MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

BANK GAIB : Benarkah Ada atau Hanya Tipuan Saja..........…?

Bagi sebagaian orang mungkin pernah mendengar tentang BANK GAIB..?

Benarkah ada, atau hanya isapan jempol, atau bahkan adalah salah satu modus penipuan gaya baru….?
Bank Gaib konon berbeda dengan bank konvensional pada dunia manusia. Yang menerapkan sistem simpan  pinjam dan memperoleh keuntungan (profit) dari penerapan bunga (acquiring interest). Bank Gaib memiliki kriteria tertentu dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu pula.
Menurut Praktisi Supranatural yang juga menjadi salah satu  Paranormal Indonesia… KI SURRO ( Nama Samaran ), sistem yang diterapkan dalam Bank Gaib adalah sistem barter (tukar menukar). Kenapa barter / tukar menukar?
Dalam dunia gaib (dalam hal ini bangsa ‘jin’) mereka tidak mengenal dunia jual beli apalagi sistem perhitungan bunga. Mereka hanya mengenal sistem barter. Lalu apa yang di barter?
Mungkin dalam dunia manusia orang kaya diukur dengan banyaknya materi berbeda dalam dunia gaib, mereka disebut kaya bila memiliki cadangan ‘makanan’ yang berlimpah. Jadi bukan materi karena mereka tidak butuh materi. Lalu apa makanan mereka?
Apakah DARAH atau NYAWA sebagai tumbal. Masih menurut KI SURRO, makanan mereka bukan seperti yang penulis sebutkan (DARAH atau NYAWA) tetapi beberapa minyak tertentu dan juga ‘kayu wangi’ yang dibakar. Jadi Bank Gaib yang KI SURRO utarakan aman, tanpa resiko/tumbal, tidak menyedot rezeki anak cucu, karena sistem transaksinya langsung yaitu barter antara pemohon dana gaib dengan ‘gaibnya’. Dengan barang yang dibarter yaitu minyak tertentu dengan uang yang jumlahnya FANTASTIS sesuai perjanjian. Untuk ‘gaib’ yang membantu dalam transaksi Bank Gaib ini dilakukan oleh golongan ‘jin muslim’. Namun sayangnya mereka para ‘gaib’ hanya bisa membantu sekali dalam seumur hidup karena hal itu sudah merupakan perjanjian dari nenek moyang manusia yang pertama kali berhubungan dengan bangsa jin.
Salah seorang pasien dari KI SURRO yang kini menjadi Bos Karaoke ternama di Surabaya yaitu Pak Andre ( Nama Samaran ) mengatakan
 ”Saya dulu seperti orang gila, bagaimana tidak gila ….Mas, usaha saya ditipu teman dan membawa lari semua uang saya. Sayapun harus menanggung hutang dari usaha saya yang dikemplang teman saya. Kesana kemari minta bantuan gak ada yang nolong. Bahkan saya sudah keliling nusantara untuk mendapatkan atau mencari pinjaman dan dana gaib. Mulai dukun yang bermahar satu juta sampai puluhan juta semua saya datangi, tapi apa hasilnya hanya PENIPUAN dan NOL BESAR. Untung saya bertemu KI SURRO yang menawarkan jasa Dana Hibah Gaib tanpa tumbal dan resiko diawal ataupun akhir. Bahkan yang lebih anehnya dia TIDAK MINTA MAHAR sedikitpun seperti dukun penipu yang lain yang minta mahar yang katanya untuk syarat ini.. atau itulah…, padahal ujung-ujungnya nipu. Dia cuma nyuruh cari syarat-syaratnya sendiri setelah saya dapatkan syaratnya, kami ritual dan hasilnya …WOW…. saya mendapatkan dana sebesar 10 MILYAR seperti yang saya harapkan, hari itu juga setelah ritual gak pake tunggu beberapa hari seperti yang dijanjikan dukun-dukun penipu.
Sebelumnya, KI SURRO menambahkan untuk semua syarat pasien disuruh mencari sendiri sebagai bentuk pengorbanan dan kesungguhan untuk mendapatkan materi dari Bank Gaib, dan yang tidak kalah pentingnya semua syarat harus asli dan sesuai dengan permintaan ‘gaib’. Jadi jangan sampai dapat yang palsu apalagi keliru karena bisa gagal. Kalau udah gagal tidak bisa dibantu lagi oleh ‘gaib’ karena hanya bisa dibantu sekali dalam seumur hidup. Dan satu lagi uang yang didapat dari Bank Gaib ini TIDAK DIKEMBALIKAN karena kita barter bukan pinjam.
Bagaimana apakah anda berminat? terserah anda Percaya atau tidak hanya Allah dan Pak Andre yang tahu......

BANK GAIB : Benarkah Ada atau Hanya Tipuan Saja..........…?

Bagi sebagaian orang mungkin pernah mendengar tentang BANK GAIB..?

Benarkah ada, atau hanya isapan jempol, atau bahkan adalah salah satu modus penipuan gaya baru….?
Bank Gaib konon berbeda dengan bank konvensional pada dunia manusia. Yang menerapkan sistem simpan  pinjam dan memperoleh keuntungan (profit) dari penerapan bunga (acquiring interest). Bank Gaib memiliki kriteria tertentu dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu pula.
Menurut Praktisi Supranatural yang juga menjadi salah satu  Paranormal Indonesia… KI SURRO ( Nama Samaran ), sistem yang diterapkan dalam Bank Gaib adalah sistem barter (tukar menukar). Kenapa barter / tukar menukar?
Dalam dunia gaib (dalam hal ini bangsa ‘jin’) mereka tidak mengenal dunia jual beli apalagi sistem perhitungan bunga. Mereka hanya mengenal sistem barter. Lalu apa yang di barter?
Mungkin dalam dunia manusia orang kaya diukur dengan banyaknya materi berbeda dalam dunia gaib, mereka disebut kaya bila memiliki cadangan ‘makanan’ yang berlimpah. Jadi bukan materi karena mereka tidak butuh materi. Lalu apa makanan mereka?
Apakah DARAH atau NYAWA sebagai tumbal. Masih menurut KI SURRO, makanan mereka bukan seperti yang penulis sebutkan (DARAH atau NYAWA) tetapi beberapa minyak tertentu dan juga ‘kayu wangi’ yang dibakar. Jadi Bank Gaib yang KI SURRO utarakan aman, tanpa resiko/tumbal, tidak menyedot rezeki anak cucu, karena sistem transaksinya langsung yaitu barter antara pemohon dana gaib dengan ‘gaibnya’. Dengan barang yang dibarter yaitu minyak tertentu dengan uang yang jumlahnya FANTASTIS sesuai perjanjian. Untuk ‘gaib’ yang membantu dalam transaksi Bank Gaib ini dilakukan oleh golongan ‘jin muslim’. Namun sayangnya mereka para ‘gaib’ hanya bisa membantu sekali dalam seumur hidup karena hal itu sudah merupakan perjanjian dari nenek moyang manusia yang pertama kali berhubungan dengan bangsa jin.
Salah seorang pasien dari KI SURRO yang kini menjadi Bos Karaoke ternama di Surabaya yaitu Pak Andre ( Nama Samaran ) mengatakan
 ”Saya dulu seperti orang gila, bagaimana tidak gila ….Mas, usaha saya ditipu teman dan membawa lari semua uang saya. Sayapun harus menanggung hutang dari usaha saya yang dikemplang teman saya. Kesana kemari minta bantuan gak ada yang nolong. Bahkan saya sudah keliling nusantara untuk mendapatkan atau mencari pinjaman dan dana gaib. Mulai dukun yang bermahar satu juta sampai puluhan juta semua saya datangi, tapi apa hasilnya hanya PENIPUAN dan NOL BESAR. Untung saya bertemu KI SURRO yang menawarkan jasa Dana Hibah Gaib tanpa tumbal dan resiko diawal ataupun akhir. Bahkan yang lebih anehnya dia TIDAK MINTA MAHAR sedikitpun seperti dukun penipu yang lain yang minta mahar yang katanya untuk syarat ini.. atau itulah…, padahal ujung-ujungnya nipu. Dia cuma nyuruh cari syarat-syaratnya sendiri setelah saya dapatkan syaratnya, kami ritual dan hasilnya …WOW…. saya mendapatkan dana sebesar 10 MILYAR seperti yang saya harapkan, hari itu juga setelah ritual gak pake tunggu beberapa hari seperti yang dijanjikan dukun-dukun penipu.
Sebelumnya, KI SURRO menambahkan untuk semua syarat pasien disuruh mencari sendiri sebagai bentuk pengorbanan dan kesungguhan untuk mendapatkan materi dari Bank Gaib, dan yang tidak kalah pentingnya semua syarat harus asli dan sesuai dengan permintaan ‘gaib’. Jadi jangan sampai dapat yang palsu apalagi keliru karena bisa gagal. Kalau udah gagal tidak bisa dibantu lagi oleh ‘gaib’ karena hanya bisa dibantu sekali dalam seumur hidup. Dan satu lagi uang yang didapat dari Bank Gaib ini TIDAK DIKEMBALIKAN karena kita barter bukan pinjam.
Bagaimana apakah anda berminat? terserah anda Percaya atau tidak hanya Allah dan Pak Andre yang tahu......

Kaya Karena Pesugihan.

Kesaksian ini dituturkan oleh seseorang yang enggan disebut identitasnya. Dia berkisah tentang sepenggal pengalaman yang sangat menyeramkan, yakni bekerja di sebuah perusahaan garmen dengan seorang bos yang ternyata memuja setan. Seperti apa kisah lengkapnya…?

Setelah sekian lama menumpang di rumah kerabat tanpa ada penghasilan, akhirnya sebuah perusahaan besar skala internasional (kata iklan yang mereka cantumkan di koran), berkenan menerimaku sebagai karyawan di bagian produksi. Wah senang sekali, sebab aku punya sedikit uang untuk memanjakan diri.
Pintu besi gerbang besar perusahaan itu telah menyambutku kedatanganku di hari pertama masuk. Sambil menunggu waktu, kukelilingi area bangunan besar itu, sekalian melihat-lihat suasana gedung, pelataran parkir, gudang, serta satu bangunan tua yang menjadi bangunan induk tempat perusahaan besar ini menjalankan aktivitas bisnisnya.

Di mataku, bangunan tua yang kumaksudkan tadi merupakan satu bangunan bergaya lama yang terletak di daerah kota tua, namun masih memperlihatkan sisi megah yang menyiratkan kejayaan masa lalu pemiliknya.
“Pemiliknya pasti sangat kaya hingga dapat memiliki gedung besar yang hampir semegah museum ini. Aku yakin bangunan ini bisa menjadi satu warisan bersejarah yang telah dipakai secara temurun-temurun dari pemilik lama perusahaan ini kepada orang yang sekarang yang mewarisinya,” pikirku.
Menurutku, bangunan bergaya klasik ini pastilah banyak menyimpan cerita. Atau bahkan peristiwa atas jatuh bangunnya bisnis keluarga kaya raya tersebut. Dan dalam suasana pagi yang cerah, aku sangat menikmati panorama bangunan tua ini. Namun aneh, tiba tiba sepertinya ada satu kekuatan lain yang menyergapku. Kirasakan seperti ada suara angin yang berhembus lembut, seolah-olah meniup daun telingaku. Sayup-sayup terdengar seperti suara desahan binatang buas di kejauhan yang terbawa angin.
“Ada apa sesungguhnya?” batinku. Kedua mataku, masih terus asik menikmati bangunan tua yang pasti adalah karya Bangsa Belanda itu, sebab arsitekturnya memang bergaya Eropa.
Sekilas, tampak gedung megah ini kurang terawatt. Jendela besar berkaca buram, kotor, begitu juga dengan koridor panjang yang melingkarinya. Semuanya terkesan kumuh serta sedikit agak angker. Bahkan, tangga ke lantai atas pun hanya disinari sebuah lampu neon yang cahanya mulai temaram.
Tak sengaja, pandanganku tertuju pada salah satu jendela yang paling kusam di lantai empat. Entah ruangan apa di atas sana. Sepertinya, ruangan itu hanya disinari oleh cahaya redup lampu 10 watt. Seketika itu juga semua pandanganku seakan diselimuti oleh hal yang berbau mistis, seolah-olah ada sepasang mata yang sedang bergerak mengawasiku dari atas sana.
“Mungkinkah penunggu gedung tua ini sedang mengawasi gerak-geriku,” bisiku dalam hati.
Lalu, segera kuabaikan pikiran itu. Kumantapkan tekadku yang ingin bekerja untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidupku.
“Tunggu sebentar lagi ya, Mas. Bos masih ada urusan. Mohon maaf agak lama menunggu.”
Suara merdu wanita muda mengagetkanku. Rupanya, tidak terasa aku sudah satu jam lebih menunggu untuk mendapat giliran masuk wawancara.
Ketika giliranku masuk, ternyata bos besar itu sedang menyantap makan siang dengan sangat rakusnya. Mulutnya dipenuhi makanan, kedua pipinya belepotan bumbu lauk-pauk, sementara kedua tangannya sibuk menyendok makanan dan memilah buah-buahan pencuci mulut yang ada di atas meja, seolah tak mempedulikan kehadiranku.
Aku kembali terpana melihat caranya makan. Hampir menyerupai seekor binatang buas yang baru saja mendapat mangsa. Aneh, bukankah dia seorang bos besar yang memiliki perusahaan bertaraf internasional? Tapi mengapa cara makannya seperti orang kelaparan?
“Ayo, silahkan duduk!” katanya menawariku. Lamunanku pun terputus. Dengan sungkan, aku segera duduk di depan meja kerjanya.
Sambil mencuri-curi pandang, kucoba amati keadaan ruang kerja sang bos. Sungguh aneh, ruangan besar itu hampir dipenuhi oleh umbo rampe (sesaji) yang sudah kering. Bahkan, nampak buah-buahan sesaji yang mulai membusuk hingga airnya menetes mengotori dinding serta karpet lantai. Aneka kue jajanan menjamur diatas meja. Tampak juga beberapa dupa yang masih menyala hingga asapnya memenuhi tiap sudut ruangan. Tak hanya itu, pada dinding serta langit-langit ruangan bergelantungan aneka jimat hingga menambah keunikan ruang kerja ini.
Kembali aku dibuat semakin takjub, manakala pandanganku mengarah pada sebuah patung besar setinggi hampir 2 meter yang dikelilingi banyak sesaji. Patung ini berdiri tegak disudut ruangan yang agak gelap. Aneh, siapakah laki-laki di depanku ini sebenarnya?
Saat bertanya jawab denganku, ternyata si bos ini memiliki sebentuk wajah yang agak aneh. Matanya menyerupai mata iblis seperti di film film animasi, sementara kedua alisnya naik ke atas bak alis para pendekar silat. Saat tersenyum pun dia lebih mirip menyeringai daripada senyuman, sembari memperlihatkan deretan giginya yang kotor serta tidak terawatt, bahkan masih dipenuhi sisa sisa makanan.
Sekalipun sangat aneh dan mengganggu pikiranku, namun aku terpaksa harus mengabaikan semua ini. Ya, demi mendapatkan sebuah pekerjaan!
Singkat cerita, aku memang diterima bekerja di kantor tersebut….
Setelah beberapa lama bekerja, baru kusadari kalau aku sebenarnya cuma jadi umpan kawan-kawan sekantor yang enggan lembur pada setiap kamis malam atau malam Jum’at. Ada apa sebenarnya?
“Hati hati dengan yang ada dilantai empat, Man!” bisik Larno, salah seorang teman sejawat yang baik padaku.
Aneh, peringatan ini bukan hanya datang dari Larno. Bahkan Pak Ishak, penjaga malam di gedung ini juga telah memperingatkanku agar tidak mencoba-coba naik ke lantai empat sendirian apabila hari telah gelap.
“Kamu pasti celaka, Nak!” tegasnya ketika aku meminta alasan larangan itu. Dia menambahkan, “Aku saja yang sudah 18 tahun bekerja disini tidak berani pergi kelantai empat sendirian, terlebih lagi malam hari.
Mulanya, aku tak serius menanggapi cerita-cerita itu. Hingga suatu malam, terjadilah peristiwa itu….
Malam itu, jarum jam telah menunjukan pukul 19.30. Hampir seluruh ruangan telah kosong. Suasana mendadak senyap, bahkan kemudian berganti angker. Di luar sana angin berhembus kencang disertai deru hujan.
Sendirian aku duduk terpaku di meja kerja ditemani dengan setumpuk tugas yang belum rampung. Aneh, tiba-tiba pikiranku melayang ke ruang sepi di lantai empat. Kulirik ruang sepi yang bersinar redup itu. Sepertinya, dari arah sana akan memunculkan satu bayangan, bahkan mungkin sesuatu yang mengerikan.
Aneh, tiba tiba sekelebat bayangan wanita tua melintas. Aku segera bangkit mengejarnya. Kucoba berjalan menuju munculnya bayangan tadi. Tapi, aku tak menumukan siapa-siapa.
Aku yakin telah melihat bayangan seorang nenek. Perempuan renta itu jalan tertatih tatih. Anehnya, dia menghilang di lorong gelap menuju lantai empat? Siapa gerangan perempuan tua berbaju kumal itu?
Bukannya merasa takut, kejadian ini justeru membuatku semakin penasaran. Segera saja kutelusuri lorong sepi yang terbentang panjang di depanku, sambil berharap sesosok nenek itu muncul lagi. Anehnya, tiba tiba terdengar suara perempuan sedang bercakap cakap di ujung koridor gelap ini. Siapa gerangan? Apa mungkin masih ada seorang staf wanita yang sedang menerima telepon?
Ketika aku dalam kebingungan, jantungku nyaris copot sebab tiba tiba ada sebuah tangan yang merengkuh bahuku. Ketika aku menoleh, di hadapanku telah berdiri seorang wanita muda. Dia tersenyum dingin sambil menyodorkan segenggam kertas.
“Mencari siapa, Mas?” tanyanya datar, disertai raut wajah dingin tanpa ekspresi.
Aku diam tergugu. Wanita itu kembali berkata, “Tolong fotocopy semua dokumen ini. Bisa kan?”
“Oh, tentu bisa!” jawabku pendek. Bulu kudukku meremang. Dalam hati aku bertanya, “Perempuan ini staff di bagian apa? Kok aku belum pernah melihatnya.”
“Ini dokumen penting, tidak semua orang bisa tahu!” katanya lagi.
Sambil berusaha menenangkan diri, aku menyahut, “Wah, kalau begitu saya jadi tahu dong, Mbak. Kan saya yang bantu fotocopynya!”
“Ini cuma daftar nama orang yang disuruh berkorban di sini, sekalipun mereka menolak. Ah, kasihan sekali mereka!” katanya lagi.
“Berkorban? Maksudnya untuk apa?” tanyaku, penasaran, sembari terus membolak balikan dokumen itu.
“Darah mereka!” jawabnya dengan suara yang agak tertahan.
Aku kaget bukan kepalang. Seketika pandanganku berubah gelap. Dan, ketika terang kembali, kulihat dia sudah menghilang. Lalu, sama-samar terdengar suara alunan pendek perempuan menyanyi dari arah lorong sepi ini.
Segera kuambil langkah seribu, setelah lebih dulu melemparkan kertas yang disebut dokumen tadi. Kubanting pintu dengan kencang. Aku lalu terduduk di depan meja kerjaku sambil mengatur nafas yang memburu tak karuan.
***

Gara-gara peristiwa ganjil itu, rasa penasaranku semakin bertambah. Apalagi, pagi setelah malamnya aku bertemu dengan sosok perempuan misterius itu ternyata ada karyawan yang meninggal. Apakah ini ada hubungannya dengan statemen perempuan misteruis itu?
Belakangan, aku memang melihat ada kejanggalan. Bila dihitung, hampir setiap minggu, satu persatu rekan kerja atau sanak saudara mereka ada saja yang meninggal. Menurut beberapa pegawai senior, setiap yang meninggal raut wajah mereka menyiratkan ada satu hal yang tidak wajar. Kabarnya, wajah jenazah tampak menghitam, punggung, tangan serta kakinya terdapat memar kebiruan, dan mata mereka terbuka, dengan rona wajah mereka seolah habis melihat sesuatu yang amat menakutkan.
Pernah juga terjadi sebuah peristiwa lucu namun menyeramkan. Suatu hari, ada salah seorang menejer di kantor ini yang kerasukan roh seorang perempuan muda. Sang roh mengaku bernama Karissa. Dia telah mati karena bunuh diri 100 tahun silam.
Lucunya, sang menejar yang bertubuh tambun dan galak itu, tiba tiba dapat berjalan sangat gemulai laksana perempuan. Tak hanya itu, suaranya juga berubah lembut khas wanita muda.
Nah, dari celoteh Karissa-lah cerita yang sebenarnya bergulir. Termasuk tentang para korban mahluk di lantai empat.
Karisasa yang meminjam mulut Pak Wahono, sang menejer itu, bercerita bahwa bos besar kami yang bernama Pak Paulus itu telah meminjam arwahnya sebagai budak suruhan untuk mendapatkan harta. Bahkan, untuk mengikat jiwa sesorang yang dia kehendaki untuk ditaklukan.
Arwah Karissa juga mengaku bahwa pada hari-hari tertentu dia akan diberi “suguhan khusus” oleh majikannya. Selain umbo rampe dan dupa wangi, dia juga menghisap sari makanan langsung dari perut Pak Paulus. Syaratnya, Pak Paulus harus memakan tiga jenis makan kesukaan Karissa dalam jumlah amat banyak. Mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Pak Paulus pernah kulihat makan dalam jumlah banyak dan nampak sangat rakus.
Aku juga pernah melihat dukun kepercayaan Pak Paulus datang ke lantai empat untuk mengadakan ritual semalam suntuk. Setelah itu, beredarlah cerita dari mulut orang dekatnya, bahwa Pak Paulus segera akan memecat beberapa orang karyawan, sebab menurut sang dukun mereka tidak cocok dan harus dienyahkan.
Yang terjadi selanjutnya, setelah kedatangan dukun itu, suasana di dalam kantor jadi makin kacau. Seringkali terjadi keributan diantara staff dan karyawan. Sejumlah peristiwa aneh juga terjadi. Mulai staff kerasukan, mengalami kecelakaan fatal hingga cacat, bahkan yang meninggal pun ada.
Selain itu, bisnis di perusahaan yang bergerak dalam industri garmen ini menjadi tersendat-sendat. Banyak hasil produksi yang tidak laku dijual bahkan dikembalikan karena rusak. Padahal, semua barang produksi yang dikirim ke costumer dalam keadaan baik tanpa cacat.
Kondisi semacam ini membuat pikiranku jadi tidak karuan. Hingga, pada suatu malam, ketika semua staff dan karyawan telah meninggalkan ruang kerjanya masing-masing, tinggalah aku sendiri tercenung di meja kerjaku. Ketika aku sedang membereskan dokumen yang masih tercecer, tiba tiba saja ada angin dingin menyapu pundakku.
Tidak berapa lama, samara-samar terdenar suara perempuan yang seolah sedang merapal doa. Seketika itu rasa takut di dalam hatiku muncul. Terlebih lagi, lama kelamaan suara itu semakin keras terdengar, meski tidak jelas mantra apa yang sedang dilantunkannya. Walau begitu, kucoba memberanikan diri bangkit lalu berjalan ke arah datangnya suara itu.
Kubuka pintu koridor ke lantai tiga, yang kuduga menjadi sumber suara. Seketika tercium semerbak wangi bunga sedap malam, serta aroma rokok klobot. Kuhentikan langkah untuk sekedar mengatur nafas, sambil menenangkan hatiku yang mulai dihantui rasa takut.
Hatiku pun kecut bukan main ketika sadar bahwa langkah ini telah sampai di trap tangga terakhir dari sepuluh anak tangga menuju ruangan laknat di lantai empat itu.
Sementara itu, suara rapalan mantera si perempuan semakin keras terdengar, diselingi oleh aroma semerbak bunga sedap malam, kemenyan serta anyir darah yang semakin menyengat hidungku.
Sejenak, aku berdiri terpaku di depan pintu kaca kusam yang membatasi pandanganku ke ruangan bagian dalam. Kaca patri bermotif burung elang membingkai sehelai pintu ruang laknat penuh misteri ini. Tanganku bergetar tak sabar ingin membuka pintunya.
Kudorong perlahan. Suara berderit engselnya seolah genderang perang yang memukul jantungku. Saat aku melangkah tertatih di dalam suasana temaram, aku mengenali gerak gerik sesosok mahluk besar kehitaman di bawah temaram lampu 5 watt. Kakiku pun terasa lemas! Sungguh, aku benar-benar melihat bagaimana makhluk itu sambil menggeram terus menggerogoti mangsanya dengan rakus.
Dalam keadaan sangat takut, aku mengenali kalau ternyata mahluk itu wujudnya separuh srigala separuh manusia. Dia sedang mengoyak-ngoyak sepotong daging merah dengan kuku hitam tajamnya .
Pes! Aneh, tiba tiba lampu di dalam ruangan itu padam. Aku terkejut dan hampir tidak bisa menguasai diri lagi. Bau anyir darah busuk itu sangat menyesakkan dada, hingga kepalaku pusing. Suara dengusan srigala besar yang menggeram dengan marah menghentak jantungku!
Dalam ruangan gelap itu aku tidak dapat berbuat apa-apa, selain membalikan badan menghambur keluar ruangan. Tapi binatang iblis itu tidak tinggal diam. Dia berusaha menangkpuku. Akupun terdorong keluar dari ruangan itu. Di ruangan yang lebar terang ini, aku cukup jelas melihat wajah serigala aneh itu, dengan seringai gigi tajamnya yang belumuran darah.
Akupun berteriak sekuat tenaga. Tidak sadar, kakiku terpeleset. Tubuhku terpelanting jatuh berguling guling menuruni anak tangga sampai ke lantai. Tak ayal lagi seluruh sendi di badanku terasa patah. Kepala ku pusing berat, Bersamaan dengan itu, di telingaku kembali terngiang suara perempuan pembaca mantera tadi. Sambil menahan sakit, aku segera berlari meninggalkan ruangan….
Seminggu setelah kejadian itu, suatu siang aku sedang merapikan beberapa barang yang tertumpuk di koridor gelap depan ruangan. Pak Paulus muncul dengan tiba tiba. Dia berjalan ke arahku dengan rona wajah yang tidak bersahabat. Aku segera aku bangkit untuk memberi salam. Tidak diduga dia malah mengancamku dengan kata-kata yang tidak mengenakan hati.
“Hei you!” katanya sambil menunjuk wajahku. “Gua orang kaya raya, gua ada uang banyak, ribuan setan, arwah leluhur bahkan jin manapun sudah gua panggil dan gua tundukkan, apalagi cuma you manusia kecil!” cecarnya dengan nada sinis.
“Gua, kasih you peringatan! Mahluk besar di lantai empat adalah pelindung gua, seluruh harta gua dia yang jaga, dia amat kuat luar biasa, tidak akan ada yang bisa kalahkan dia punya kekuatan!” bentaknya lagi.
“Karena mahluk mahluk itu gua jadi punya kekuatan besar lebih dari orang lain! Asal you tahu aja ya, gua gak bisa mati!!” lanjutnya dengan jumawa.
“So, jadi you jangan coba-coba ganggu dia punya tempat, apalagi you mau jadi pahlawan kesiangan di sini!” hardiknya pula.
“Kalau you masih butuh makan, you duduk en kerja baik baik seperti si bego lainnya atau you out saja dari sini!” kejarnya lagi sambil telunjuknya terus mendorong keningku keras-keras. Setelah itu dia pergi sambil masih terus mengumpat dengan kata-kata yang sangat kasar.
Penghinaan Pak Paulus memang sungguh menyakiti perasaanku. Harga diriku telah diinjak-injak olehnya. Namun, bukan ini alasan utamaku untuk berhenti bekerja. Demi Tuhan, sejak peristiwa malam itu, bayangan menyeramkan sosok srigala berbadan manusia itu selalu menghantuiku. Bahkan, dengus nafasnya yang berbau busuk itu serasa begitu dekat dengan hidung dan telingaku.
Walau aku sangat membutuhkan pekerjaan, namun kuputskan untuk segera hengkang dari kantor itu. Dan hari itu, aku kembali duduk di sofa depan ruangan Pak Paulus, menunggu giliran masuk seperti tempo hari. Tapi kali ini bukan untuk mengemis minda dipekerjaan, namun aku akan menyerahkan surat pengunduran diri resmi.
Tak lama kemudian aku diizinkan masuk. Ketika berhadapan dengannya, sedikitpun aku tidak mau melihat wajahnya yang amat serupa dengan iblis srigala di lantai empat itu. Sembari mejawab pertanyaannya, dalam hati kupanjatkan doa-doa pendek, serta berusaha tetap menjaga kesadaran pikiranku, agar tidak terpengaruh jampi-jampi lewat tatapan matanya yang tajam menusuk itu.
Sambil disertai dengan sumpah serapah dari mulut Pak Paulus, aku segera keluar meninggalkan ruangannya. Dengan nama Tuhan, aku segera tinggalkan kerajaan setan itu untuk kembali ke kehidupanku yang normal.
Demikianlah sepenggal kisah yang pernah kualami. Sejak 2 tahun meninggalkan perushaan itu, tak pernah sekalipun kudengar kisahnya. Entah apa yang terjadi dengan teman-temanku yang masih coba bertahan di sana. Kabarnya, perushaan garmen itu sudah di ambang kebangkrutan. Pak Paulus sendiri disebut-sebut lebih senang tinggal di villanya yang ada di Seminyak, Bali.

Saksi ( Pemilik Uang Balik )

Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:

Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….

Saksi ( Pemilik Uang Balik )

Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:

Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….

Derita Calon Tumbal Pesugihan

Fandi ( Nama Samaran ) tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa. Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fandi resah.
Keresahan Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya. Sementara di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya menunggu waktu untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin lari dari kenyataan itu.

Ditengah lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan itu tak mau pergi dari pelupuk matanya. Mereka terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama mereka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini.
Masih terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta bercak-bercak merah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Yani. Namun kenapa kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga kami.
Lamunan Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri, ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.
"Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah?" Tegur Fitri. "Atau kau sengaja berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?" Sambungnya lagi.
Tegur sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik bertanya.
"Bu, apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan," kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan. Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri sebenarnya sedikit was-was karena Fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan. Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan mengeluarkan mobil dari garasi.
Tak lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa yang akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh ayah Bu?" Tanya Fandi. "Pada saat ayah membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah 'kan cuma pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji seorang pegawai Asuransi bisa membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?" Tanya Fandi.
Fitri terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata Fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam.
"Sebenarnya ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya," jawab Fitri yang merasa senang anaknya telah mengetahuinya.
Fitri bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya.
Fandi semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong. Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.
"Bu....! Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi telah lancang, seharusnya Fandi tak boleh begitu."
"Tidak Fandi......!" Celetuk ibunya. "Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu," lanjutnya.
Dengan cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. "Cepat bu, katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Mudah-mudahan ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah mengetahui apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat ini tengah diincar ayah.
Ketakutan inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandipun seperti ibu. Tetapi apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta pertolongan. Biarlah kita pergi diam.-diam selagi masih ada kesempatan dan belum terlambat," jelas Fandi panjang lebar.
Betapa terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini menghimpit dadanya.
Sementara itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.
"Semua yang kau katakan adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu mengganggu pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban oleh ayahmu!" Jawab Fitri.
"Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari biasanya," ajak Fitri pada anaknya.
Fandi mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstater mobil dan segera meluncur pulang.
Sampai di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian. Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya.
Tak lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.
Malam nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi Fandi dicekam ketakutan menyaksikan purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya. Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.
"Bu, bu......! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya' dulu?"
Lama Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.
"Ayah.....! Ayah.....! Tolong ibu ayah!" Teriak Fandi.
Sasmito menghampiri Fandi sambil bertanya, "Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?"
"Lihat ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah."
Sasmito nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun didengar Fitri.
"Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!" Sasmito dan Fandi menangis sambil menjerit-jerit.
"Fitri jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!" Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya.
"Fandi.....! Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi. Maafkan ayah."
Sasmito berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang telah dijadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi merasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya. Kebencian itu muncul akibat perlakukan ayahnya yang tega menjadikan kedua adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya. Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.
"Ayah benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan adanya Tuhan!"
Makian Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segara memanggil para tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar menemui jenazah ibunya.
Tubuh Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin nampak jelas. Beberapa orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat sebuah tanda yang sudah ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya.
Esok harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan. Fandi, Sasmito dan seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.
Selesai pemakaman, Fandi nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya dijadikan tumbal.
Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami Sasmito. Perlahan-lahan Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata, "Kau akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu ayah lakukan demi kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung akibatnya."
Hati Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandipun segera keluar dari rumah tanpa mau disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi dirinya dan menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati dan perasaan tak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sambil terus berharap semoga nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu Pemilik Harta.

Derita Calon Tumbal Pesugihan

Fandi ( Nama Samaran ) tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa. Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fandi resah.
Keresahan Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya. Sementara di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya menunggu waktu untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin lari dari kenyataan itu.

Ditengah lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan itu tak mau pergi dari pelupuk matanya. Mereka terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama mereka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini.
Masih terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta bercak-bercak merah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Yani. Namun kenapa kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga kami.
Lamunan Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri, ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.
"Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah?" Tegur Fitri. "Atau kau sengaja berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?" Sambungnya lagi.
Tegur sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik bertanya.
"Bu, apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan," kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan. Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri sebenarnya sedikit was-was karena Fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan. Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan mengeluarkan mobil dari garasi.
Tak lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa yang akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh ayah Bu?" Tanya Fandi. "Pada saat ayah membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah 'kan cuma pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji seorang pegawai Asuransi bisa membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?" Tanya Fandi.
Fitri terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata Fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam.
"Sebenarnya ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya," jawab Fitri yang merasa senang anaknya telah mengetahuinya.
Fitri bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya.
Fandi semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong. Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.
"Bu....! Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi telah lancang, seharusnya Fandi tak boleh begitu."
"Tidak Fandi......!" Celetuk ibunya. "Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu," lanjutnya.
Dengan cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. "Cepat bu, katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Mudah-mudahan ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah mengetahui apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat ini tengah diincar ayah.
Ketakutan inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandipun seperti ibu. Tetapi apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta pertolongan. Biarlah kita pergi diam.-diam selagi masih ada kesempatan dan belum terlambat," jelas Fandi panjang lebar.
Betapa terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini menghimpit dadanya.
Sementara itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.
"Semua yang kau katakan adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu mengganggu pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban oleh ayahmu!" Jawab Fitri.
"Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari biasanya," ajak Fitri pada anaknya.
Fandi mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstater mobil dan segera meluncur pulang.
Sampai di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian. Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya.
Tak lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.
Malam nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi Fandi dicekam ketakutan menyaksikan purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya. Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.
"Bu, bu......! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya' dulu?"
Lama Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.
"Ayah.....! Ayah.....! Tolong ibu ayah!" Teriak Fandi.
Sasmito menghampiri Fandi sambil bertanya, "Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?"
"Lihat ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah."
Sasmito nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun didengar Fitri.
"Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!" Sasmito dan Fandi menangis sambil menjerit-jerit.
"Fitri jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!" Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya.
"Fandi.....! Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi. Maafkan ayah."
Sasmito berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang telah dijadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi merasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya. Kebencian itu muncul akibat perlakukan ayahnya yang tega menjadikan kedua adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya. Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.
"Ayah benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan adanya Tuhan!"
Makian Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segara memanggil para tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar menemui jenazah ibunya.
Tubuh Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin nampak jelas. Beberapa orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat sebuah tanda yang sudah ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya.
Esok harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan. Fandi, Sasmito dan seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.
Selesai pemakaman, Fandi nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya dijadikan tumbal.
Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami Sasmito. Perlahan-lahan Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata, "Kau akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu ayah lakukan demi kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung akibatnya."
Hati Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandipun segera keluar dari rumah tanpa mau disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi dirinya dan menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati dan perasaan tak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sambil terus berharap semoga nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu Pemilik Harta.