MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Pelaku Pesugihan Bukit Bawang

Kisah ini dituturkan langsung oleh pelaku yang meminta nama aslinya dirahasiakan. Sebut saja namanya Tarno. Lelaki dengan seorang istri dan dua anak anak ini menetap di sebuah desa kecil yang cukup jauh di ujung Kabupaten Kubu Raya. Sebuah desa yang sepi dari hiruk pikuk, namun di tempat itulah Tarno dilahirkan dan dibesarkan sehingga dapat menghantarkannya menduduki posisi terhormat dengan menjadi seorang suami sekaligus ayah. Berikut kisah mistik yang dituturkan Tarno selengkapnya.
Meski hidup dalam keprihatinan, karena hanya mengandalkan penghasilan dari menangkap ikan, namun rumah tangga kami terbilang harmonis. Jika berselisih paham, kami selalu menempuh jalan musyawarah. Hal itu wajib kami terapkan untuk menutupi aib dan segala bentuk kekurangan yang ada dalam rumah tangga kami agar tidak terdengar oleh orang luar. Karena begitulah pesan dari para orang tua kami.

Hari demi hari aku habiskan hanya untuk bekerja dan bekerja. Hal itu aku lakukan, selain sadar akan tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga, juga ingin menggapai harapan dan cita cita. Yah, mungkin dengan begitu ekonomi keluargaku dapat berubah dan aku bisa menyisihkan sedikit uang penghasilanku itu untuk masa depan anak-anakku dikemudian hari. Namun semua itu menjadi sirna, tatkala aku mulai mengenal yang namanya judi.
Berawal ketika rumahku kedatangan seorang tamu laki-laki yang ternyata adalah Widianto sahabatku, yang juga berasal dari kampung di mana aku tinggal saat itu. Namun dia tak lagi tinggal di sana, karena beberapa tahun yang lalu, dua tahun kalau tidak salah, bersama keluarganya, Waidianto pindah ke kota kecamatan untuk merubah nasib. Memang benar, dilihat dari penampilannya saja, dia tampak berbeda dari sebelumnya, lebih rapi dan perlente. Terlebih usahanya yang mengalami banyak kemajuan. Salah satunya adalah lapak ikan atau kios tempat menjual ikan. Dan maksud kedatangannya saat itu adalah untuk mengajakku bekerja sama.
“Maksudmu?” Tanyaku tak mengerti.
“Jadi begini Tar, selama ini kan aku membeli ikan langsung dari para nelayan, yang kemudian ikan tersebut aku jual kembali di lapakku. Nah, aku juga mau kau melakukan hal yang sama, menangkap ikan dan menjualnya padaku. Memang harga yang aku tawarkan tidaklah besar, namun kau bisa rutin menjualnya padaku. Karena jika kau tetap bertahan seperti itu, kapan kau bisa maju,” ucap Widianto.
Aku pun tertegun sesaat. Tak dipungkiri hatiku berbunga-bunga mendengar tawaran dari sahabatku itu. Namun apa daya, aku tak sanggup menjawabnya karena aku sadar akan ketiadaanku. Yang dapat aku lakukan hanya tertunduk diam sambil menghela nafas panjang.
Melihat itu Widianto melempar simpul ke wajahku. Kemudian tangannya yang besar memegang pundakku dan meremas-remasnya.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Masalah kapal motorkan? Kau tak usah khawatir, nanti kau bisa gunakan kapal motorku untuk menangkap ikan,” ucap laki-laki berbadan besar itu.
Setelah mendapat persetujuan dari istriku, hari itu juga aku dan Widiantoberangkat ke kota kecamatan, dengan membawa segudang harapan untuk suatu perubahan. Dan sesampainya di sana, aku langsung menuju rumah Wahono yang terletak di belakang pasar untuk mempersiapkan segala perlengkapan, karena malam itu juga aku langsung memulai operasi.
Hari dami hari pun aku lalui, dan tanpa terasa sudah hampir tiga bulan aku bekerja pada Wahono. Meski sangat sibuk, aku tak pernah lupa akan janjiku pada istriku untuk pulang dua minggu sekali. Namun itu aku wujudkan hanya pada bulan pertama saja, selanjutnya aku tak pernah lagi menjenguknya. Bahkan tak pernah lagi memberikan hasil keringatku pada mereka.
Aku mulai terlena dan terpengaruh pada pola hidup bebas dan keras. Bersama kawan-kawan baruku, aku mulai suka mabuk-mabukan, berhubungan intim dengan wanita nakal dan aku mulai suka berjudi. Memang untuk kebiasaan yang satu ini, membuat aku keranjingan. Tak peduli waktu dan tempat, saat sibuk maupun santai, aku manfaatkan untuk bermain berjudi bersama kawan kawanku. Entah itu di kapal motor dengan menggelar tikar, atau di pelabuhan saat kapal motorku berlabuh.
Padahal jika mau dipikir, pendapatanku selama bekerja dengan Widianto sangat memuaskan. Berbeda jauh dengan pendapatanku ketika aku masih berjualan ikan di kampungku. Yah, setidaknya jika aku sisihkan dan kumpulkan, aku bisa membeli lapak sendiri. Namun apa daya, aku telah terjebak ke dalam harapan semu, yang tanpa aku sadari perlahan-lahan telah menggerogoti kenyataan yang sesungguhnya telah aku raih.
Tiba pada suatu hari, ketika itu aku kalah banyak. Tak ada lagi uang yang tersisa di dalam dompet maupun di dalam saku celana, semuanya ludes. Demi membalas kekecewaan itu, aku nekad mencari pinjaman pada kenalan-kenalanku. Karena aku pikir bulan depan aku dapat membayarnya dari hasil keringatku, dan aku akan selalu begitu setiap akan meminjam uang dan mengalami kekalahan di meja judi.
Namun apa lacur, saat hutang semakin menumpuk, Widianto mengetahui kegilaanku dan memutuskan hubungan kerjasamanya denganku. Sehingga hidupku pun terkatung-katung, bahkan terancam karena tak sanggup membayar hutang pada kenalan-kenalanku itu.
Di tengah kebingunganku karena terus-terusan dikejar hutang, aku pun memutuskan kembali ke kampung halamanku dan menjual rumahku beserta tanahnya yang merupakan warisan satu-satunya dari peninggalan orang tuaku. Sementara istri dan anak-anak kukembalikan pada orang tuanya. Selanjutnya aku pun kembali ke kota untuk melakukan kegilaan lagi. Setidaknya ada sisa uang hasil jual rumah dan tanah untuk modalku berjudi.
Namun apes, aku kalah lagi. Sehingga saat itu aku benar-benar nekad meminjam uang pada pak Suryo, seorang rentenir yang juga merangkap sebagai kepala preman yang ditakuti di kota kecamatan itu. Tak kepalang tanggung bunga yang ditawarkan sangat besar. Meskipun demikian aku tetap saja meminjamnya. Namun karena tak sanggup membayarnya, aku pun dikejar-kejar oleh orang suruhan pak Suryo. Bahkan sampai babak belur dihajar tukang pukulnya.
Stres dan bingung itu yang aku rasakan. Ingin rasanya pulang kampung, namun aku malu, malu pada istri dan kedua anakku, terlebih malu pada mertuaku. Di saat posisiku tengah terjepit itulah, tiba tiba datang Ruslan, teman yang aku kenal di meja judi. Melihat kondisiku seperti itu dia prihatin dan menyarankan supaya aku melakukan ritual minta kekayaan pada jin penunggu Bukit Bawang.
“Apa kau sudah gila Lan. Sebigung-bingungnya aku, tapi masih bisa berpikir waras,” ucapku.
“Itu hanya sebatas saran Tar. Karena aku sangat prihatin dengan kondisimu sekarang ini. Sekarang terserah kau, mau mengikuti saranku atau memilih dikejar-kejar tukang pukulnya pak Suryo,” Ruslan mencoba meyakinkanku.
Aku terdiam, namun otakku tak berhenti berpikir. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ruslan. Tapi kedengarannya sangat sulit dipercaya.
“Kau tak usah khawatir Tar. Itu tergantung bagaimana kau meyakininya. Karena sudah ada beberapa orang yang berhasil nyegik di sana,” ujar Ruslan.
Setelah kemenyan sebagai alat ritual didapat, esok paginya kami pun meluncur ke kawasan Bukit Bawang yang ada di kabupaten tersebut. Satu hari kurang lebih jarak tempuhnya. Sesampainya di sana, kami pun langsung menemui pak Suyad, selaku juru kuncinya.
“Saya hanya bisa mengantarkan kamu saja. Perihal apa yang kamu lakukan nanti di atas sana, itu urusan kamu dengan penunggu gaibnya,” tutur pak Suyad.
Sebelum melangkah, terlebih dahulu dirinya memberitahukan padaku bagaimana cara menggelar ritualnya, yang ternyata sangat mudah. Cukup membakar kemenyan, sembari mengucapkan apa yang diinginkan, kemudian bersemedi selama tiga hari tiga malam.
“Memang kedengarannya sangat mudah, namun cobaannya cukup berat. Selama ini hanya ada dua orang saja yang mampu menjalani semedi sampai selesai,” terang laki-laki tua bertubuh kurus dan kecil itu.
Selanjutnya kami pun melangkah menuju bukit yang tak jauh di belakang rumah sang juru kunci. Kemudian mendakinya perlahan-lahan. Tak lama sampailah kami pada sebuah batu besar yang menghampar membentuk lempengan yang ukurannya sangat luas pula. Orang kampung menyebutnya batu bendera dan letaknya tepat di bagian sisi atas bukit menghadap ke perkampungan penduduk. Di tempat inilah nantinya aku akan melakukan semedi.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, konon, pada batu yang berdiri tegak tak jauh dari batu bendera pernah ditemukan rambut dan kulit kepala manusia yang menempel, milik seorang tua yang puluhan tahun melakukan tapa brata. Dan usai mengantarkanku, Ruslan dan pak Suyad segera kembali ke bawah.
Hari beranjak gelap. Tinggal aku sendiri di tepi hutan itu. Selanjutnya lepas Maghrib aku segera memulai ritual yang kuawali dengan membakar kemenyan. Sambil duduk bersila, kuucapkan keinginanku pada penguasa gaib tempat itu, kemudian bersemedi.
Malam pertama aku sama sekali tak mengalami gangguan apa pun. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar dan itu kuanggap hal biasa. Namun pada malam kedua, hal-hal aneh mulai aku alami. Suara tawa wanita dari dalam hutan, suara langkah kaki yang tak henti-hentinya mengitariku, dan kejadian-kejadian lain yang menyeramkan.
Namun yang membuat aku sangat takut ketika sebuah benda jatuh di atas pangkuanku. Lebih terkejut lagi saat aku merabanya ternyata sebuah kepala. Tak ayal cepat-cepat benda tersebut kubuang. Tapi aneh, ketika tanganku kembali kuletakan di atas paha, kepala tadi sudah ada lagi di pangkuanku, setelah itu hilang entah kemana. Tak ada yang kupikirkan saat itu kecuali pergi meninggalkan tempat itu. Namun ketika teringat hutang-hutangku pada pak Suryo, rasa takut pun menjadi sirna. Sehingga yang ada hanya keinginan untuk tetap bertahan.
Sampailah aku pada malam terakhir, yang merupakan bagian puncak dari usahaku itu. Tak dapat kuprediksi apa yang akan terjadi. Mengingat pak Suyad sendiri tak menceritakan pada bagian itu. Dia hanya berpesan, jika di hadapanku muncul sesuatu, utarakan langsung semua permasalahanku, namun jangan pernah membuka mata, karena aku tak akan sanggup melihatnya.
Aku pun kembali membakar kemenyan kemudian menyimpan pembungkusnya yang terbuat dari kain ke dalam saku celana. Selanjutnya aku hening. Memang luar biasa, baru sejam aku bersemedi, tiba-tiba aku mendengar suara tawa wanita dari dalam hutan yang seperti terbang mendekatiku. Tidak satu, melainkan ramai dan semakin malam semakin ramai. Terdengar pula olehku raungan binatang-binatang aneh yang menyebabkan seluruh badanku berkeringat menahan takut yang mulai merasukiku. Tak lama aku merasa seekor ular besar melilit tubuhku dan suara desisannya sangat jelas terdengar di telingaku. Jujur, keinginan untuk lari dari tempat itu muncul kembali, namun hutang-hutangku membuat aku kembali bertahan.
Tak lama kemudian, dari dalam hutan sayup-sayup aku mendengar suara deru angin yang perlahan-lahan mendekat. Kemudian menghilang bersamaan dengan keanehan-keanehan tadi. Dan suara tawa pun menggelegar di depanku, berat dan menyeramkan. Tak ayal tubuhku menggigil dan keringat dingin pun bercucuran dari lubang pori.
Seperti yang dipesankan oleh pak Suyad, aku tak berani membuka mata. Langsung saja aku utarakan maksud dan tujuanku kepada jin penguasa Bukit Bawang yang tengah berada di hadapanku itu dengan terbata-bata. Tak banyak yang kupinta saat itu, hanya meminta nomor buntut, dan makhluk itu pun menyanggupinya dengan syarat setiap malam Jumat Kliwon aku harus menyembelih seekor ayam hitam di tempat aku bersemedi. Jika tidak, dia akan mengambil kembali kekayaanku dan aku pun menyanggupinya. Selanjutnya makhluk itu lenyap entah kemana.
Sesampainya di rumah Ruslan, aku segera mengeluarkan kain tempat aku membungkus kemenyan sebelumnya. Pada kain itu tertulis empat buah angka yang nantinya harus aku pasang pada bandar kode buntut.  Benar saja, percaya atau tidak, setelah aku pasang angka tersebut ternyata keluar. Karena aku pasang besar, tak kepalang tanggung uang yang kudapat pun berlimpah. Selain aku dapat melunasi hutang-hutangku plus bunganya pada pak Suryo, aku pun bisa membeli ruko. Di situlah aku tinggal dan membuka usaha jual beli emas.
Sayangnya semua yang ku miliki itu tak bertahan lama. Dikarenakan aku terlalu sibuk, sehingga lupa akan janjiku pada sang penguasa Bukit Bawang. Pada akhirnya kekayaan yang kudapat itu pun berangsur menyusut. Dan aku pun kembali pada keadaanku semula. Karena tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kota itu, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamnku, dan memulai kehidupan dari nol lagi bersama istri dan kedua anakku. Aku sungguh-sungguh bertobat tidak akan melakukan hal itu lagi, semoga Allah mengampuni segala dosaku.