berbuat macam-macam apalagi mau bunuh diri!” pesan Wahyu saat mengantarkan Gino menuju tebing menuju Gua Langse. Wahyu merasa ngeri saat dari tebing dengan ketinggian 400 meter dan nyaris tegak lurus itu, Gino mulai menuruni tangga bambu menuju goa. Di kanan kirinya tampak banyak akar dan batuan yang menonjol, sedangkan di bawah batu-batu cadas ada ombak laut selatan yang ganas, siap melahap mereka yang karena kurang hati-jhati dalam meniti tangga dari bambu itu, lalu terlempar oleh gravitasi bumi.
Namun, tampaknya Gino sudah mantap hatinya. Dia ingin mencari ketenangan di gua itu. Sampai kapan dia akan melakukan ini, dia sendiri tak tahu. Bahkan, dalam hati dia berjanji, kalau belum merasa tenang, dia tidak akan terus bertapa.
Gino selamat meniti tangga bamboo itu. Setelah makan dan minum sebagian bekal yang dia bawa dari rumah, dia kemudian menuju telaga yang ada di ujung goa. Selain untuk mencuci tangan, dia ingin membasuhi muka dan mengguyuri rambutnya dengan air dari mata air yang juga dikeramatkan tersebut. Rasanya segar.
Setelah itu dia mencari tempat untuk menyepi.
Saat mengawali bertapa, dia masih mendengar gelegar ombak Laut Selatan yang menghantam tebing. Demikian pula dengan cericit burung yang banyak beterbangan di sekitarnya. Namun, pelan tapi pasti, suara-uara itu seperti menghilang. Dan dalam bayangannya dia seperti mengembara di padang luas yang tandus, seolah tak ada kehidupan di padang yang sangat luas tersebut.
Dalam pengembaraan di padang tandus ini Gino merasa sangat lelah dan kehausan. Namun Gino tak melihat ada telaga atau tempat yang subur yang bisa menjadi tempat untuk sekadar berteduh.
”Akankah aku akan tersesat dan mati di tengah padang misterius ini?” tanyanya dalam hati.
Dengan sempoyongan dia terus berjalan, menapaki tanah berbatu padas yang keras. Dan setelah nyaris mati, akhirnya dia menemukan satu tanah yang subur. Dia juga melihat ada telaga dan rumah mungil di situ.
Gino ingin minum dan membasuh mukanya dengan air telaga. Namun setiap kedua tangannya mengambil air, suatu keanehan terjadi. Air yang tadinya jernih itu berubah merah darah dan berbau anyir. Gino putus asa. Namun, dia hanya bisa menangir sesunggukan.
“Nakmas kehausan ya?” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya.
Ketika Gino mengangkat wajahnya, dia melihat ada lelaki tua berambut putih semua telah berdiri di dekatnya. Aneh, seketika itu rasa hausnya jadi hilang.
“Siapakah Kakek ini sebenarnya?” tanya Gino. Dia heran karena lelaki tua itu berpakaian seperti orang yang hidup di zaman Majapahit, dengan rambut digelung dan berkain lurik.
“Nanti Nakmas akan tahu sendiri!” senyum si kakek. “Kalau ingin istirahat Nakmas bisa mampir di rumah saya. Mari, silakan!” katanya memberi tawaran menarik bagi Gino.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Gino pun menyambut tawaran si kakek. Anehnya, orang tua ini ternyata tidak tinggal sendirian, karena di rumah yang mungil itu juga tinggal dua orang perempuan, yang satu sudah tua dan tampaknya isteri dari si kakek misterius, sedangkan yang satunya muda. Pastilah anak atau cucunya. Gadis belia ini tampak cantik walau berpakaian gaya masa lampau, dengan kebaya warna hijau pupus.
Wanita muda itu tersenyum saat melihat si kakek datang dengan seorang lelaki muda. Gino membalas senyum itu meski masih merasa heran.
“Dia Suli, anakku, Nakmas!”.si kakek memperkenalkan anaknya. Sementara itu, Suli hanya tersipu ketika bapaknya mengenalkan dirinya pada sang tamu.
Walau semula hanya biasa saja terhadap gadis itu, namun lambar laun Gino seperti tersihir dengan kecantikan Suli. Rupanya, hal ini disadari benar oleh orang tua gadis tersebut.
“Nakmas, kami memang sengaja membawamu ke sini karena kami ingin mengambil Nakmas sebagai menantu, ” kata si kakek.
Gino kaget melihatnya. Memang kalau dilihat kecantikannya, sebagai lelaki dia sangat terpesona pada kecantikan Suli. Namun, di saat yang ama, dia juga teringat pada isteri dan anaknya yang masih balita.
“Kalau Nakmas sudah beristeri, Suli juga bisa dijadikan isteri kedua.Lelaki kan bisa beristeri sampai empat,” kata si kakek lagi seolah dapat membaca kegundahan hati Gino. “Kamu mau kan Suli jadi istri kedua?” tanyanya pula kepada anak gadisnya. Suli tampak tersipu-sipu.
“Kalau saya sih terserah Rama saja!” jawabnya sambil senyum.
Namun, Gino masih berat hatinya, karena dia sangat mencintai Marni, isterinya, yang sedang mutung itu. Selain itu juga dia merasa belum memberikan kasih saying secara utuh pada isteri dan anak semata wayangnya. Selama ini dia terlalu asyik masyuk dengan judi dan main perempuan. Dan dia tak ingin melukai hati istrinya lebih dalam lagi.
“Apakah Nakmas melihat Suli kurang cantik?” tanya si kakek melihat Gino hanya diam membisu.
Lelaki yang pernah mengenyam kesuksesn di bisnis jual beli kendaraan bekas ini hanya menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. Kalau melihat kecantikan Suli, memang lelaki mana yang tidak akan tergoda. Namun kalau ingat isteri dan anaknya yang telah lama dia sia-siakan, Gino merasa alangkah kejamnya kalau dia yang selama ini belum pernah membahagiakan mereka, lalu mengkhianati mereka dengan memperistri Suli.
“Apakah Nakmas harus saya paksa untuk menerima tawaran baik ini?” si kakek tiba-tiba bertanya dengan nada keras. Karuan, Gino terkejut melihat perubahan sikapnya.
“Ingat, sekarang Nakmas berasa di alam lain, dan tidak akan kembali ke dunia nyata. Aku yang akan menghalanginya!” tiba-tiba laki-laki tua yang masih tampak gagah itu mengancam. Dia juga mengeluarkan pecutnya yang ketika dihantamkan ke tanah mampu membuat batu padas berkeping-keping. Suara pecut ini begitu menggelegar, serta mengeluarkan percikan api. Gino ketakutan. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhnya.
“Astaghfirulah!” tak sadar Gino beristighfar. Memang, jauh sebelum menjadi penjudi dan main perempuan, Gino sebenarnya termasuk ahli sembahyang. Dulu dia hidup di tengah keluarga santri.Hanya karena salah dalam pergaulan saja dia menjadi mursal dan melupakan ajaran-ajaran agama yang sedari kecil sampai remaja dia tekuni.
Anehnya, mendengar kalimat Istighfar dalari mulut Gino, lelaki tua itu seperti dihantam pukulan keras sehingga membuatnya terlempar jauh. Yang tak kalah mengherankan, lelaki itu wujudnya berubah mengerikan. Demikian juga halnya dengan Suli. Wajahnya yang semula cantik itu tiba-tiba berubah menyeramkan.
“Kau memang harus kupaksa agar jadi penghuni tempat ini bersama kami!” Mahkluk berwajah bengis itu terus merangsek Gino.
Dengan penus kepasrahan diri, Gino pun terus menggumamkan wiridnya. Bahkan dia juga menambahi dengan membaca ayat Kursyi.
Apa yang kemudian terjadi?
Demi mendengar ayat suci Al Quran dari mulut Gino, mahluk-mahluk misterius yang menakutkan semakin kalang kabut. Bahkan kemudian hancur berkeping-keping.
“Alhamdulillah!” cetus Gino spontan. Aneh, ketika ucapan syukur itu diucapkan secara, maka secara berbarengan dia telah berada di atas tempat tidur. Yang membuat kaget, di sekelilingnya juga ada Marni, isterinya, mertuanya, juga Wahyu, sahabatnya. Masih banyak lagi orang-orang yang tidak dikenalinya ada di sana.
“Kamu sudah sadar, Anakku!” bisik seorang kakek, tapi bukan kakek yang dia temui di padang misterius itu. Orang tua ini ternyata sesepuh masyarakat yang tinggal di kawasan Parangtritis. Dia juga yang kemudian menerangkan kalau dirinya telah ditemukan oleh peziarah lain tak sadar diri tak jauh dari lokasi Goa Langse.
“Tampaknya kamu nyaris kalap dibawa oleh mahluk alam lain yang menunggui Goa Langse. Untung kamu masih bisa melawan kekuatan mereka. Andaikata kamu mau diambil menantu penunggu goa itu, tentu kamu sudah tidak berada di sini,” papar sesepuh itu setelah mendengar cerita dari Gino ketika tersesat di padang luas misterius, yang ternyata berada di alam gaib itu.
Gino sendiri juga bingung kenapa bisa sampai seperti itu kejadiannya. Bukankah semula niatnya hanya ingin menenangkan diri, melepaskan diri dari kesumpekan? Padajal, dia juga merasa tidak ke mana-mana. Hanya berdiam mengheningkan cipta, tak pernah bernjak dari batu yang menjadi tempatnya duduk bersila itu.
Setelah mengalami kejadian ini, Gino berubah menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Dia tidak pernah lagi berjudi, apalagi main perempuan. Hubungan dengan isterinya juga semakin mesra, dan tampaknya telah menuju keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Bahkan, Gino sekarang telah menjadi pengurus takmir masjid di kampungnya.