Dieng, yang berarti edi tur aengsi (tempat yang indah). Apalagi kalau dilihat dari puncak gunung, pemandangan dari sana terlihat sangat indah.
Dieng juga berarti tempat para dewa.
Menurut Ki Rusmanto(58), kuncen Pertapan Mandala Sari, yang di nobatkan oleh Eyang Begawan Sampurno Jati. Dieng adalah tempat bersemayamnya para dewa, dan sampai sekarang pun masih bersemayam disini. “Saya yakin bahwa para dewa masih bersemayam disini, pertapan ini adalah keratonnya para dewa,” katanya.
Keberadaan keramat-keramat di Gunung Dieng, memiliki kaitan erat dengan kekuasaan gaib Segoro Kidul. “Ibu Ratu Segoro Kidul memberikan Amanat pada para leluhur yang ditugaskan di Gunung Dieng,” lanjutnya. Perjalanan spiritual di keramat-keramat Gunung Dieng mengandung makna kehidupan, pelajaran-pelajaran hidup tersirat di dalamnya, tinggal bagaimana kita yang memaknai. Keramat-keramat di Gunung Dieng memiliki nilai pendidikan spiritual.
“Semua keramat di Gunung Dieng mengandung pendidikan spiritual,” kata Ki Rusmanto,
Dimulai dari Bima Lukar yang merupakan sumber mata air Sungai Serayu, disini harus mandi jamas yang bertujuan untuk mengeluarkan “bronjong kamurkan” atau angkara murka. Membersihkan jiwa dan raga, ini dilakukan sebelum masuk ke Pertapan Mandala Sari. Di depan ada Telaga Warna, yang melambangkan nafsu yaitu empat nafsu kalau orang Jawa menyebutnya sedulur papat, (amarah, aluamah, supiah dan mutmainah). Kelima pancer yang dianut dari empat saudara itu. Sehingga sedulur papat harus menyatu atau manunggal, jangan sampai pisah apalagi jalan sendiri-sendiri.
“Disini ada Goa Jaran, Jaran itu nafsu, jadi nafsu ke empat tadi harus dikendalikan ke arah yang putih. Sehingga, disitu jumeneng Eyang Resi Kendali Seto atau yang mengendalikan nafsu.”
Telaga pengilon (cermin), manusia harus berkaca, introspeksi diri, jangan suka menyalahkan orang lain tapi kita sudah benar apa belum? Kalau kita sudah benar pun juga tidak boleh mengatakan benar. Membenarkan diri adalah prilaku yang kurang baik.
Setelah itu baru bisa masuk ke Goa Semar, Goa berarti ghugu marang pitulungku, Semar’ ojo samar wong urip ono sing nguripi. Gusti Inkang Maha Suci Sumarah Purbange Sang Murbeng dzat, olo becik dadi sandangane alam mboten saget dirubah. Baik dan buruk adalah kelengkapan alam, tidak bisa dirubah tetapi tinggal bagaimana mengendalikannya. Jadi yang nafsu jelek itu bisa dikendalikan atau tidak.
“Kemudian Goa Sumur, disitu ada banyu panguripan (tirto kamandanu) bagi orang yang percaya pada warisan leluhur, air itu bisa bermanfaat untuk pengobatan, penglaris, dll,” kata Ki Rusmanto.
Misalnya Kawah Sikidang, kidang (rusa) itu jalannya lompat-lompat dan makannya pupus daun, memiliki magna bahwa cita-cita atau keinginan boleh setinggi langit tapi “Sumarah purbaning gusti, mupus panduming gusti” berserah pada Tuhan, karena semua kuasanya Gusti Alloh.
Makanya harus masuk Kawah Sileri yang magnanya, orang hidup tidak boleh melanggar wewelering (aturan) urip yang empat perkara.
1. Melanggar wewelering rumah tangga.
2. Melanggar wewelering masyarakat.
3. Melanggar wewelering negara.
4. Melanggar wewelering Gusti Inkang Maha Suci, Alloh SWT.
Setelah itu masuk Kawah Candradimuka, kalau semua di jalankan dengan baik, keinginan atau cita-cita ya jangan sampai di tunda-tunda. Condro iku wulan, muko iku ngarep yo ojo ditunda nganti wulan-wulan. Makanya ada Jala Tunda, keinginan yang baik jangan ditunda-tunda. “Apa yang diinginkan supaya cepat kesampaian dan tidak tertunda-tunda,” kata Ki Rusmanto. Itu tatanan alam yang ada disini mengandung nilai pendidikan spiritual yang harus dihayati semua umat berbudaya.
Eyang Purbowaseso, yang menentukan diterima tidaknya permintaan ke para leluhur.
“Sebagai orang tua, harus memberikan wawasan untuk anak-anak supaya nanti dapat memahami dan mengetahui tatanan budaya Nusantara yang sebenarnya,” tuturnya. Sebab jaman akan berubah, kembali lagi pada tatanan budaya. Nanti setelah tahun 2011, harus sudah berjalan tatanan budaya Nusantara, adat istiadat, budaya, warisan.
Bangsa Indonesia akan mengalami kejayaan apabila mau kembali pada tatanan budaya, agama yang berbudaya itu, tidak meninggalkan adat istiadat warisan leluhur. Silahkan beragama apapun yang disahkan oleh negara, tapi kebudayaan harus tetap di pertahankan keberadaannya.
“Kalau tidak mau kembali pada tatanan budaya Nusantara, akan tersingkir oleh Revolusi Alam, tahun 2009 akan terjadi huru-hara yaitu perang politik dan perang gaib,” kata Ki Rusmanto. “Perang gaib, kawulanya Ibu Ratu Kidul sudah mulai kerja, mulai mengambil orang-orang jahat yang tidak kena jeratan hukum, dengan revolusi alam lewat karma pala, ” lanjutnya.
Setelah itu Indonesia akan mengalami kejayaan, Dunia akan berpaling ke Indonesia setelah Pancasila diamalkan oleh bangsa Indonesia secara murni dan konsekuen. Karena pancasila merupakan jatidiri bangsa warisan leluhur.
Dieng sangat erat kaitannya dengan Ratu Kidul, setiap kali menjalankan peringatan adat rambut gembel, kalau sudah diruwat dipotong kemudian rambut gembel akan dilarung di Telaga Warna. “Lha itu hubungannya Telaga Warna dengan Ibu Ratu Kidul, untuk umum larungan di Sungai Serayu yang mengalir ke Segoro Kidul.” Demikian “Yang menitipkan rambut gembel untuk anak-anak daerah Wonosobo, Banjar Negara, Temanggung, ya utusan Ibu Ratu Kidul,” tuturnya. Gembel untuk anaknya seneng, tapi bagi orang tuanya diberi sesuker, tanggung jawab karena anak yang diberi gembel nantinya mesti diruwat.
“Tapi anaknya kan seneng, anak gembel itu minta kadangan apa yang diminta eyangnya lha itu nanti dituruti permintaannya,” kata Ki Rusmanto. Gembel tidak dibuat, karena itu titipan dari Kyai Tumenggung Kala Dete yang artinya, Kala itu waktu, Dete itu kosong. Jadi ketika itu Eyang Tumenggung Kala Dete naik ke Dieng masih dalam keadaan kosong, belum ada penghuninya. Kemudian muswo di Gunung Kendil, di Pesanggrahan Giri Kala Wacana di Gunung Kendil, yang menitipkan sesuker di Gunung Dieng yang disebut gembel. “Proses datangnya gembel biasanya anak itu akan panas (sakit) sampai tujuh kali, tidak perlu di obati nanti kalau gembelnya jadi ya sembuh sendiri,” tuturnya. Biasanya mulai umur dua sampai tiga tahun, baru ada proses gembel.
Candi Pandawa Lima.
Candi Pandawa Lima, peninggalan jaman Kalingga sekitar abad VIII. Dibangun sekitar tahun 732 M. Candi-candi itu dulunya merupakan makam para raja waktu itu, kemudian menjadi tempat sembahyang umat Hindu.
Pandawa Lima adalah para kesatria di jaman Mahabarata, putra Pandu Dewanata yang memiliki watak kesatria. Pandawa Lima menjadi figur kebajikan, juga menjadi contoh bagi para pemimpin dan harapan bagi orang tua kepada anak-anaknya.
Bagi masyarakat Jawa, tokoh pandawa sudah tidak asing lagi. Namun, entah dengan anak-anak sekarang apakah ada pengenalan tentang tokoh-tokoh kesatria ini ditengah maraknya jagoan-jagoan dalam film kartun yang di Import dari luar.
Para tokoh pandawa antara lain.
1. Puntadewa, memiliki watak pendiam, bijaksana dan sedikit bicara. selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Melambangkan sifat keTuhanan.
2. Werkudara (Bimo), memiliki postur yang besar, keberaniannya menghadapi apapun menjadi figur keTeguhan dalam mempertahankan prinsip dan nilai-nilai dasar kehidupan. Karena keteguhannya sehingga mampu mencapai keIklasan tertinggi seperti dalam kisah pewayangan, ketika Werkudara yang bertekad menolong Pandu dari dasar neraka atau Kawah Candradimuka.
3. Arjuna, memiliki kepiawaian, kecerdasan dan kecakapan. Sehingga, selalu menang dalam setiap pertandingan dan sayembara. Melambangkan seorang yang memiliki Pendidikan dan Intelektual yang tinggi dan menggunakannya dalam kebajikan.
4. Nakula, memiliki sifat welas asih, serta kasih sayang pada sesama.
5. Sadewa, melambangkan sifat Loyalitas, Sadewa juga mendapatkan nama Sudhamala yang artinya bersih dari dosa dan pasrah pada kehendak Yang Maha Kuasa.
Namun para Satria Pandawa harus di bimbing oleh Ki Semar, yang mampu memberikan petunjuk kebaikan dan lebih mengutamakan derajad atau keUtamaan (kautaman) tanpa Pamrih.