Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.
Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.( Nama Samaran )
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.
Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.( Nama Samaran )
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.