MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Kembalinya Tumbal Pesugihan

Sungguh ironis jika seorang anak yang merupakan permata hati dan tumpuan masa depan kedua orang tuanya, harus diserahkan kepada iblis durjana. Semua dilakukan hanya demi ketamakan akan harta dunia. Anak yang harusnya dijaga dan dibesarkan, justru dipersembahkan kepada makhluk seperti iblis laknat.
Berbicara menganai fenomena pesugihan, ingatan kita tak lepas dari masalah nyawa dan tumbal. Jika ingin kaya mendadak (konon) kita harus menukar secara timbal balik dengan setan yang dipuja itu. Setan memberi kita harta, dan kitapun harus memberikan sesuatu menurut keinginan si setan tersebut. Biasanya inilah yang kemudian disebut sebagai tumbal.

Tumbal itu biasanya bisa berupa barang ataupun nyawa. Semuanya tergantung permintaan si iblis. Bahkan tak menutup kemungkinan nyawa si pelaku berikut beberapa nyawa keluarganya sekaligus. Memang mengerikan. Kendati demikian, disinyalir banyak orang yang nekad melakukan kesesatan ini.
Bicara tumbal, ada pengalaman luar biasa yang dialami oleh seorang lelaki dari daerah Bogor yang kini telah berusia 55 tahun, yang sebut saja bernama Madin. Menurut pengakuannya, selama 15 tahun dia hidup tersiksa di alam Siluman Babi karena ditumbalkan oleh kedua orang tuanya demi meraih kekayaan. Setelah 15 tahun, berkat kuasa Illahu dia bisa pulang kembali ke keluargnya, Karena itu, terkuaklah aib kedua orang tuanya yang selama ini tak dia ketahui.
Tentu saja kepulangannya itu menjadi kegemparan seluruh kampungnya bahkan hingga saat ini pun masih banyak yang takut bila harus dekat-dekat dengannya, dengan alasan dia pernah mati, atau banyak yang mengatakan dirinya adalah mayat hidup. Bahkan tak terkecuali ibu kandungnya sendiri, sebab saat dia pulang ayahnya ternyata telah meninggal. Perempuan uzur itu sangat shock menerima kedatangan Madin yang baginya telah meninggal dunia.
Menurut penuturan Madin, kisahnya yang tragis itu dimulai ketika dia masih berusia 15 tahun. Sepertii biasa setiap hari dia mengembalakan empat ekor kambingnya di tepi hutan karet yang berbatasan langsung dengan sungai Cisadane, tak jauh dari kampungnya. Hal ini memang sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari mengingat orang tuanya sudah tak mampu menyekolahkannya lagi setamat SD, karena kemiskinan keluarganya. Hanya empat ekor kambing inilah harta satu-satunya yang dimiliki keluarga Madin.
Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan yang harus menghidupi ibu serta empat adiknya yang lain, termasuk dirinya.
Hari itu, ketika matahari sudah mulai menuju peraduannya di ujung barat, angin sepoi yang datang dari lembah Cisadane, hampir saja memejamkan mata Madin yang sedari tadi duduk di bawah sebatang pohon karet sambil mengawasi kambingnya dari jauh.
Namun rasa kantuknya dikejutkan oleh deheman seseorang yang tiba-tiba saja telah berdiri tegak di sampingnya. Orang tersebut dalam Bahasa Sunda mengenalkan dirinya dengan nama Pak Saman.  Lelaki berpakaian ala pendekar ini membawa pesan, yakni agar si Madin bersedia ikut dengannya ke rumahnya atas perintah bapaknya sendiri.
“Bapakmu sudah menunggumu di sana, dia ada di rumah kami!” Ujar lelaki berkulit gelap tersebut.
Seperti di hipnotis, Madin menurut saja. Bahkan dia lupa dengan kambing-kambingnya.
Ketika tiba ditempat yang dituju, ternyata rumah orang tersebut sungguh sangat besar, seperti laiknya sebuah istana kecil. Namun begitu tiba di sana Madin tak melihat ayahnya.
“O…ternyata bapakmu sudah pulang, Nak. Katanya kamu disuruh menunggu di sini sampai bapakmu menjemput,” kata lelaki tadi sekembalinya dari sebuah ruangan.
Madin bingung. Dia mulai curiga. Karena bingung, dia mulai kasak-kasuk bertanya pada orang-orang yang bekerja di rumah itu yang jumlahnya sangat banyak. Ya, sebuah rumah dengan puluhan bahkan ratusan pembantu, adalah sungguh sangat aneh.
Tapi tetap tak ada jawaban, sebab orang-orang itu semuanya seperti bisu. Tiap kali ditanya, mereka hanya menggeleng dan memandang dengan hampa. Bahkan, Madin melihat mereka hanya bekerja dan bekerja.
Sehari dua hari Madin dibiarkan tak mengerjakan apapun seperti orang-orang itu. Namun, menginjak seminggu, dia dikejutkan oleh suara yang menggeledek, yang menghardiknya agar bekerja seperti yang lain.
“Kamu di sini disuruh bekerja oleh Bapakmu. Bukan duduk santai dan melamun terus,” bentak orang itu sembari menendang bokong Madin dengan kerasnya.
Rasa sakit luar biasa akibat tendangan itu membuatnya sangat takut. Sedangkan orang yang beberapa waltu lalu menjemputnya tak lagi menampakkan batang hidungnya. Akhirnya, lambat laun Madin mulai merasa bahwa dia telah ditipu orang yang mengaku bernama Pak Saman itu.
Karena ketakutan yang teramat sangat, dengan berat hati dan cucuran air mata, Madin terpaksa bekerja keras di tempat itu seolah tanpa henti. Dikatakan tanpa henti sebab seolah tempat itu tak ada pergantian hari siang ataupun malam.
Hari-hari kelam itu dia lewati dengan cucuran keringat tiada henti. Semua pekerja, termasuk Madin di dalamnya, baru berhenti tatkala tiba saatnya makan. Malangnyam, makan saja dijatah dua kali sehari pagi dan beberapa jam kemudian.
“Entahlah siang atau sore kami tak bisa membedakannya,” cetus Madin, mengingat saat itu.
Ketika ditanya apa saja yang dikerjakannya di tempat itu, Madin menjawab kerja apa saja. Mulai dari membangun rumah, mencuci dan masih banyak lagi termasuk membersihkan kandang babi.
“Banyak babi berkeliaran di tempat itu, mereka seolah menjadi tuan bagi kami,” kenangnya lagi.
Kira-kira sebulan kemudian, Madin baru melihat jika di ruangan lain atau tempat lain ada pemandangan memilukan. Banyak anak-anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan sambil menangis mereka bekerja mengepel lantai. Bahkan anak-anak itu dibiarkan saling cakar mencakar satu dengan yang lainnya sampai berdarah-darah.
“Mereka, anak-anak yang masih suci itu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa. Semoga Allah melaknat iblis terkutuk itu!” Ingat Madin dengan mimik menegang,  menahan amarah akan kenangan yang sangat pahit dan menegangkan itu.
Madin saat itu terus bekerja dan bekerja bersama puluhan orang lainnya dari segala umur. Tempat itu benar-benar seperti neraka bagi orang-orang yang belum tentu mengerti mengapa mereka bisa berada di sana. Mereka bekerja untuk siapa? Dan apa salah mereka sebenarnya?
Berminggu, berbulan dan hampir enam bulan Madin bersama orang-orang malang itu terus bekerja yang sekalipun tak pernah mendapatkan makan enak apa lagi digaji….
***
Kita kembali saat Madin hilang ketika menggembala kambingnya beberapa waktu sebelumnya, di hutan dekat dengan aliran sungai Cisadane. Ketika itu berita tak pulangnya Madin ke rumah bersama kambing-kambing gambalaannya menjadi kegemparan seluruh warga desa.
Kedua orang tua Madin pun ikut panik dan menangis demi mengetahui Madin tak pulang hingga larut malam. Setelah disepakati oleh beberapa pemuka desa akhirnya rombongan sesepuh desa dibantu beberapa pemuda menyusul atau mencari Madin di tempat biasa mengembalakan ternaknya.
Memang tak begitu sulit menemukan tempat itu, tapi para penduduk tak menemukan Madin. Hanya empat ekor kambingnya saja yang ada di tempat itu. Setelah dijelajahi areal hutan di sekitar tempat itu, nyatanya para penduduk tak menemukan juga jejak Madin.
Akhirnya, mereka pulang dengan hanya membawa empat ekor kambing saja. Sesampai di rumah kedua orang tua Madin hanya mampu menangis dan tak bisa berbuat apa-apa. Namun, belakangan diketahui kalau Madin sesunguhya anak angkat kedua orang tua itu. Dulu mereka tak punya anak, sehingga Madin diangkat sebagai anak. Setelah mengangkat Madin sebagai anak, barulah Ibu Madin mengandung ketiga anaknya yang lain.
Baru keesokan harinya, seorang penderes getah karet mengabarkan penemuan seorang mayat di semak-semak di tengah hutan dengan penuh luka. Mayat itu tak lain adalah Madin. Para penduduk mengira, dan diperkuat oleh analisa dokter, jika Madin tewas karena diserang binatang buas. Hal itu ditandai beberapa luka serudukan binatang dan beberapa helai bulu babi hutan yang masih menempel di kaosnya.
Berita kematian Madin makin membuat gempar desa. Bahkan ibunya beberapa kali jatuh pingsan. Entah pura-pura pingsan, atau memang dia menyesal karena telah melakukan semua itu demi kekayaan. Yang pasti saat itu juga jenazah Madin langsung dikuburkan.
***
Selama waktu berjalan, kematian Madin sedikit-demi sedikit mulai hilang dari ingatan seluruh warga desa. Setelah lima belas tahun sejak kematian Madin, warga desa pun benar-benar lupa dengan kisah tragis seorang anak rajin itu. Bahkan saat ayahnya meninggal, khabar tentang Madin sudah di lupakan orang.
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal, kegemparan luar biasa kembali terjadi. Di desa itu tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah baya yang mengaku bernama Madin, anak yang dikabarkan meninggal dunia lima belas tahun lalu akibat diseruduk babi hutan.
Tak ada yang percaya jika dia benar-benar Madin yang sudah mati. Namun, sejumlah warga desa yang menjadi saksi peristiwa lima belas tahun silam itu mulai peracaya. Hal itu ditandai dengan beberapa tanda di antaranya kaos yang dipakai Madin ketika hilang dulu walau kini sudah hampir hancur dan terasa kesempitan begitu juga celananya walau sudah compang-camping, namun masih dikenakan oleh Madin.
Akhirnya, sebagian penduduk percaya jika itu benar-benar Madin. Acara selamatan pun digelar dan dari sinilah awal kisah ini meluncur dari mulut Madin sendiri.
Walau begitu, tak sedikit pula orang yang takut berdekatan dengan Madin yang dibilang mayat hidup. Menggapa hal itu bisa terjadi dan siapakah yang mati itu…?
Saat Madin masih berada di alam siluman babi yang menurutnya hanya enam bulan itu, padahal yang sesungguhnya sudah selama 15 tahun, tiba-tiba ada kegaduhan di istana babi. Rumah besar bak istana itu, tiba-tiba bergetar hebat seperti gempa.
Orang-orang berlarian menyelamatkan diri termasuk Madin. Dalam pelariannya di antara guncangan tanah, telinganya mendengar sebuah “lagu” yang pernah di dengarnya walau dia sudah sangat lupa.
Ketika dia dengarkan dengan seksama, Madin baru ingat jika lagu itu ternyata suara Adzan pertanda ajakan sholat. Dalam kepanikannya dia mengikuti suara dan menirukan adzan itu dengan linangan air mata.
Bumi makin bergoncang hebat, tanah di sekitarnya seperti beterbangan ditiup topan. Tiba-tiba terdengar gemuruh seperti topan menerjang yang meluluh-lantakkan tempat itu hingga Madin jatuh dalam kegelalapan.
Di saat kesadarannya kembali, dia sudah berada di tengah hutan dan tak jauh darinya dia menemui orang tua bersorban yang ternyata orang inilah yang mengumandangkan adzan.
Begitu selesai, Madin segera merangkak dan memanggil orang tua bersorban itu. Orang tua tersebut seperti kaget dan bingung, seperti halnya Madin.
Menurut penuturan orang tua itu, dia mencari seorang bocah perempuan yang konon diculik lelembut hutan karet ini. Tapi yang muncul justru Madin. Namun, orang tua bijak tersebut sudah mulai menangkap arti semua ini.
Dengan menyebut kebesaran Allah, Madin di antarnya ke tepi hutan dan menyuruhnya pulang. Siapakah gerangan orang tua ini?
Ternyata, orang tua tersebut adalah Haji Sapri, warga desa jauh yang dimintai tolong oleh keluarga si bocah perempuan yang hilang itu untuk menemukan puterinya yang hilang secara misterius. Dengan kelebihan yang dimiliki serta karomah yang ada pada Haji Sapri, dia memastikan jika bocah perempuan itu hilang di sekitar tempat ini.
Maka di tempat munculnya Madin yakin di tengah hutan karet inilah Haji Sapri berdoa serta mengumandangkan adzan. Namun tanpa diduga dia justru menemukan Madin, padahal tujuan semula Pak Haji mencari bocah perempuan itu.
“Ini adalah sebuah mukjizat Allah bagi umatnya yang beriman, dan Haji Sapri adalah salah satu umatNya yang diberi karomah,” cetus Madin mengenang Haji Sapri telah meninggal beberapa waktu silam.
Bukan itu saja, belakangan ternyata atas kuasa Allah pula bocah itupun diketemukan lewat Haji Sapri. Bocah itu ternyata dibawa makhluk halus di tepi hutan dekat dengan jalan raya, tepanya dedemit penunggu pohon Tembesi.
Dan, Madipun baru mengetahui jika “kematiannya” adalah karena ditumbalkan oleh orang yang silau akan dunia. Ternyata orang tua angkatnya memuja siluman babi demi kekayaan. Semoga peristiwa ini mengajarkan suatu hikmah bagi kita akan keberasan Allah. Dan janganlah sekali-kali berbuat syirik padaNya

Kembalinya Tumbal Pesugihan

Sungguh ironis jika seorang anak yang merupakan permata hati dan tumpuan masa depan kedua orang tuanya, harus diserahkan kepada iblis durjana. Semua dilakukan hanya demi ketamakan akan harta dunia. Anak yang harusnya dijaga dan dibesarkan, justru dipersembahkan kepada makhluk seperti iblis laknat.
Berbicara menganai fenomena pesugihan, ingatan kita tak lepas dari masalah nyawa dan tumbal. Jika ingin kaya mendadak (konon) kita harus menukar secara timbal balik dengan setan yang dipuja itu. Setan memberi kita harta, dan kitapun harus memberikan sesuatu menurut keinginan si setan tersebut. Biasanya inilah yang kemudian disebut sebagai tumbal.

Tumbal itu biasanya bisa berupa barang ataupun nyawa. Semuanya tergantung permintaan si iblis. Bahkan tak menutup kemungkinan nyawa si pelaku berikut beberapa nyawa keluarganya sekaligus. Memang mengerikan. Kendati demikian, disinyalir banyak orang yang nekad melakukan kesesatan ini.
Bicara tumbal, ada pengalaman luar biasa yang dialami oleh seorang lelaki dari daerah Bogor yang kini telah berusia 55 tahun, yang sebut saja bernama Madin. Menurut pengakuannya, selama 15 tahun dia hidup tersiksa di alam Siluman Babi karena ditumbalkan oleh kedua orang tuanya demi meraih kekayaan. Setelah 15 tahun, berkat kuasa Illahu dia bisa pulang kembali ke keluargnya, Karena itu, terkuaklah aib kedua orang tuanya yang selama ini tak dia ketahui.
Tentu saja kepulangannya itu menjadi kegemparan seluruh kampungnya bahkan hingga saat ini pun masih banyak yang takut bila harus dekat-dekat dengannya, dengan alasan dia pernah mati, atau banyak yang mengatakan dirinya adalah mayat hidup. Bahkan tak terkecuali ibu kandungnya sendiri, sebab saat dia pulang ayahnya ternyata telah meninggal. Perempuan uzur itu sangat shock menerima kedatangan Madin yang baginya telah meninggal dunia.
Menurut penuturan Madin, kisahnya yang tragis itu dimulai ketika dia masih berusia 15 tahun. Sepertii biasa setiap hari dia mengembalakan empat ekor kambingnya di tepi hutan karet yang berbatasan langsung dengan sungai Cisadane, tak jauh dari kampungnya. Hal ini memang sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari mengingat orang tuanya sudah tak mampu menyekolahkannya lagi setamat SD, karena kemiskinan keluarganya. Hanya empat ekor kambing inilah harta satu-satunya yang dimiliki keluarga Madin.
Ayahnya hanyalah seorang buruh serabutan yang harus menghidupi ibu serta empat adiknya yang lain, termasuk dirinya.
Hari itu, ketika matahari sudah mulai menuju peraduannya di ujung barat, angin sepoi yang datang dari lembah Cisadane, hampir saja memejamkan mata Madin yang sedari tadi duduk di bawah sebatang pohon karet sambil mengawasi kambingnya dari jauh.
Namun rasa kantuknya dikejutkan oleh deheman seseorang yang tiba-tiba saja telah berdiri tegak di sampingnya. Orang tersebut dalam Bahasa Sunda mengenalkan dirinya dengan nama Pak Saman.  Lelaki berpakaian ala pendekar ini membawa pesan, yakni agar si Madin bersedia ikut dengannya ke rumahnya atas perintah bapaknya sendiri.
“Bapakmu sudah menunggumu di sana, dia ada di rumah kami!” Ujar lelaki berkulit gelap tersebut.
Seperti di hipnotis, Madin menurut saja. Bahkan dia lupa dengan kambing-kambingnya.
Ketika tiba ditempat yang dituju, ternyata rumah orang tersebut sungguh sangat besar, seperti laiknya sebuah istana kecil. Namun begitu tiba di sana Madin tak melihat ayahnya.
“O…ternyata bapakmu sudah pulang, Nak. Katanya kamu disuruh menunggu di sini sampai bapakmu menjemput,” kata lelaki tadi sekembalinya dari sebuah ruangan.
Madin bingung. Dia mulai curiga. Karena bingung, dia mulai kasak-kasuk bertanya pada orang-orang yang bekerja di rumah itu yang jumlahnya sangat banyak. Ya, sebuah rumah dengan puluhan bahkan ratusan pembantu, adalah sungguh sangat aneh.
Tapi tetap tak ada jawaban, sebab orang-orang itu semuanya seperti bisu. Tiap kali ditanya, mereka hanya menggeleng dan memandang dengan hampa. Bahkan, Madin melihat mereka hanya bekerja dan bekerja.
Sehari dua hari Madin dibiarkan tak mengerjakan apapun seperti orang-orang itu. Namun, menginjak seminggu, dia dikejutkan oleh suara yang menggeledek, yang menghardiknya agar bekerja seperti yang lain.
“Kamu di sini disuruh bekerja oleh Bapakmu. Bukan duduk santai dan melamun terus,” bentak orang itu sembari menendang bokong Madin dengan kerasnya.
Rasa sakit luar biasa akibat tendangan itu membuatnya sangat takut. Sedangkan orang yang beberapa waltu lalu menjemputnya tak lagi menampakkan batang hidungnya. Akhirnya, lambat laun Madin mulai merasa bahwa dia telah ditipu orang yang mengaku bernama Pak Saman itu.
Karena ketakutan yang teramat sangat, dengan berat hati dan cucuran air mata, Madin terpaksa bekerja keras di tempat itu seolah tanpa henti. Dikatakan tanpa henti sebab seolah tempat itu tak ada pergantian hari siang ataupun malam.
Hari-hari kelam itu dia lewati dengan cucuran keringat tiada henti. Semua pekerja, termasuk Madin di dalamnya, baru berhenti tatkala tiba saatnya makan. Malangnyam, makan saja dijatah dua kali sehari pagi dan beberapa jam kemudian.
“Entahlah siang atau sore kami tak bisa membedakannya,” cetus Madin, mengingat saat itu.
Ketika ditanya apa saja yang dikerjakannya di tempat itu, Madin menjawab kerja apa saja. Mulai dari membangun rumah, mencuci dan masih banyak lagi termasuk membersihkan kandang babi.
“Banyak babi berkeliaran di tempat itu, mereka seolah menjadi tuan bagi kami,” kenangnya lagi.
Kira-kira sebulan kemudian, Madin baru melihat jika di ruangan lain atau tempat lain ada pemandangan memilukan. Banyak anak-anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan sambil menangis mereka bekerja mengepel lantai. Bahkan anak-anak itu dibiarkan saling cakar mencakar satu dengan yang lainnya sampai berdarah-darah.
“Mereka, anak-anak yang masih suci itu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa. Semoga Allah melaknat iblis terkutuk itu!” Ingat Madin dengan mimik menegang,  menahan amarah akan kenangan yang sangat pahit dan menegangkan itu.
Madin saat itu terus bekerja dan bekerja bersama puluhan orang lainnya dari segala umur. Tempat itu benar-benar seperti neraka bagi orang-orang yang belum tentu mengerti mengapa mereka bisa berada di sana. Mereka bekerja untuk siapa? Dan apa salah mereka sebenarnya?
Berminggu, berbulan dan hampir enam bulan Madin bersama orang-orang malang itu terus bekerja yang sekalipun tak pernah mendapatkan makan enak apa lagi digaji….
***
Kita kembali saat Madin hilang ketika menggembala kambingnya beberapa waktu sebelumnya, di hutan dekat dengan aliran sungai Cisadane. Ketika itu berita tak pulangnya Madin ke rumah bersama kambing-kambing gambalaannya menjadi kegemparan seluruh warga desa.
Kedua orang tua Madin pun ikut panik dan menangis demi mengetahui Madin tak pulang hingga larut malam. Setelah disepakati oleh beberapa pemuka desa akhirnya rombongan sesepuh desa dibantu beberapa pemuda menyusul atau mencari Madin di tempat biasa mengembalakan ternaknya.
Memang tak begitu sulit menemukan tempat itu, tapi para penduduk tak menemukan Madin. Hanya empat ekor kambingnya saja yang ada di tempat itu. Setelah dijelajahi areal hutan di sekitar tempat itu, nyatanya para penduduk tak menemukan juga jejak Madin.
Akhirnya, mereka pulang dengan hanya membawa empat ekor kambing saja. Sesampai di rumah kedua orang tua Madin hanya mampu menangis dan tak bisa berbuat apa-apa. Namun, belakangan diketahui kalau Madin sesunguhya anak angkat kedua orang tua itu. Dulu mereka tak punya anak, sehingga Madin diangkat sebagai anak. Setelah mengangkat Madin sebagai anak, barulah Ibu Madin mengandung ketiga anaknya yang lain.
Baru keesokan harinya, seorang penderes getah karet mengabarkan penemuan seorang mayat di semak-semak di tengah hutan dengan penuh luka. Mayat itu tak lain adalah Madin. Para penduduk mengira, dan diperkuat oleh analisa dokter, jika Madin tewas karena diserang binatang buas. Hal itu ditandai beberapa luka serudukan binatang dan beberapa helai bulu babi hutan yang masih menempel di kaosnya.
Berita kematian Madin makin membuat gempar desa. Bahkan ibunya beberapa kali jatuh pingsan. Entah pura-pura pingsan, atau memang dia menyesal karena telah melakukan semua itu demi kekayaan. Yang pasti saat itu juga jenazah Madin langsung dikuburkan.
***
Selama waktu berjalan, kematian Madin sedikit-demi sedikit mulai hilang dari ingatan seluruh warga desa. Setelah lima belas tahun sejak kematian Madin, warga desa pun benar-benar lupa dengan kisah tragis seorang anak rajin itu. Bahkan saat ayahnya meninggal, khabar tentang Madin sudah di lupakan orang.
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal, kegemparan luar biasa kembali terjadi. Di desa itu tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah baya yang mengaku bernama Madin, anak yang dikabarkan meninggal dunia lima belas tahun lalu akibat diseruduk babi hutan.
Tak ada yang percaya jika dia benar-benar Madin yang sudah mati. Namun, sejumlah warga desa yang menjadi saksi peristiwa lima belas tahun silam itu mulai peracaya. Hal itu ditandai dengan beberapa tanda di antaranya kaos yang dipakai Madin ketika hilang dulu walau kini sudah hampir hancur dan terasa kesempitan begitu juga celananya walau sudah compang-camping, namun masih dikenakan oleh Madin.
Akhirnya, sebagian penduduk percaya jika itu benar-benar Madin. Acara selamatan pun digelar dan dari sinilah awal kisah ini meluncur dari mulut Madin sendiri.
Walau begitu, tak sedikit pula orang yang takut berdekatan dengan Madin yang dibilang mayat hidup. Menggapa hal itu bisa terjadi dan siapakah yang mati itu…?
Saat Madin masih berada di alam siluman babi yang menurutnya hanya enam bulan itu, padahal yang sesungguhnya sudah selama 15 tahun, tiba-tiba ada kegaduhan di istana babi. Rumah besar bak istana itu, tiba-tiba bergetar hebat seperti gempa.
Orang-orang berlarian menyelamatkan diri termasuk Madin. Dalam pelariannya di antara guncangan tanah, telinganya mendengar sebuah “lagu” yang pernah di dengarnya walau dia sudah sangat lupa.
Ketika dia dengarkan dengan seksama, Madin baru ingat jika lagu itu ternyata suara Adzan pertanda ajakan sholat. Dalam kepanikannya dia mengikuti suara dan menirukan adzan itu dengan linangan air mata.
Bumi makin bergoncang hebat, tanah di sekitarnya seperti beterbangan ditiup topan. Tiba-tiba terdengar gemuruh seperti topan menerjang yang meluluh-lantakkan tempat itu hingga Madin jatuh dalam kegelalapan.
Di saat kesadarannya kembali, dia sudah berada di tengah hutan dan tak jauh darinya dia menemui orang tua bersorban yang ternyata orang inilah yang mengumandangkan adzan.
Begitu selesai, Madin segera merangkak dan memanggil orang tua bersorban itu. Orang tua tersebut seperti kaget dan bingung, seperti halnya Madin.
Menurut penuturan orang tua itu, dia mencari seorang bocah perempuan yang konon diculik lelembut hutan karet ini. Tapi yang muncul justru Madin. Namun, orang tua bijak tersebut sudah mulai menangkap arti semua ini.
Dengan menyebut kebesaran Allah, Madin di antarnya ke tepi hutan dan menyuruhnya pulang. Siapakah gerangan orang tua ini?
Ternyata, orang tua tersebut adalah Haji Sapri, warga desa jauh yang dimintai tolong oleh keluarga si bocah perempuan yang hilang itu untuk menemukan puterinya yang hilang secara misterius. Dengan kelebihan yang dimiliki serta karomah yang ada pada Haji Sapri, dia memastikan jika bocah perempuan itu hilang di sekitar tempat ini.
Maka di tempat munculnya Madin yakin di tengah hutan karet inilah Haji Sapri berdoa serta mengumandangkan adzan. Namun tanpa diduga dia justru menemukan Madin, padahal tujuan semula Pak Haji mencari bocah perempuan itu.
“Ini adalah sebuah mukjizat Allah bagi umatnya yang beriman, dan Haji Sapri adalah salah satu umatNya yang diberi karomah,” cetus Madin mengenang Haji Sapri telah meninggal beberapa waktu silam.
Bukan itu saja, belakangan ternyata atas kuasa Allah pula bocah itupun diketemukan lewat Haji Sapri. Bocah itu ternyata dibawa makhluk halus di tepi hutan dekat dengan jalan raya, tepanya dedemit penunggu pohon Tembesi.
Dan, Madipun baru mengetahui jika “kematiannya” adalah karena ditumbalkan oleh orang yang silau akan dunia. Ternyata orang tua angkatnya memuja siluman babi demi kekayaan. Semoga peristiwa ini mengajarkan suatu hikmah bagi kita akan keberasan Allah. Dan janganlah sekali-kali berbuat syirik padaNya

Gara-Gara Hutang Anak Jadi Tumbal Pesugihan

Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.

Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia  hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.

Gara-Gara Hutang Anak Jadi Tumbal Pesugihan

Sesungguhnya, kemiskinan yang menimpa hidup manusia adalah bagian dari cobaan dan ujian. Karena itu kita tidak perlu merasa sedih dan putus asa. Yang terpenting adalah menghadapinya dengan penuh kesabaran dan tetap berikhtiar atau berusaha melalui jalan yang diridhoi Tuhan.
Ingatlah, tak ada makhluk di dunia ini yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah. Lagi pula Allah juga tidak akan membebani manusia dengan kesuliatan hidup yang melebihi kemampuannya. Berusaha dengan sungguh-sungguh disertai dengan doa yang khusuk kepada Allah niscaya akan diberikan jalan kelapangan dan kemudahan.

Mungkin itulah yang seharusnya dilakukan oleh Sugiyanto saat dibelit kesulitan ekonomi yang memberatkan hidupnya. Tapi sayang, akalnya yang pendek, ditambah dengan keimanannya yang lemah, membuat dia nekad menemui seorang dukun sesat. Nah, dari sinilah kisah menyedihkan, sekaligus mengerikan dijalani oleh Sugiyanto.
Bagaimanakah kisah selengkapnya? Kepada Misteri Sugiyanto menceritakan pengalamannya yang terjadi beberapa tahun silam itu…
Pengalaman yang sangat mencekam dan seumur-umur tidak akan pernah bisa dia lupakan ini sunggu tak ingin diulanginya lagi. Bila mengingatnya, Sugiyanto jadi merinding dan ngeri bukan main. Rasa penyelasan begitu berat menyelimuti hatinya. Ucapan istigfar tak henti-hentinya terucap dari bibirnya yang kering.
Ya, masih terbayang dalam ingatannya adegan sadis dan menyeramkan yang terpampang di hadapan matanya itu. Dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan perempuan tua itu memotong-motong tubuh bayi yang masih merah, lalu dengan rakus memakan dagingnya. Dimulai dari kaki, tangan, sampai jantung si bayi yang hanya sebesar buah sawo.
Begitu lahapnya dukun tua itu menyantap tiap bagian tubuhnya, sehingga tak ubahnya seperti sedang menikmati daging ayam goreng. Apakah perempuan tua itu seorang kanibal?
Sugiyanto pernah mendengar tentang kasus mutilasi yang terjadi di tengah masyarakat. Tapi baru kali ini dia melihatnya secara langsung. Bahkan rasanya ini lebih sadis dan tak berperikemanusiaan. Bayangkan, daging bayi dijadikan santapan lezat.
Huak! Sugiyanto sampai tak kuat melihatnya dan ingin muntah. Tapi dia mencoba untuk menahan diri dan tetap diam. Dia hanya bisa menelan rasa jijik itu.
Tiba-tiba, sebuah perasaan bersalah dan berdosa menghujami dadanya. Dia sadar, apa yang telah diperbuatnya ini telah melanggar hukum negara. Lebih dari itu, mengingkari norma agama yang dianutnya.
Tapi apa boleh buat. Sebuah tuntutan, atau lebih tepatnya keterdesakan membuat dia tak punya pilihan lain. Hutangnya yang menumpuk dan telah jatuh tempo harus segera dia lunasi. Bahkan, salah seorang rentenir lewat debt kolektornya mengancam akan menghabisi nyawanya bila dia tak segera melunasi hutangnya.
Dalam keadaan bingung, kacau, putus asa, dan tertekan, Sugiyanto kemudian lari kepada seorang dukun sakti yang konon bisa membantu kesulitannya.
Ssebelumnya, dia memperoleh informasi dari salah seorang kenalannya bahwa di tengah hutan Sonoloyo yang terkenal angker dan wingit, tinggal seorang perempuan tua sakti bernama Nyi Saketi. Konon, siapa saja yang bertemu dengannya dan meminta bantuannya maka bakal dikabulkan. Dengan catatan, mau menjalankan segala apa yang diperintahkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat berat dan melelahkan, akhirnya Sugiyanto berhasil bertemu Nyai Saketi. Perempuan tua itu tinggal sendirian di sebuah gubuk reot di tengah hutan.
Begitu sampai di hadapannya Sugiyanto langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Nyai Saketi mengangguk-angguk. Dia lalu mengemukakan sebuah syarat kepada Sugiyanto untuk membawakan bayi merah yang masih hidup atau baru saja mati. Bayi itu nantinya akan dijadikan tumbal untuk memenuhi permintaan Sugiyanto.
Sebenarnya, sangat berat bagi Sugiyanto memenuhi perimintaan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain akhirnya dia menyanggupi. Dia lalu kembali ke kota dan berusaha mencari bayi seperti yang diminta Nyai Saketi.
Agar memudahkan usahanya, Sugyanto hilir mudik di sekitar rumah sakit bersalin. Sempat ada niat untuk menculik bayi yang baru dilahirkan biar lebih cepat, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut ketahuan dan dipenjara. Lagi pula kasihan orang tua si bayi.
Secara kebetulan di sebuah klinik bersalin ada seorang ibu melahirkan bayinya dan mati. Dengan pura-pura sebagai kerabatnya, Sugiyanto mengambil bayi yang telah meninggal itu. Dia membungkus bayi itu dengan kain dan memasukkannya dalam tas. Pikirnya, orang tua sang bayi tak akan begitu kehilangan sebab bayinya sudah meninggal. Lagi pula, Nyai Saketi sendiri tak keberatan menerima bayi yang sudah meninggal.
Saat itu Sugiyanto merasa tidak bersalah. Dia kembali ke gubuk Nyai Saketi dan menyerahkan mayat bayi yang baru berusia beberapa jam itu. Tadinya Sugiyanto berpikir, mayat bayi itu hanya akan dijadikan sesaji dan kemudian dikubur. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Sugiyanto terkejut, tertegun, sekaligus ngeri. Bayangkan, tanpa banyak kata Nyai Saketi memotong-motong tubuh bayi yang masih merah itu dan memakan tiap potongnya seperti layaknya memakan ayam goreng.
Perut Sugiyanto jadi mual dan eneg. Tapi dia  hanya bisa terdiam dan tak berusaha mencegah perbuatan Nyai Saketi. Tampak mulut Nyai Saketi berselemotkan darah.
Mungkin karena sudah kekenyangan, Nyai Saketi tidak memakan semua tubuh sang bayi. Dia hanya memakan tangan, kaki, dan jantungnya. Selebihnya dia meminta Sugiyanto untuk mengubur jasad sang bayi.
Dengan tangan gemetar dan perasaan bercampur aduk tak karuan, Sugiyanto mengubur tubuh mungil itu. Dia masih belum mengerti, apa maksud dari tindakan Nyai Saketi dengan memakan mayat bayi.
Ya, Sugiyanto hanya bisa memendam perasaan tidak mengerti itu dalam hatinya. Dia mencoba tak memusingkan hal itu. Yang lebih penting adalah realisasi dari janji Nyai Saketi yang akan membantu kesulitan hidupnya.
“Lalu, bagaimana dengan permintaan saya, Nyai?” tanya Sugiyanto memberanikan diri.
“Pulanglah! Apa yang kamu inginkan sudah terpenuhi. Hutang-hutangmu bakal lunas dan kamu akan mendapatkan kekayaan!” jawab Nyai Saketi.
Sugiyanto sempat bingung dan tak mengerti. Tapi akhirnya dia pulang juga ke rumah. Dan ketika sampai di rumah, dia sangat terkejut mendengar kabar menggembirakan dari sang isteri.
“Syukur kepada Tuhan, Mas! Aku sudah dapat hadiah seratus juta rupiah dari undian sabun! Wah, hutang-hutang kita bakal bisa dilunasi semua. Kita tak jadi gembel jalanan,” seru Haryati, girang bukan main.
Sugiyanto jadi tersenyum senang. Dia yakin, rejeki nomplok yang diterima keluarganya ini, merupakan buah dari kesaktian Nyai Saketi. Dukun sakti itu benar-benar ampuh. Belum lama dia memberikan tumbal mayat bayi, permintaannya langsung terkabul.
Tapi Sugiyanto tak ingin menceritakan tentang Nyai Saketi kepada isterinya. Biar ini menjadi rahasia pribadinya. Yang penting isteri dan anak-anaknya hidup bahagia.
Selanjutnya hidup Sugiyanto seperti ketiban pulung. Rejeki mengalir terus tak henti. Ada saja keberuntungan yang didapat olehnya. Mulai dari dapat pekerjaan dengan posisi mapan, nembus undian, dikasih objekan basah dari teman, sampai dapat komisi jutaan rupiah.
Pokoknya hidup Sugiyanto berubah seratus delapan puluh derajat. Kini dia dan keluarga tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kumuh, tapi sudah punya rumah sendiri yang besar dan mewah.
Dia bisa membeli perabotan luks, ponsel, mobil, dan barang-barang serba mewah lainnya. Pendeknya, kesejahteraan keluarganya terjamin.
Kebahagiaan yang dirasakan Sugiyanto menjadi bertambah ketika isterinya hamil lagi. Berarti dirinya akan memiliki anak ke-3. Tak ada perasaan risau dan khawatir kelak anaknya akan hidup sengsara, karena kekayaannya bisa untuk menghidupi tujuh turunan.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Sugiyanto menjaga isteri yang sedang hamil. Hingga akhirnya tiba masa persalinan. Sugiyanto menunggui proses kelahiran itu. Namun betapa terkejut dan terpukul batinnya saat anak yang ditunggu telah lahir, wujudnya sungguh sangat memprihatinkan dan mengerikan. Selain tidak memiliki kedua tangan dan kaki, jantung bayi juga mengalami kelainan. Tak terbayangkan betapa shock, sedih, dan terpukul Sugiyanto mendapati anaknya yang cacat itu.
Tiba-tiba Sugiyanto teringat dengan Nyai Saketi. Jangan-jangan apa yang terjadi ini buah dari perbuatan Nyai Saketi dulu yang pernah memakan mayat bayi. Sesungguhnya, tumbal yang dimaksud Nyai Saketi tak lain adalah anaknya sendiri.
Tidak terima dengan kenyataan ini, Sugiyanto segera ke hutan Sonoloyo untuk mencari Nyai Saketi. Selain ingin meminta bantuan memulihkan keadaan bayinya, Sugiyanto juga berharap Nyai Saketi menarik syarat tumbalnya.
Tapi, sesampainya di tengah hutan Sonoloyo, Sugiyanto tak mendapati gubuk milik Nyai Saketi. Wanita tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Ketika Sugiyanto bertanya kepada penduduk sekitar daerah itu, mereka tidak ada yang tahu dan kenal dengan Nyai Saketi.
Dalam keadaan sedih, putus asa, dan kecewa, tiba-tiba Sugiyanto bertemu dengan seorang laki-laki tua berambut putih dan berpakaian sederhana. Orang tua itu sepertinya bisa membaca kesusahan hati Sugiyanto.
“Ketahuilah, Nak. Sesungguhnya Nyai Saketi yang pernah kamu temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penjelmaan setan. Dia tak pernah berusaha untuk membantu kesulitanmu, melainkan justru ingin menghancurkan dan menjerumuskan hidupmu. Mumpung belum terlambat, kembalilah kepada Allah dan bertobat nashuha. Gantungkan sepenuh hidupmu kepada Allah. Niscaya kamu dan keluargamu akan selamat dunia maupun akherat!”
Setelah memberikan wejangan orang tua yang arif dan bijaksana itu kemudian pergi. Seperti mendapat kesadaran baru, Sugiyanto tiba-tiba menangis tergugu. Dia menyadari bahwa semua yang terjadi ini adalah buah dari kesalahannya sendiri.
Sugiyanto segera bersujud dan memohon ampun kepada Allah. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesatnya lagi. Dia akan berusaha menghapus dosa-dosanya dengan banyak melakukan amal kebajikan.
Meski terasa pedih dan berat, Sugiyanto berusaha menerima kenyataan pahit ini. Dia akan tetap merawat dan memelihara anaknya yang cacat. Karena bagaimanapun anak itu adalah amanah dari Allah.
Sugiyanto lalu mengajak keluarganya untuk lebih menekuni sholat dan ibadah yang disyariatkan agama. Dia tidak peduli kekayaannya akan habis guna mengobati dan merawat anaknya yang cacat. Baginya, harta duniawi sudah tidak ada artinya lagi, karena semua itu tak akan dibawa bila dirinya mati.
Setelah berjalan dua tahun, anaknya yang cacat itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Meski terasa sedih dan berat, namun Sugiyanto mengikhlaskannya. Mungkin itu lebih baik daripada anaknya harus menderita bila tumbuh dewasa.
Dia sendiri tidak menyesal bila hidup keluarganya kembali jatuh miskin seperti dulu. Dia menerima dengan penuh keridhoan. Dia justru merasa bahagia dan tenang dengan keadaannya yang sekarang. Karena dalam keadaan hidup yang pas-pasan, dia bisa lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Sugiyanto kini berubah menjadi orang yang rajin dan tekun beribadah. Bila kemudian dia berkenan menceritakan pengalamannya ini kepada Misteri, semata untuk peringatan dan pelajaran agar kita semua tidak mengikuti jalan sesat yang pernah ditempuhnya dahulu.