MAU SUKSES DAN KAYA KLIK BAWAH INI....

KONSULTASI Email ke : mbahkahono@gmail.com

Suamiku Ber Isteri Jin

Kalau saja kenyataan ini tidak terjadi di hadapanku dan menimpa suamiku sendiri, niscaya aku takkan pernah bisa mempercayainya. Ya, bagaimana aku bisa percaya karena semua ini sungguh terjadi di luar batas logika. Karena keanehan ini pula aku bagaikan terasing dari suami yang dulu sangat mencintaiku.
“Maafkan Abang, Yati! Abang belum mendapatkan izin untuk menyentuh tubuhmu,” begitulah yang dikatakan oleh Bang Marsan, suamiku, setiap kali aku merengek meminta kemanjaan darinya.
Malangnya aku ini. Kalau tak salah hitung dan salah ingat, rasanya sudah hampir setahun kenyataan pahit dan menyesakkan ini terjadi. Bang Marsan yang dulu selalu bergairah mendadak seperti kehilangan gairahnya terhadap diriku. Dia tak mau lagi menyentuh tubuhku. Jangankan untuk mencumbuku, bahkan setiap malam aku dibiarkan kedinginan sendirian. Bang Marsan terus sibuk dengan ritualnya yang aneh itu. Belakangan, kepribadian Bang Marsan yang malah total berubah penuh keanehan. Aku sampai-sampai seperti tak mengenal lagi siapa dirinya. Jangankan untuk meminta kemanjaan darinya, bahkan untuk mendekatinya saja aku sudah tak sudi lagi.

Dari dalam kamar khusus yang dipersiapkannya itu, beberapa kali kudengar suara Bang Marsan yang terengah-engah seperti seorang (maaf) yang sedang memacu birahi. Pada awalnya, kenyataan ini sudah barang tentu membuatku cemburu. Akupun bertanya dalam batinku sendiri, “Apakah karena ini Bang Marsan enggan untuk bercumbu denganku?”
Sebagai perempuan normal yang tidak menginginkan suaminya jatuh ke dalam pelukan wanita lain, sudah barang tentu karena suara-suara birahi itu maka aku membayangkan hal-hal menjijikan sekaligus menyakitkan. Betapa dalam benakku tergambar bagaimana gairah Bang Marsan mencumbu perempuan yang wajah serta bentuk tubuhnya hanya ada dalam bayanganku itu. Aku selalu berusaha keras membunuh kecurigaanku. Kuyakinkan diriku bahwa Bang Marsan tak pernah melacurkan dirinya kepada perempuan manapun. Kuyakinkan pula bahwa suara terengah-engah yang kerap kudengar dari kamar ritualnya itu hanyalah halusinasiku belaka. Kadangkala, aku sendiri berusaha membantah suara yang kudengar itu sebagai ekspresi dari suatu kenikmatan birahi seorang lelaki yang tengah berpacu ke puncak syahwatnya.

“Mungkin saja suara itu memang suatu keharusan yang harus dilakukan Bang Marsan dalam ritualnya,” batinku. Dan sekian waktu lamanya aku memendam kecurigaanku ini. Sampai pada akhirnya aku harus menangis saat mendengar penjelasan Pak Haji Dasuki, sebutlah begitu, seorang yang dikenal memiliki ilmu-ilmu gaib yang tinggal sekampung denganku.
“Sepertinya Marsan, suamimu itu punya isteri gaib, Yati!” Kata Haji Dasuki yang sekaligus menyentakkan batinku.
“Isteri gaib bagaimana maksud Pak Haji?” Tanyaku sambil berusaha menekan perasaan.
Pak Haji Dasuki yang sering mengobati orang kesurupan atau kerasukan setan itu terlihat menegang wajahnya. Dengan agak bimbang dia kemudian menjawab pertanyaanku, “Ini baru dugaanku saja. Aku kan belum tahu persis bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Oya, apakah setiap malam suamimu itu melakukan ritual, Yati?”
“Tidak setiap malam sih, Pak Haji! Paling sering malam Jum’at dan malam Selasa,” jawabku.
“Terus di luar malam Jum’at dan malam Selasa, apa yang dilakukan oleh suamimu?” Pak Haji Dasuki kembali bertanya.
“Saya tidak tahu, Pak Haji! Yang pasti, Bang Marsan selalu pergi keluar rumah, dan dia baru pulang menjelang subuh.”
“Aneh, kemana perginya dia?”
“Itulah yang membuat saya bingung, Pak Haji!”
Pak Haji Dasuki mengusap-usap janggutnya yang telah memutih. Tak ada lagi pertanyaan atau nasehat yang disampaikannya kepadaku. Hari itu, dia hanya memberikan segelas air putih yang di dalamnya terdapat selembar sirih bertemu ruas. Air ini kemudian dipindahkan wadahnya ke dalam sehelai kantung plastik.
“Ingat, air ini harus kau berikan pada suamimu. Biarkan dia meminumnya!” Pesannya saat memberikan kantung plastik berisi air putih yang telah diberi doa-doa itu. Sambil memberikan uang ala kadarnya untuk penebus obat, akupun segera berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah, tentu saja aku bermaksud melaksanakan pesan yang diperintahkan Haji Dasuki tersebut. Tetapi anehnya, bungkusan air itu hilang dengan sendirinya. Padahal, aku baru saja meletakkannya di atas meja makan dekat wadah penghangat nasi. Tentu saja aku tak mungkin lupa, sebab ini baru berlalu kurang dari dua menit. Aku meninggalkannya hanya untuk mengambil gelas besar yang biasa kujadikan tempat air minum suamiku.
“Aneh, kok air itu bisa hilang ya?” Batinku sambil menimang-nimang gelas kosong. Kepalaku nyaris pecah memikirkannya. Kucari kemana-mana, tapi tetap saja tidak kutemukan kantung plastik berisi air putih dengan sehelai daun sirih bertemu ruas itu.
Aku juga menanyakannya kepada Alin, anak sulungku yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Tapi, Alin menjawab tak pernah melihat kantung plastik berisi air itu. Begitu pun dengan Fathan, anak bungsuku yang sudah duduk di kelas 6 SD juga menjawab tak tahu.
Perlu kujelaskan, dari pernikahanku dengan Bang Marsan, kami dikaruniai dua orang anak, putra dan putri, yang masing-masing sudah tumbuh besar dan sehat.
“Memangnya itu air apa sih, kok Mama sampai bingung begini?” Tanya Alin, ingin tahu.
“Air obat untuk ayah kalian!” Jawabku.
“Memangnya Ayah kenapa sih, Ma?” Kali ini yang bertanya adiknya, Fathan.
Sambil menyembunyikan keresahan, dengan sabar kujelaskan kepada kedua anakku bahwa Ayah mereka harus segera disadarkan dari keputusasaannya, sehingga kembali menemukan gairah hidupnya. “Air itu dari Pak Haji Dasuki. Beliau kan orang pintar di desa kita ini. Jadi, dengan minta doa dari Pak Haji Dasuki, mudah-mudahan Ayah kalian segera sadar dan menemukan semangat hidupnya lagi.”
Alin dan Fathan manggut-manggut tanda mengerti. Memang, di mata mereka, Ayahnya yang dulu selalu rajin dan penuh semangat itu telah berubah menjadi seorang yang pemalas dan seperti kehilangan semangat hidup. Tak hanya itu, di mata kedua anaknya Bang Marsan juga telah berubah menjadi sosok yang aneh sekaligus menyeramkan.
Semua ini persisnya terjadi sejak Bang Marsan harus di-PHK dari perusahaan yang selama hampir 15 tahun dia bekerja di dalamnya. Malangnya lagi, uang pesangon yang nilainya cukup lumayan itu harus lenyap entah kemana. Uang itu dirampok orang bersama mobil Suzuki Katana kesayangan Bang Marsan. Peristiwanya terjadi ketika Bang Marsan, yang hari itu aku temani, memarkir mobilnya di pasar Inpres dekat rumah kami, sepulang dari mencairkan cek uang pesangonnya di Bank, dan kami bermaksud membeli beberapa jenis bahan makanan untuk sekedar mengadakan kenduri atau selamatan kecil atas cairnya uang pesangon yang sangat kami nanti-nantikan itu.
Tetapi, kenyataan rupanya berbicara lain. Bukan hanya uang bernilai puluhan juta itu yang harus raib, tetapi juga satu-satunya kendaraan milik kami, sebab uang itu memang ditaruh Bang Marsan di dalam laci dashbord Suzuki Katana yang dibelinya dengan cucuran keringat.
Sejak peristiwa itu Bang Marsan memang berubah jadi pemurung. Dia pasti sangat kecewa. Sampai sekitar 2 bulan sejak peristiwa di hari naas itu terjadi, Bang Marsan berpamitan pergi kepadaku. Katanya, dia ingin ziarah ke makam leluhurnya yang ada di Pandeglang, Banten. Tanpa rasa curiga, tentu saja aku mengizinkannya.
Lima hari kemudian Bang Marsan pulang dengan wajah murungnya yang telah berubah ceria. Sepertinya, dia telah mendapatkan semangat baru. Benar begitu? Entahlah! Aku tak pernah tahu pasti. Hanya saja ketika kutanya, Bang Marsan menjawab begini, “Aku sudah menemukan jalan untuk mengembalikan uang dan mobilku yang hilang itu. Sebentar lagi aku akan jadi kaya.”
Bang Marsan seperti baru bangun dari mimpi indah. Ketika kutanyakan, dari mana dia bisa mendapatkan kekayaan itu, dengan agak bingung dia malah menjawab begini, “Pokoknya, kamu harus sabar, Ma! Sejak hari ini, kau tak boleh banyak bertanya tentang apa saja yang aku lakukan. Pokoknya, kamu jadi penonton saja. Ingat, semua ini demi kebaikan kita. Ya, demi masa depan kita, juga Alin dan Fathan. Kamu mengerti kan?”
“Iya, aku juga setuju dengan cita-citamu itu. Tapi bagaimana caranya?” Aku balik bertanya.
Bang Marsan lalu mengeluarkan kantung kain hitam yang sudah kusam dan lusuh dari dalam tasnya. “Dengan batu ajaib ini, Ma!” Katanya sambil menunjukkan batu sekepalan tangan orang dewasa. Batu itu berwarna hitam pekat, namun sepertinya menunjukkan rona kebiru-biruan yang sangat terang berkilat.
Walau bingung, aku cuma bisa mengangguk, sebab aku memang sudah tidak diberinya lagi kesempatan untuk bertanya. Ini memang aneh, sebab biasanya Bang Marsan selalu mendiskusikan segala sesuatu denganku hingga tuntas. Tetapi sekali ini dia sepertinya menyimpan sebuah misteri. Entah apa? Yang jelas, sehari setelah kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu, dia memang mulai menunjukkan keanehannya. Seperti yang hari itu dilakukannya. Tanpa bicara apa-apa, Bang Marsan menutup ventilasi atau lobang angin pintu dan jendela kamar tengah, bahkan meminta agar kamar itu dikosongkan.
“Memangnya mau kau apakan kamar itu, Mas?” Tanyaku dengan terheran-heran.
Bukannya menjawab, Bang Marsan malah memelototiku. Lalu, dengan nada dingin dia berkata begini, “Baru saja kemarin aku bilang agar kau jangan sekali-kali bertanya tentang apa yang kulakukan. Kamu jadi penonton saja. Yang penting bagaimana hasilnya nanti.”
Ah, bulu kudukku merinding mendengar jawaban itu. Jelas sekali Bang Marsan menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa, aku sendiri tak pernah tahu secara pasti.
Sikap Bang Marsan memang aneh dan penuh Misteri sejak kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu. Dia pendiam dan berubah sangat pemalas. Setiap hari yang dikerjakannya hanya tidur atau menyendiri di dalam kamar khusus itu, dan dia juga mulai jarang mandi. Karuan saja anak-anak pun semakin jauh darinya….
***
Misteri hilangnya kantung plastik berisi air putih dan selembar daun sirih bertemu ruas itu akhirnya terjawab dua hari kemudian.
Ceritanya, setelah kehilangan air obat untuk Bang Marsan, walau dengan rasa sungkan dan malu aku kembali bertamu ke rumah Pak Haji Dasuki. Dengan berat hati kuceritakan bahwa air itu belum sempat kuberikan kepada Bang Marsan, sebab tumpah saat kantung plastik wadahnya kutaruh di atas meja.
Mendengar cerita yang kukarang itu, Pak Haji Dasuki sepertinya percaya. Buktinya, tanpa banyak pertanyaan dia kembali memberikan air yang sama padaku.
“Jangan sampai kau tumpahkan lagi. Ingat itu, Yati!” Katanya saat memberikan kantung plastik berisi air dan daun sirih bertemu ruas kepadaku.
Batinku berdesir hebat, sebab dari sorot matanya sepertinya Pak Haji Dasuki tahu kalau aku telah membohonginya. Kecurigaan ini semakin terasa menguat ketika beliau menolak uang pemberianku.
“Kau berikan saja kepada anak-anakmu. Untuk jajan mereka!” Katanya dengan nada kurang senang. Keramahannya sepertinya telah hilang.
“Baiklah, terima kasih, Pak Haji!” Jawabku dengan wajah tertunduk.
Sambil berusaha memupus ingatanku terhadap sikap Haji Dasuki, aku pun bergegas pulang. Anehnya, sesampainya di rumah, Bang Marsan sudah menungguku di depan pintu.
“Berikan air bikinan si Dasuki itu padaku, Yati!” Pintanya, membuatku tersentak. Aneh, bagaimana dia bisa tahu kalau aku baru pulang dari rumah Pak Haji Dasuki untuk meminta air?
“Apaan sih Abang ini. Aku barusan dari rumah Ibu,” jawabku sambil coba mengendalikan perasaan.
“Jangan bohong padaku, Yati. Ayo, berikan tasmu itu padaku!”
Kuberanikan diri melihat wajah Bang Marsan yang sudah berubah tirus itu karena dia memang jarang sekali makan nasi. Kulihat ekspresinya sangat datar. Aku sepertinya bukan sedang berhadapan dengan sosok lelaki yang sudah begitu akrab dan dekat denganku. Dan yang paling aneh, barusan tadi Bang Marsan menyebut Pak Haji Dasuki dengan tanpa embel-embel apa pun. Padahal setahuku dia sangat menghormati orang pandai dan berilmu itu. Bahkan, bila bertemu dengan Pak Haji Dasuki, Bang Marsan selalu menyapanya dengan takzim sambil tak lupa mencium telapak tangannya.
Lantas, mengapa tadi Bang Marsan menyebutnya hanya dengan “Si Dasuki”? Dan, apakah bukan suatu keanehan kalau tiba-tiba saja Bang Marsan tahu bahwa aku baru saja pergi ke rumah Pak Haji Dasuki? Apakah dia mengikutiku? Tidak mungkin, sebab saat pergi tadi dia masih mengunci diri di dalam kamar khususnya. Andai pun dia mengikutiku, bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau aku membawa air dari Pak Haji Dasuki, padahal aku sudah memasukkan air itu ke dalam tas kulitku sebelum keluar dari bilik tamu Pak Haji?
Sebelum Bang Marsan yang nampak aneh itu meminta untuk kedua kalinya, dengan tangan gemetar kusodorkan kantung plastik berisi air dan selembar daun sirih bertemu ruas itu kepadanya. Secepat kilat Bang Marsan menyambarnya, dan dengan secepat kilat pula dia membuangnya lewat daun jendela yang terbuka.
“Ingat, jangan coba-coba minta air kepada Si Dasuki atau siapapun orangnya, sebab aku akan mengetahuinya!” Katanya seperti setengah mengancam. Dari sini aku gampang menduga bahwa yang mencuri air pemberian Pak Haji Dasuki dua hari lalu pasti adalah Bang Marsan sendiri. Entah dengan cara apa dia mencurinya. Aku memang tak bisa memikirkannya lagi. Hanya, dari peristiwa ini aku mulai yakin kalau Bang Marsan sepertinya sudah mempunyai sisi lain dalam hidupnya. Ya, mungkin sisi yang berhubungan erat dengan dunia gaib.
Dan, kegaiban itu semakin terasa di hari-hari selanjutnya. Bang Marsan sepertinya semakin asing bagiku, juga bagi kedua anaknya. Hampir-hampir tak ada komunikasi di antara kami, walau kami tetap tinggal satu rumah. Anak-anak bahkan sudah mulai membenci Ayahnya, sebab baik Alin maupun Fathan sering kali mendapat bentakkan bila menanyakan sesuatu kepada Bang Marsan. Lambat laun, mereka pun semakin jauh dengan Ayahnya.
Yang sangat mengiris perasaanku, Fathan yang masih lugu itu pernah bilang bahwa dia lebih baik tidak mempunyai Ayah, daripada punya Ayah tapi kerjanya hanya diam, dan sekali ditanya langsung membentak.
“Kenapa Mama tidak suruh saja Ayah pergi. Fathan takut sama Ayah, Ma!” Isak tangis Fathan ketika suatu hari mendapat bentakkan dari Ayahnya.
“Sabar ya, Nak! Mungkin Ayah masih stress memikirkan mobil dan uangnya yang banyak itu hilang. Kita harus doakan agar Ayah lekas sadar dan mengikhlaskan semua itu,” bujukku sambil coba menahan linangan air mata.
Karena tak tahan melihat perlakuan Bang Marsan terhadap anak-anak, suatu hari aku memberanikan diri untuk menegurnya, “Apa sih salah anak-anak sampai kamu harus berlaku kasar sama mereka? Fathan dan Alin itu kan nggak ngerti apa-apa, Bang! Jadi tolong, berlaku sedikit lembutlah pada mereka.”
Bukannya menjawab atau memberi respon, Bang Marsan malah langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali membenamkan dirinya ke dalam kamar khusus yang seluruh ventilasinya sudah ditutup dengan triplek itu, sehingga tak seorang pun bisa melihat ada apa di dalamnya. Aku sendiri sangat penasaran dengan isi kamar tersebut, tapi entah dengan cara apa aku bisa melihatnya. Bahkan, kunci kamar itu disembunyikan oleh Bang Marsan.
Ayah dan Ibuku, adik serta kakakku, bahkan seluruh keluarga baik dari pihakku maupun dari pihak Bang Marsan, memang telah menganggap suamiku ini sudah gila. Sejak larut dalam ritual misterius yang dilakukannya, tak pernah sekali pun Bang Marsan mau menemui keluarga dan sanak saudara. Bahkan ketika Ibunya yang sudah tua itu datang untuk menjenguknya, Bang Marsan sama sekali tidak mau menemuinya. Padahal, satu-satunya orang tua yang masih dia miliki ini sudah rela menunggunya dengan menginap di rumah kami selama dua malam berturut-turut. Sungguh keterlaluan Bang Marsan! Lebih keterlaluan lagi, dia tak memberikan alasan apa pun sekaitan dengan sikapnya ini.
Mungkin benar Bang Marsan sudah senewen atau bahkan gila sekalian. Aku sudah kehabisan akal memikirkannya. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya bisa mendapat uang agar kedua anakku bisa makan dan tetap sekolah dengan baik. Hampir semua barang-barang berharga yang ada di rumah sudah kujual habis, bahkan seluruh perhiasanku sudah ludes, termasuk kalung 20 gram yang merupakan mas kawin pemberian Bang Marsan saat kami menikah 15 tahun silam. Masih untung ada beberapa keluarga yang peduli pada keadaan yang kuhadapi. Dari kepedulian mereka inilah aku masih bisa membeli beberapa liter beras dan lauk makan, juga biaya sekolah dan uang jajan anak-anakku. Kalau tidak, entah apa jadinya kami semua.
Sementara itu, Bang Marsan sudah tak peduli lagi dengan keadaan isteri dan kedua anaknya. Bahkan, dia pun sepertinya sudah tak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Bayangkan saja, tubuhnya yang dulu gemuk dan kekar itu kini telah berubah seperti halnya tulang berbungkus kulit. Kurus kering! Maklum saja, setiap hari yang dimakannya hanya beberapa potong singkong atau ubi jalar dengan segelas air putih atau kopi. Entah dengan alasan apa, Bang Marsan berpantang memakan nasi dan semua makanan yang berasal dari barang bernyawa.
Jika diibaratkan, hidup Bang Marsan kini sudah tak ubahnya seperti “orang-orangan.” Dia sama sekali telah kehilangan jatidirinya. Hanya yang sering kali membuatku heran, hampir pada setiap malam Jum’at dan malam Selasa, dari dalam kamar khususnya selalu saja terdengar suara Bang Marsan yang merintih atau mendesah-desah seperti seorang yang tengah berpacu dengan birahi. Entah apa yang terjadi? Hanya yang jelas, aku sudah mempersetankan hal itu. Kalau dulu aku sempat merasakan cemburu, ini semata mungkin karena aku masih mengharapkan Bang Marsan bisa kembali menjalani kehidupan normal denganku. Tetapi harapan itu lambat laun musnah, terkubur jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.
Orang bijak mengatakan, “Selalu ada setitik cahaya di tengah kegelapan selagi engkau masih mengharapkan cahaya itu.” Setidaknya, inilah yang kemudian kualami. Misteri yang menyelimuti kehidupan suamiku selama hampir setahun ini akhirnya terkuak dengan sendirinya, walau aku tetap saja berada dalam penjara kebingungan.
Dua bulan lalu sebelum kuputuskan untuk menuliskan catatan hitam hidupku ini buat Misteri, suatu siang aku kedatangan seorang tamu. Si tamu tak lain dan tak bukan adalah Ahmad Yusuf, teman senasib dan sepenanggungan suamiku. Kusebut begitu karena memang Ahmad Yusuf dulu adalah teman sekantor suamiku yang sama-sama harus rela di-PHK karena perusahaan tempat mereka bekerja kolap terbadai krisis ekonomi. Kedatangan Ahmad Yusuf inilah yang setidaknya telah menguak misteri itu.
“Maafkan saya yang telah membiarkan Mas Marsan sampai seperti ini, Mbak!” Cetusnya setelah mendengar semua ceritaku tentang keadaan Bang Marsan. Kulihat dia begitu sentimental, sampai-sampai harus menitikkan air matanya.
Sebelum aku sempat bertanya sesuatu padanya, sambil berusaha mengendalikan diri, Ahmad Yusuf lalu bercerita panjang lebar:
“Saya juga turut andil terhadap semua keadaan ini, Mbak! Dulu, saya yang mengajak Mas Marsan mengunjungi makam keramat Dewi Surthikanti di lereng Bukit Argosonya. Kami sama-sama melakukan tirakat di sana. Setelah semalaman kami bersemedi di makam tersebut, Mas Marsan-lah yang mendapatkan batu ajaib itu. Kata juru kunci makam keramat Dewi Surthikanti, batu itu dapat membuat siapa saja menjadi kaya raya, sebab dia akan menjadi suami gaibnya Dewi Surthikanti.
Selama ini, saya hanya menganggap hal itu sebagai omong kosong belaka. Saya sungguh tak menyangka kalau ternyata semuanya akan terwujud dalam kenyataan yang sesungguhnya.”
Batinku begitu tertekan dengan cerita tersebut. “Kenapa selama ini Mas Yusuf tidak pernah menengok suami saya?” Tanyaku dengan penuh sesal.
“Sejak kami sama-sama pergi ke Bukit Argosonya, saya hanya sempat menetap di Bekasi selama beberapa minggu. Karena bingung mencari pekerjaan, saya dan keluarga akhirnya memilih boyongan pulang kampung, Mbak. Dengan alasan itu saya tidak pernah melihat keluarga Mbak, khususnya berkaitan dengan Mas Marsan!” Jawab Ahmad Yusuf sambil terus berusaha menyembunyikan penyesalan.
Keterangan Ahmad Yusuf telah menguak misteri kehidupan Bang Marsan selama hampir setahun ini. Rupanya dugaan Pak Haji Dasuki memang benar bahwa suamiku ternyata memiliki isteri gaib, dan isteri gaibnya itu adalah apa yang disebut Ahmad Yusuf sebagai Dewi Surthikanti.
Tentang batu ajaib yang disebutkan oleh Ahmad Yusuf itu juga pernah diperlihatkan oleh Bang Marsan saat kepulangannya setelah dia pergi selama 5 hari. Jelas sekali Bang Marsan berbohong sekaitan dengan kepergiannya itu. Dia bukannya berziarah ke makam leluhurnya yang katanya ada di Pandeglang sana, akan tetapi dia pergi bersama Ahmad Yusuf ke makam keramat Dewi Surthikanti yang disebutkan berada di Bukit Argosonya itu. Kata Ahmad Yusuf, bukit keramat ini sesungguhnya masih termasuk wilayah Gunung Arjuna. Hanya saja, amat jarang diketahui letak persisnya, kecuali oleh orang-orang tertentu.
“Sekarang aku sudah kehabisan akal bagaimana cara menyadarkan Bang Marsan. Kau lihat sendiri bagaimana kehidupan kami, bukan? Semua barang-barang di rumah ini sudah habis Mbak jual untuk biaya hidup kami sehari-hari,” paparku dengan air mata berlinang.
Ahmad Yusuf sendiri kelihatan bingung dan tertekan setelah mengetahui bagaimana keadaan Bang Marsan lewat ceritaku. Di tengah kebingungan itulah akhirnya dia mengusulkan agar aku coba menuliskan kisah pahitku ini untuk Rubrik Catatan Hitam di majalah kesayangan ini. Apalagi, Ahmad Yusuf mengatakan ada salah seorang rekannya yang berhasil keluar dari problem bernuansa gaib setelah menuliskan kisahnya dan mendapatkan solusi dari pengasuh rubrik ini.
Mendengar kesaksian Ahmad Yusuf, akhirnya kucoba menuliskan kisahku ini walau dengan bahasa dan kata-kata yang mungkin tidak sempurna, sebab aku memanglah bukan seorang penulis profesional. Namun yang pasti, lewat penuturanku ini, aku sangat berharap agar kiranya pengasuh dapat memberikan solusi dan pertimbangannya. Ya, semoga kiranya Allah SWT meridhoi harapanku ini!
Istiyati – Purwakarta, Jawa Barat.

KESAKSIAN
Di tengah situasi tekanan ekonomi seperti sekarang ini, memang banyak orang yang terjerumus ke dalam lembah kedurhakaan. Demi kekayaan dan kemudahan hidup di dunia, orang-orang itu bahkan sampai rela menggadaikan akidah dan keimanannya. Nauzubillahi min dzalik! Tentu saja kita berharap agar kemurtadan semacam ini tidak menimpa diri, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Membaca testimoni yang anda goreskan, saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan apakah suami anda dapat dimasukkan ke dalam golongan orang-orang seperti yang saya sebutkan di muka. Mudah-mudahan saja tidak demikian. Kalau pun benar, kita sama-sama berharap agar sedapat mungkin bisa menyadarkannya kembali, sehingga suami anda dapat kembali menjalani kehidupan yang benar menurut tuntunan agama.
Dari situasi dan kondisi yang anda gambarkan, memang sangat mungkin suami berada dalam pengaruh atau kontrol sebentuk kekuatan gaib yang bersifat menjerumuskan, yang jelas sekali berasal dari setan atau jin kafir. Karena itu, sebagai solusi untuk menetralisir kekuatan tersebut dari diri suami anda, maka kiranya bisa dilakukan dengan amalan berikut ini:
Bacalah surat Al Fatihah sebanyak 41 kali setiap ba’da sholat Magrib selama 7 hari berturut-turut tanpa henti/terputus. Setelah memasuki hari yang ke 7, sesudah membaca 41 kali Al Fatihah, maka tiupkanlah ke semangkuk garam dapur yang sudah anda persiapkan sebelumnya. Taburkanlah garam ini di sudut-sudut ruangan rumah anda, wabil khusus pada sudut-sudut dekat dengan apa yang anda sebutkan sebagai “kamar khusus” itu.
Dengan cara tersebut, Insya Allah jin yang mempengaruhi suami Anda akan merasakan suatu keadaan yang tidak nyaman, bahkan menyiksa buat dirinya, sehingga pada gilirannya dia akan pergi. Yang terpenting, anda harus mengulangi amalan ini secara terus menerus, sampai suami anda menemukan kesadaran dan jatidirinya kembali.
Sebagai amalan tambahan yang dikhususkan untuk melindungi diri anda, juga kedua anak anda dari pengaruh setan atau jin jahat itu, maka saya sarankan untuk membaca Ayat Kursi pada setiap permulaan siang (waktu dhuha) dan di setiap permulaan malam (menjelang Magrib). Lakukanlah amalan ini secara kontinyu dan tidak terputus-putus. Insya Allah anda dan anak-anak akan terhindar dari pengaruh kekuatan iblis yang kini tengah mengancam suami anda.
Ingat, istiqomah dan wirid merupakan perbuatan mulia yang selalu mendapatkan keridhoan dari Allah SWT. Karena itu, besar harapan saya agar anda secara sungguh-sungguh menjalankan kedua amalan di atas. Walau sepertinya sederhana, tapi Insya Allah hasilnya akan segera anda rasakan. Semoga Allah SWT meridhoiNya. Amin ya robbal alamiin…!

Suamiku Ber Isteri Jin

Kalau saja kenyataan ini tidak terjadi di hadapanku dan menimpa suamiku sendiri, niscaya aku takkan pernah bisa mempercayainya. Ya, bagaimana aku bisa percaya karena semua ini sungguh terjadi di luar batas logika. Karena keanehan ini pula aku bagaikan terasing dari suami yang dulu sangat mencintaiku.
“Maafkan Abang, Yati! Abang belum mendapatkan izin untuk menyentuh tubuhmu,” begitulah yang dikatakan oleh Bang Marsan, suamiku, setiap kali aku merengek meminta kemanjaan darinya.
Malangnya aku ini. Kalau tak salah hitung dan salah ingat, rasanya sudah hampir setahun kenyataan pahit dan menyesakkan ini terjadi. Bang Marsan yang dulu selalu bergairah mendadak seperti kehilangan gairahnya terhadap diriku. Dia tak mau lagi menyentuh tubuhku. Jangankan untuk mencumbuku, bahkan setiap malam aku dibiarkan kedinginan sendirian. Bang Marsan terus sibuk dengan ritualnya yang aneh itu. Belakangan, kepribadian Bang Marsan yang malah total berubah penuh keanehan. Aku sampai-sampai seperti tak mengenal lagi siapa dirinya. Jangankan untuk meminta kemanjaan darinya, bahkan untuk mendekatinya saja aku sudah tak sudi lagi.

Dari dalam kamar khusus yang dipersiapkannya itu, beberapa kali kudengar suara Bang Marsan yang terengah-engah seperti seorang (maaf) yang sedang memacu birahi. Pada awalnya, kenyataan ini sudah barang tentu membuatku cemburu. Akupun bertanya dalam batinku sendiri, “Apakah karena ini Bang Marsan enggan untuk bercumbu denganku?”
Sebagai perempuan normal yang tidak menginginkan suaminya jatuh ke dalam pelukan wanita lain, sudah barang tentu karena suara-suara birahi itu maka aku membayangkan hal-hal menjijikan sekaligus menyakitkan. Betapa dalam benakku tergambar bagaimana gairah Bang Marsan mencumbu perempuan yang wajah serta bentuk tubuhnya hanya ada dalam bayanganku itu. Aku selalu berusaha keras membunuh kecurigaanku. Kuyakinkan diriku bahwa Bang Marsan tak pernah melacurkan dirinya kepada perempuan manapun. Kuyakinkan pula bahwa suara terengah-engah yang kerap kudengar dari kamar ritualnya itu hanyalah halusinasiku belaka. Kadangkala, aku sendiri berusaha membantah suara yang kudengar itu sebagai ekspresi dari suatu kenikmatan birahi seorang lelaki yang tengah berpacu ke puncak syahwatnya.

“Mungkin saja suara itu memang suatu keharusan yang harus dilakukan Bang Marsan dalam ritualnya,” batinku. Dan sekian waktu lamanya aku memendam kecurigaanku ini. Sampai pada akhirnya aku harus menangis saat mendengar penjelasan Pak Haji Dasuki, sebutlah begitu, seorang yang dikenal memiliki ilmu-ilmu gaib yang tinggal sekampung denganku.
“Sepertinya Marsan, suamimu itu punya isteri gaib, Yati!” Kata Haji Dasuki yang sekaligus menyentakkan batinku.
“Isteri gaib bagaimana maksud Pak Haji?” Tanyaku sambil berusaha menekan perasaan.
Pak Haji Dasuki yang sering mengobati orang kesurupan atau kerasukan setan itu terlihat menegang wajahnya. Dengan agak bimbang dia kemudian menjawab pertanyaanku, “Ini baru dugaanku saja. Aku kan belum tahu persis bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya. Oya, apakah setiap malam suamimu itu melakukan ritual, Yati?”
“Tidak setiap malam sih, Pak Haji! Paling sering malam Jum’at dan malam Selasa,” jawabku.
“Terus di luar malam Jum’at dan malam Selasa, apa yang dilakukan oleh suamimu?” Pak Haji Dasuki kembali bertanya.
“Saya tidak tahu, Pak Haji! Yang pasti, Bang Marsan selalu pergi keluar rumah, dan dia baru pulang menjelang subuh.”
“Aneh, kemana perginya dia?”
“Itulah yang membuat saya bingung, Pak Haji!”
Pak Haji Dasuki mengusap-usap janggutnya yang telah memutih. Tak ada lagi pertanyaan atau nasehat yang disampaikannya kepadaku. Hari itu, dia hanya memberikan segelas air putih yang di dalamnya terdapat selembar sirih bertemu ruas. Air ini kemudian dipindahkan wadahnya ke dalam sehelai kantung plastik.
“Ingat, air ini harus kau berikan pada suamimu. Biarkan dia meminumnya!” Pesannya saat memberikan kantung plastik berisi air putih yang telah diberi doa-doa itu. Sambil memberikan uang ala kadarnya untuk penebus obat, akupun segera berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah, tentu saja aku bermaksud melaksanakan pesan yang diperintahkan Haji Dasuki tersebut. Tetapi anehnya, bungkusan air itu hilang dengan sendirinya. Padahal, aku baru saja meletakkannya di atas meja makan dekat wadah penghangat nasi. Tentu saja aku tak mungkin lupa, sebab ini baru berlalu kurang dari dua menit. Aku meninggalkannya hanya untuk mengambil gelas besar yang biasa kujadikan tempat air minum suamiku.
“Aneh, kok air itu bisa hilang ya?” Batinku sambil menimang-nimang gelas kosong. Kepalaku nyaris pecah memikirkannya. Kucari kemana-mana, tapi tetap saja tidak kutemukan kantung plastik berisi air putih dengan sehelai daun sirih bertemu ruas itu.
Aku juga menanyakannya kepada Alin, anak sulungku yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Tapi, Alin menjawab tak pernah melihat kantung plastik berisi air itu. Begitu pun dengan Fathan, anak bungsuku yang sudah duduk di kelas 6 SD juga menjawab tak tahu.
Perlu kujelaskan, dari pernikahanku dengan Bang Marsan, kami dikaruniai dua orang anak, putra dan putri, yang masing-masing sudah tumbuh besar dan sehat.
“Memangnya itu air apa sih, kok Mama sampai bingung begini?” Tanya Alin, ingin tahu.
“Air obat untuk ayah kalian!” Jawabku.
“Memangnya Ayah kenapa sih, Ma?” Kali ini yang bertanya adiknya, Fathan.
Sambil menyembunyikan keresahan, dengan sabar kujelaskan kepada kedua anakku bahwa Ayah mereka harus segera disadarkan dari keputusasaannya, sehingga kembali menemukan gairah hidupnya. “Air itu dari Pak Haji Dasuki. Beliau kan orang pintar di desa kita ini. Jadi, dengan minta doa dari Pak Haji Dasuki, mudah-mudahan Ayah kalian segera sadar dan menemukan semangat hidupnya lagi.”
Alin dan Fathan manggut-manggut tanda mengerti. Memang, di mata mereka, Ayahnya yang dulu selalu rajin dan penuh semangat itu telah berubah menjadi seorang yang pemalas dan seperti kehilangan semangat hidup. Tak hanya itu, di mata kedua anaknya Bang Marsan juga telah berubah menjadi sosok yang aneh sekaligus menyeramkan.
Semua ini persisnya terjadi sejak Bang Marsan harus di-PHK dari perusahaan yang selama hampir 15 tahun dia bekerja di dalamnya. Malangnya lagi, uang pesangon yang nilainya cukup lumayan itu harus lenyap entah kemana. Uang itu dirampok orang bersama mobil Suzuki Katana kesayangan Bang Marsan. Peristiwanya terjadi ketika Bang Marsan, yang hari itu aku temani, memarkir mobilnya di pasar Inpres dekat rumah kami, sepulang dari mencairkan cek uang pesangonnya di Bank, dan kami bermaksud membeli beberapa jenis bahan makanan untuk sekedar mengadakan kenduri atau selamatan kecil atas cairnya uang pesangon yang sangat kami nanti-nantikan itu.
Tetapi, kenyataan rupanya berbicara lain. Bukan hanya uang bernilai puluhan juta itu yang harus raib, tetapi juga satu-satunya kendaraan milik kami, sebab uang itu memang ditaruh Bang Marsan di dalam laci dashbord Suzuki Katana yang dibelinya dengan cucuran keringat.
Sejak peristiwa itu Bang Marsan memang berubah jadi pemurung. Dia pasti sangat kecewa. Sampai sekitar 2 bulan sejak peristiwa di hari naas itu terjadi, Bang Marsan berpamitan pergi kepadaku. Katanya, dia ingin ziarah ke makam leluhurnya yang ada di Pandeglang, Banten. Tanpa rasa curiga, tentu saja aku mengizinkannya.
Lima hari kemudian Bang Marsan pulang dengan wajah murungnya yang telah berubah ceria. Sepertinya, dia telah mendapatkan semangat baru. Benar begitu? Entahlah! Aku tak pernah tahu pasti. Hanya saja ketika kutanya, Bang Marsan menjawab begini, “Aku sudah menemukan jalan untuk mengembalikan uang dan mobilku yang hilang itu. Sebentar lagi aku akan jadi kaya.”
Bang Marsan seperti baru bangun dari mimpi indah. Ketika kutanyakan, dari mana dia bisa mendapatkan kekayaan itu, dengan agak bingung dia malah menjawab begini, “Pokoknya, kamu harus sabar, Ma! Sejak hari ini, kau tak boleh banyak bertanya tentang apa saja yang aku lakukan. Pokoknya, kamu jadi penonton saja. Ingat, semua ini demi kebaikan kita. Ya, demi masa depan kita, juga Alin dan Fathan. Kamu mengerti kan?”
“Iya, aku juga setuju dengan cita-citamu itu. Tapi bagaimana caranya?” Aku balik bertanya.
Bang Marsan lalu mengeluarkan kantung kain hitam yang sudah kusam dan lusuh dari dalam tasnya. “Dengan batu ajaib ini, Ma!” Katanya sambil menunjukkan batu sekepalan tangan orang dewasa. Batu itu berwarna hitam pekat, namun sepertinya menunjukkan rona kebiru-biruan yang sangat terang berkilat.
Walau bingung, aku cuma bisa mengangguk, sebab aku memang sudah tidak diberinya lagi kesempatan untuk bertanya. Ini memang aneh, sebab biasanya Bang Marsan selalu mendiskusikan segala sesuatu denganku hingga tuntas. Tetapi sekali ini dia sepertinya menyimpan sebuah misteri. Entah apa? Yang jelas, sehari setelah kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu, dia memang mulai menunjukkan keanehannya. Seperti yang hari itu dilakukannya. Tanpa bicara apa-apa, Bang Marsan menutup ventilasi atau lobang angin pintu dan jendela kamar tengah, bahkan meminta agar kamar itu dikosongkan.
“Memangnya mau kau apakan kamar itu, Mas?” Tanyaku dengan terheran-heran.
Bukannya menjawab, Bang Marsan malah memelototiku. Lalu, dengan nada dingin dia berkata begini, “Baru saja kemarin aku bilang agar kau jangan sekali-kali bertanya tentang apa yang kulakukan. Kamu jadi penonton saja. Yang penting bagaimana hasilnya nanti.”
Ah, bulu kudukku merinding mendengar jawaban itu. Jelas sekali Bang Marsan menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa, aku sendiri tak pernah tahu secara pasti.
Sikap Bang Marsan memang aneh dan penuh Misteri sejak kepulangannya dari apa yang disebutnya sebagai “ziarah ke makam leluhurnya” itu. Dia pendiam dan berubah sangat pemalas. Setiap hari yang dikerjakannya hanya tidur atau menyendiri di dalam kamar khusus itu, dan dia juga mulai jarang mandi. Karuan saja anak-anak pun semakin jauh darinya….
***
Misteri hilangnya kantung plastik berisi air putih dan selembar daun sirih bertemu ruas itu akhirnya terjawab dua hari kemudian.
Ceritanya, setelah kehilangan air obat untuk Bang Marsan, walau dengan rasa sungkan dan malu aku kembali bertamu ke rumah Pak Haji Dasuki. Dengan berat hati kuceritakan bahwa air itu belum sempat kuberikan kepada Bang Marsan, sebab tumpah saat kantung plastik wadahnya kutaruh di atas meja.
Mendengar cerita yang kukarang itu, Pak Haji Dasuki sepertinya percaya. Buktinya, tanpa banyak pertanyaan dia kembali memberikan air yang sama padaku.
“Jangan sampai kau tumpahkan lagi. Ingat itu, Yati!” Katanya saat memberikan kantung plastik berisi air dan daun sirih bertemu ruas kepadaku.
Batinku berdesir hebat, sebab dari sorot matanya sepertinya Pak Haji Dasuki tahu kalau aku telah membohonginya. Kecurigaan ini semakin terasa menguat ketika beliau menolak uang pemberianku.
“Kau berikan saja kepada anak-anakmu. Untuk jajan mereka!” Katanya dengan nada kurang senang. Keramahannya sepertinya telah hilang.
“Baiklah, terima kasih, Pak Haji!” Jawabku dengan wajah tertunduk.
Sambil berusaha memupus ingatanku terhadap sikap Haji Dasuki, aku pun bergegas pulang. Anehnya, sesampainya di rumah, Bang Marsan sudah menungguku di depan pintu.
“Berikan air bikinan si Dasuki itu padaku, Yati!” Pintanya, membuatku tersentak. Aneh, bagaimana dia bisa tahu kalau aku baru pulang dari rumah Pak Haji Dasuki untuk meminta air?
“Apaan sih Abang ini. Aku barusan dari rumah Ibu,” jawabku sambil coba mengendalikan perasaan.
“Jangan bohong padaku, Yati. Ayo, berikan tasmu itu padaku!”
Kuberanikan diri melihat wajah Bang Marsan yang sudah berubah tirus itu karena dia memang jarang sekali makan nasi. Kulihat ekspresinya sangat datar. Aku sepertinya bukan sedang berhadapan dengan sosok lelaki yang sudah begitu akrab dan dekat denganku. Dan yang paling aneh, barusan tadi Bang Marsan menyebut Pak Haji Dasuki dengan tanpa embel-embel apa pun. Padahal setahuku dia sangat menghormati orang pandai dan berilmu itu. Bahkan, bila bertemu dengan Pak Haji Dasuki, Bang Marsan selalu menyapanya dengan takzim sambil tak lupa mencium telapak tangannya.
Lantas, mengapa tadi Bang Marsan menyebutnya hanya dengan “Si Dasuki”? Dan, apakah bukan suatu keanehan kalau tiba-tiba saja Bang Marsan tahu bahwa aku baru saja pergi ke rumah Pak Haji Dasuki? Apakah dia mengikutiku? Tidak mungkin, sebab saat pergi tadi dia masih mengunci diri di dalam kamar khususnya. Andai pun dia mengikutiku, bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau aku membawa air dari Pak Haji Dasuki, padahal aku sudah memasukkan air itu ke dalam tas kulitku sebelum keluar dari bilik tamu Pak Haji?
Sebelum Bang Marsan yang nampak aneh itu meminta untuk kedua kalinya, dengan tangan gemetar kusodorkan kantung plastik berisi air dan selembar daun sirih bertemu ruas itu kepadanya. Secepat kilat Bang Marsan menyambarnya, dan dengan secepat kilat pula dia membuangnya lewat daun jendela yang terbuka.
“Ingat, jangan coba-coba minta air kepada Si Dasuki atau siapapun orangnya, sebab aku akan mengetahuinya!” Katanya seperti setengah mengancam. Dari sini aku gampang menduga bahwa yang mencuri air pemberian Pak Haji Dasuki dua hari lalu pasti adalah Bang Marsan sendiri. Entah dengan cara apa dia mencurinya. Aku memang tak bisa memikirkannya lagi. Hanya, dari peristiwa ini aku mulai yakin kalau Bang Marsan sepertinya sudah mempunyai sisi lain dalam hidupnya. Ya, mungkin sisi yang berhubungan erat dengan dunia gaib.
Dan, kegaiban itu semakin terasa di hari-hari selanjutnya. Bang Marsan sepertinya semakin asing bagiku, juga bagi kedua anaknya. Hampir-hampir tak ada komunikasi di antara kami, walau kami tetap tinggal satu rumah. Anak-anak bahkan sudah mulai membenci Ayahnya, sebab baik Alin maupun Fathan sering kali mendapat bentakkan bila menanyakan sesuatu kepada Bang Marsan. Lambat laun, mereka pun semakin jauh dengan Ayahnya.
Yang sangat mengiris perasaanku, Fathan yang masih lugu itu pernah bilang bahwa dia lebih baik tidak mempunyai Ayah, daripada punya Ayah tapi kerjanya hanya diam, dan sekali ditanya langsung membentak.
“Kenapa Mama tidak suruh saja Ayah pergi. Fathan takut sama Ayah, Ma!” Isak tangis Fathan ketika suatu hari mendapat bentakkan dari Ayahnya.
“Sabar ya, Nak! Mungkin Ayah masih stress memikirkan mobil dan uangnya yang banyak itu hilang. Kita harus doakan agar Ayah lekas sadar dan mengikhlaskan semua itu,” bujukku sambil coba menahan linangan air mata.
Karena tak tahan melihat perlakuan Bang Marsan terhadap anak-anak, suatu hari aku memberanikan diri untuk menegurnya, “Apa sih salah anak-anak sampai kamu harus berlaku kasar sama mereka? Fathan dan Alin itu kan nggak ngerti apa-apa, Bang! Jadi tolong, berlaku sedikit lembutlah pada mereka.”
Bukannya menjawab atau memberi respon, Bang Marsan malah langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali membenamkan dirinya ke dalam kamar khusus yang seluruh ventilasinya sudah ditutup dengan triplek itu, sehingga tak seorang pun bisa melihat ada apa di dalamnya. Aku sendiri sangat penasaran dengan isi kamar tersebut, tapi entah dengan cara apa aku bisa melihatnya. Bahkan, kunci kamar itu disembunyikan oleh Bang Marsan.
Ayah dan Ibuku, adik serta kakakku, bahkan seluruh keluarga baik dari pihakku maupun dari pihak Bang Marsan, memang telah menganggap suamiku ini sudah gila. Sejak larut dalam ritual misterius yang dilakukannya, tak pernah sekali pun Bang Marsan mau menemui keluarga dan sanak saudara. Bahkan ketika Ibunya yang sudah tua itu datang untuk menjenguknya, Bang Marsan sama sekali tidak mau menemuinya. Padahal, satu-satunya orang tua yang masih dia miliki ini sudah rela menunggunya dengan menginap di rumah kami selama dua malam berturut-turut. Sungguh keterlaluan Bang Marsan! Lebih keterlaluan lagi, dia tak memberikan alasan apa pun sekaitan dengan sikapnya ini.
Mungkin benar Bang Marsan sudah senewen atau bahkan gila sekalian. Aku sudah kehabisan akal memikirkannya. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya bisa mendapat uang agar kedua anakku bisa makan dan tetap sekolah dengan baik. Hampir semua barang-barang berharga yang ada di rumah sudah kujual habis, bahkan seluruh perhiasanku sudah ludes, termasuk kalung 20 gram yang merupakan mas kawin pemberian Bang Marsan saat kami menikah 15 tahun silam. Masih untung ada beberapa keluarga yang peduli pada keadaan yang kuhadapi. Dari kepedulian mereka inilah aku masih bisa membeli beberapa liter beras dan lauk makan, juga biaya sekolah dan uang jajan anak-anakku. Kalau tidak, entah apa jadinya kami semua.
Sementara itu, Bang Marsan sudah tak peduli lagi dengan keadaan isteri dan kedua anaknya. Bahkan, dia pun sepertinya sudah tak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Bayangkan saja, tubuhnya yang dulu gemuk dan kekar itu kini telah berubah seperti halnya tulang berbungkus kulit. Kurus kering! Maklum saja, setiap hari yang dimakannya hanya beberapa potong singkong atau ubi jalar dengan segelas air putih atau kopi. Entah dengan alasan apa, Bang Marsan berpantang memakan nasi dan semua makanan yang berasal dari barang bernyawa.
Jika diibaratkan, hidup Bang Marsan kini sudah tak ubahnya seperti “orang-orangan.” Dia sama sekali telah kehilangan jatidirinya. Hanya yang sering kali membuatku heran, hampir pada setiap malam Jum’at dan malam Selasa, dari dalam kamar khususnya selalu saja terdengar suara Bang Marsan yang merintih atau mendesah-desah seperti seorang yang tengah berpacu dengan birahi. Entah apa yang terjadi? Hanya yang jelas, aku sudah mempersetankan hal itu. Kalau dulu aku sempat merasakan cemburu, ini semata mungkin karena aku masih mengharapkan Bang Marsan bisa kembali menjalani kehidupan normal denganku. Tetapi harapan itu lambat laun musnah, terkubur jauh di lubuk hatiku yang paling dalam.
Orang bijak mengatakan, “Selalu ada setitik cahaya di tengah kegelapan selagi engkau masih mengharapkan cahaya itu.” Setidaknya, inilah yang kemudian kualami. Misteri yang menyelimuti kehidupan suamiku selama hampir setahun ini akhirnya terkuak dengan sendirinya, walau aku tetap saja berada dalam penjara kebingungan.
Dua bulan lalu sebelum kuputuskan untuk menuliskan catatan hitam hidupku ini buat Misteri, suatu siang aku kedatangan seorang tamu. Si tamu tak lain dan tak bukan adalah Ahmad Yusuf, teman senasib dan sepenanggungan suamiku. Kusebut begitu karena memang Ahmad Yusuf dulu adalah teman sekantor suamiku yang sama-sama harus rela di-PHK karena perusahaan tempat mereka bekerja kolap terbadai krisis ekonomi. Kedatangan Ahmad Yusuf inilah yang setidaknya telah menguak misteri itu.
“Maafkan saya yang telah membiarkan Mas Marsan sampai seperti ini, Mbak!” Cetusnya setelah mendengar semua ceritaku tentang keadaan Bang Marsan. Kulihat dia begitu sentimental, sampai-sampai harus menitikkan air matanya.
Sebelum aku sempat bertanya sesuatu padanya, sambil berusaha mengendalikan diri, Ahmad Yusuf lalu bercerita panjang lebar:
“Saya juga turut andil terhadap semua keadaan ini, Mbak! Dulu, saya yang mengajak Mas Marsan mengunjungi makam keramat Dewi Surthikanti di lereng Bukit Argosonya. Kami sama-sama melakukan tirakat di sana. Setelah semalaman kami bersemedi di makam tersebut, Mas Marsan-lah yang mendapatkan batu ajaib itu. Kata juru kunci makam keramat Dewi Surthikanti, batu itu dapat membuat siapa saja menjadi kaya raya, sebab dia akan menjadi suami gaibnya Dewi Surthikanti.
Selama ini, saya hanya menganggap hal itu sebagai omong kosong belaka. Saya sungguh tak menyangka kalau ternyata semuanya akan terwujud dalam kenyataan yang sesungguhnya.”
Batinku begitu tertekan dengan cerita tersebut. “Kenapa selama ini Mas Yusuf tidak pernah menengok suami saya?” Tanyaku dengan penuh sesal.
“Sejak kami sama-sama pergi ke Bukit Argosonya, saya hanya sempat menetap di Bekasi selama beberapa minggu. Karena bingung mencari pekerjaan, saya dan keluarga akhirnya memilih boyongan pulang kampung, Mbak. Dengan alasan itu saya tidak pernah melihat keluarga Mbak, khususnya berkaitan dengan Mas Marsan!” Jawab Ahmad Yusuf sambil terus berusaha menyembunyikan penyesalan.
Keterangan Ahmad Yusuf telah menguak misteri kehidupan Bang Marsan selama hampir setahun ini. Rupanya dugaan Pak Haji Dasuki memang benar bahwa suamiku ternyata memiliki isteri gaib, dan isteri gaibnya itu adalah apa yang disebut Ahmad Yusuf sebagai Dewi Surthikanti.
Tentang batu ajaib yang disebutkan oleh Ahmad Yusuf itu juga pernah diperlihatkan oleh Bang Marsan saat kepulangannya setelah dia pergi selama 5 hari. Jelas sekali Bang Marsan berbohong sekaitan dengan kepergiannya itu. Dia bukannya berziarah ke makam leluhurnya yang katanya ada di Pandeglang sana, akan tetapi dia pergi bersama Ahmad Yusuf ke makam keramat Dewi Surthikanti yang disebutkan berada di Bukit Argosonya itu. Kata Ahmad Yusuf, bukit keramat ini sesungguhnya masih termasuk wilayah Gunung Arjuna. Hanya saja, amat jarang diketahui letak persisnya, kecuali oleh orang-orang tertentu.
“Sekarang aku sudah kehabisan akal bagaimana cara menyadarkan Bang Marsan. Kau lihat sendiri bagaimana kehidupan kami, bukan? Semua barang-barang di rumah ini sudah habis Mbak jual untuk biaya hidup kami sehari-hari,” paparku dengan air mata berlinang.
Ahmad Yusuf sendiri kelihatan bingung dan tertekan setelah mengetahui bagaimana keadaan Bang Marsan lewat ceritaku. Di tengah kebingungan itulah akhirnya dia mengusulkan agar aku coba menuliskan kisah pahitku ini untuk Rubrik Catatan Hitam di majalah kesayangan ini. Apalagi, Ahmad Yusuf mengatakan ada salah seorang rekannya yang berhasil keluar dari problem bernuansa gaib setelah menuliskan kisahnya dan mendapatkan solusi dari pengasuh rubrik ini.
Mendengar kesaksian Ahmad Yusuf, akhirnya kucoba menuliskan kisahku ini walau dengan bahasa dan kata-kata yang mungkin tidak sempurna, sebab aku memanglah bukan seorang penulis profesional. Namun yang pasti, lewat penuturanku ini, aku sangat berharap agar kiranya pengasuh dapat memberikan solusi dan pertimbangannya. Ya, semoga kiranya Allah SWT meridhoi harapanku ini!
Istiyati – Purwakarta, Jawa Barat.

KESAKSIAN
Di tengah situasi tekanan ekonomi seperti sekarang ini, memang banyak orang yang terjerumus ke dalam lembah kedurhakaan. Demi kekayaan dan kemudahan hidup di dunia, orang-orang itu bahkan sampai rela menggadaikan akidah dan keimanannya. Nauzubillahi min dzalik! Tentu saja kita berharap agar kemurtadan semacam ini tidak menimpa diri, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Membaca testimoni yang anda goreskan, saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan apakah suami anda dapat dimasukkan ke dalam golongan orang-orang seperti yang saya sebutkan di muka. Mudah-mudahan saja tidak demikian. Kalau pun benar, kita sama-sama berharap agar sedapat mungkin bisa menyadarkannya kembali, sehingga suami anda dapat kembali menjalani kehidupan yang benar menurut tuntunan agama.
Dari situasi dan kondisi yang anda gambarkan, memang sangat mungkin suami berada dalam pengaruh atau kontrol sebentuk kekuatan gaib yang bersifat menjerumuskan, yang jelas sekali berasal dari setan atau jin kafir. Karena itu, sebagai solusi untuk menetralisir kekuatan tersebut dari diri suami anda, maka kiranya bisa dilakukan dengan amalan berikut ini:
Bacalah surat Al Fatihah sebanyak 41 kali setiap ba’da sholat Magrib selama 7 hari berturut-turut tanpa henti/terputus. Setelah memasuki hari yang ke 7, sesudah membaca 41 kali Al Fatihah, maka tiupkanlah ke semangkuk garam dapur yang sudah anda persiapkan sebelumnya. Taburkanlah garam ini di sudut-sudut ruangan rumah anda, wabil khusus pada sudut-sudut dekat dengan apa yang anda sebutkan sebagai “kamar khusus” itu.
Dengan cara tersebut, Insya Allah jin yang mempengaruhi suami Anda akan merasakan suatu keadaan yang tidak nyaman, bahkan menyiksa buat dirinya, sehingga pada gilirannya dia akan pergi. Yang terpenting, anda harus mengulangi amalan ini secara terus menerus, sampai suami anda menemukan kesadaran dan jatidirinya kembali.
Sebagai amalan tambahan yang dikhususkan untuk melindungi diri anda, juga kedua anak anda dari pengaruh setan atau jin jahat itu, maka saya sarankan untuk membaca Ayat Kursi pada setiap permulaan siang (waktu dhuha) dan di setiap permulaan malam (menjelang Magrib). Lakukanlah amalan ini secara kontinyu dan tidak terputus-putus. Insya Allah anda dan anak-anak akan terhindar dari pengaruh kekuatan iblis yang kini tengah mengancam suami anda.
Ingat, istiqomah dan wirid merupakan perbuatan mulia yang selalu mendapatkan keridhoan dari Allah SWT. Karena itu, besar harapan saya agar anda secara sungguh-sungguh menjalankan kedua amalan di atas. Walau sepertinya sederhana, tapi Insya Allah hasilnya akan segera anda rasakan. Semoga Allah SWT meridhoiNya. Amin ya robbal alamiin…!

Cara Jitu Cari Banyak Isteri

Poligami memang masih menjadi kontroversi, meski syareat Islam tidak mengharamkannya. Yang terpenting adalah bersikap bijak dan adil bila Anda termasuk yang telah berpoligami. Tetapi bila dengan kebijakan dan keadilan Anda isteri-isteri Anda masih tetap sulit akur, maka pastikanlah Anda lakukan ritual sederhana berikut ini.
Walau sederhana, tapi silakan buktikan sendiri bagaimana hasilnya. Begini caranya:
- Setiap sesudah sholat 5 waktu selalu kirim Al Fatihah khusus buat isteri pertama dan kedua. Contohnya seperti ini:
“Khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri pertama) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”. dilanjutkan dengan: “Wa khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri kedua) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”
- Baca surat Al Ikhlas 11 x
- Setiap malam, tepat pukul 03.00 dinihari selalu dirikan sholat Hajat 2 rakaat. Setelah salam amalkanlah wiridan ini: “WA AL KOITU ALAIKA MAHABBATAM MINNI WA LITUSNA’A ALA AINII” dibaca 300 x (Q.S. Thaha; 39)
- Lalu berdoa: “YA ALLAH YANG MAHA KUASA, BERIKANLAH KERUKUNAN DAN CINTA KASIH ANTARA…….(ISTERI PERTAMA) BINTI…….(NAMA IBUNYA) DAN…….(ISTERI KEDUA) BINTI…….(NAMA IBUNYA). YA MALIKIYAUMIDDIN IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IIN”

Cara Jitu Cari Banyak Isteri

Poligami memang masih menjadi kontroversi, meski syareat Islam tidak mengharamkannya. Yang terpenting adalah bersikap bijak dan adil bila Anda termasuk yang telah berpoligami. Tetapi bila dengan kebijakan dan keadilan Anda isteri-isteri Anda masih tetap sulit akur, maka pastikanlah Anda lakukan ritual sederhana berikut ini.
Walau sederhana, tapi silakan buktikan sendiri bagaimana hasilnya. Begini caranya:
- Setiap sesudah sholat 5 waktu selalu kirim Al Fatihah khusus buat isteri pertama dan kedua. Contohnya seperti ini:
“Khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri pertama) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”. dilanjutkan dengan: “Wa khususon ila ruhi…….(sebut nama isteri kedua) binti…….(nama ibunya). Al Fatihah…….(baca surat Fatihah 1 x)”
- Baca surat Al Ikhlas 11 x
- Setiap malam, tepat pukul 03.00 dinihari selalu dirikan sholat Hajat 2 rakaat. Setelah salam amalkanlah wiridan ini: “WA AL KOITU ALAIKA MAHABBATAM MINNI WA LITUSNA’A ALA AINII” dibaca 300 x (Q.S. Thaha; 39)
- Lalu berdoa: “YA ALLAH YANG MAHA KUASA, BERIKANLAH KERUKUNAN DAN CINTA KASIH ANTARA…….(ISTERI PERTAMA) BINTI…….(NAMA IBUNYA) DAN…….(ISTERI KEDUA) BINTI…….(NAMA IBUNYA). YA MALIKIYAUMIDDIN IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IIN”

Demi Kekayaan Rela Nikahi Jin Seram

Setelah usahanya bangkrut akibat amukan massa pada peristiwa hura-hura massal tahun 1998, dia akhirnya memutuskan untuk menikahi jin. Ini dia lakukan demi kembali meraih kesuksesan….
Dalam perjalanan menjelajahi berbagai pelosok, Penulis sempat menemukan kesaksian dari seorang anak manusia yang telah menjalin hubungan sangat erat dengan eksistensi bangsa jin. Ya, dalam sebuah tugas liputan, Penulis secara tak sengaja mampir ke rumah seorang sahabat yang sudan lama tidak dikunjungi. Rasidan, namanya, atau biasa dipanggil Jhony. Dari sinilah kesaksian yang sulit diterima akal sehat itu bermula.

Tak seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya di masa mendatang. Semuanya masih merupakan misteri yang sulit ditebak. Begitu juga halnya dengan Jhony. Dia tidak pernah menduga kalau usahanya sebagai seorang petambak udang dan pemilik toko furniture terbesar di kotanya akan jatuh bangkrut. Menurut perhitungannya, harta yang dimilikinya telah lebih dari cukup untuk menopang hidupnya. Tapi dia lupa bahwa perhitungan manusia kadang-kadang bisa berubah atas ketentuan Illahi.

Keadaan telah memporak-porandakan cita-cita dan tatanan kehidupan Jhony yang telah ditatanya sejak lama. Tragedi 12 Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu bagi Jhony dan keluarganya. Kerusuhan telah membuat dirinya miskin. Toko furniture dan mobil mewahnya yang diparkir di depan tokonya hangus terbakar, sementara tambak udangnya habis dijarah orang. Sedangkan rumah yang ditempatinya sudah bukan miliknya lagi, karena surat-suratnya telah dijaminkan ke Bank untuk modal pengembangan usaha furniturenya.
Melihat kenyataan pahit ini Jhony sempat shock. Dia tidak menyangka akan musibah yang melanda dirinya dan memusnahkan semua harta yang selama ini telah dikumpulkannya, hanya dalam sekejap. Isterinya, Vera tidak kalah shocknya menerima kenyataan pahit ini.
Dalam kondisi kalut seperti itu, Jhony dan Vera datang kepada seorang Kyai yang terkenal sebagai ahli spiritual. Kepada sang Kyai mereka berkonsultasi tentang musibah yang dihadapi. Orang tua yang bijaksana itu hanya menggangguk dan tersenyum. Dengan arifnya dia bertutur bahwa di balik semua musibah itu ada maknanya, makna itu bisa bermacam-macam. Di satu sisi bisa bermakna cobaan, di sisi lain bisa juga peringatan bagi keluarga Jhony.
Menurut mata batin sang Kyai, selama ini Jhony dan Vera tidak pernah mengeluarkan zakat mal dan bersedekah, padahal selama ini mereka menerima terus menerus rezeki dari Yang Maha Kuasa, Mereka telah ditutupi oleh penyakit hati yakni pelit untuk mengeluarkan sedekah dan zakat maal yang merupakan hak orang lain terutama anak-anak yatim, para janda tua dan kaum dhuhafa. Akibat dari semua itu maka datanglah peringatan bagi mereka.
Jhony membenarkan ucapan orang tua yang bijak itu. Namun yang terpenting, bagaimana caranya agar dia tidak diusir dari rumahnya karena tidak mampu lagi membayar cicilan ke bank akibat usahanya telah bangkrut. Orang tua itu berbisik pada Jhony, memberi solusi mencari uang secara pintas, “Bersediakan Nak Jhony menikah dengan jin?”
“Menikah dengan jin? Bagaimana mungkin?” tanya Jhony.
“Apa yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin kalau Allah menghendakinya,” ujar sang Kyai. Menurutnya, persyaratannya tidak begitu susah. Pertama harus seizin isteri karena dia akan dimadu. Kedua, menyediakan kamar khusus untuk menyongsong kedatangan isteri jinnya yang akan datang pada waktu tertentu.
Sekaitan dengan syarat pertama, pada masa pengantin Jhony harus menemani isteri jinnya selama satu bulan penuh, mengingat masih dalam suasana pengantin baru. Setelah itu waktu menggilirnya diatur seminggu tiga kali.
Syarat ketiga dia tidak boleh main perempuan lain. Dalam artian, Jhony tidak boleh tidur, apalagi menikah dengan wanita lain.
Atau kesepakatan dengan Verra, Jhony akhirnya bersedia mengawini makhluk yang berlainan alam itu.
***

Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, ritual pun dimulai. Jhony sudah siap di kamar orang tua itu. Suasana di kamar agak lain, seperti ada hawa sejuk yang menyenangkan.
Setelah melakukan upacara ritual suasana begitu sangat syahdu, namun terasa berbalut mistik. Sepi namun sesekali terasa mencekam. Tak lama kemudian Jhony mendengar ada suara dari luar.
“Assalamu’alaikum!” suara itu begitu lembut.
Jhony tersentak. Orang tua itu berbisik, “Pengantin wanitanya sudah datang!”
Segera dia bangkit membukakan pintu. Tampak seorang gadis cantik berjilbab putih dengan gaun terusan warna hitam bergaris lembut. Melihat keanggunan dan kecantikan gadis itu, kerongkongan Jhony seperti tercekat. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hingga kemudian gadis itu berkata, “Inikah calon suamiku, perkenalkan namaku Siti Zubaedah. Kau Jhony, kan?”
Setelah berkata demikian gadis itu duduk di sebelah Jhony. Singkat cerita, dengan disaksikan oleh orang tua itu terjadilah proses pernikahan dua makhluk ciptaan Tuhan yang berlainan alam.
Sungguh menakjubkan, setelah Jhony beristerikan Siti Zubaedah, kehidupannya teras mengalami peningkatan. “Aku diberikan uang sebagai modal untuk memulai usaha baru,” cerita Jhony.
Menurutnya, isterinya yang bangsa jin itu memberi suntikan modal untuk membayar hutangnya di Bank, merehab tokonya yang telah terbakar, dan melanjutkan usaha tambaknya yang habis dijarah, bahkan membeli mobil baru. Semua itu atas bantuan Zubaedah, disamping fitrah Jhony sebagai manusia yang terus bekerja keras.
Di samping usaha tambak ikan, kini Jhony juga menekuni profesi barunya sebagai suplayer obat-obatan. Mungkin, hal ini dimungkinkan karena ada kekuatan gaib yang mendorongnya, hingga usaha apapun yang dijalankan olehnya selalu berhasil.
***
Ketika Penulis bertamu ke rumahnya, Jhony bercerita penuh antusias tentang Zubaedah yang penduduk alam gaib itu. Atas keinginannya, dia akan mengundang Zubaedah dan memperkenalkannya denganku. Aku sempat mencegah dengan alasan takut melihat wajah dari makhluk yang berlainan alam itu. Namun Jhony tetap bersikeras untuk mengundangnya. Menurutnya, Zubaedah mempunyai kemampuan untuk mawujud layaknya seorang manusia.
“Karena kau memaksa, aku bersedia saja!” begitu akhirnya kata Penulis.
Tak lama, kami mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Seketika suasana di penghujung malam itu sudah merubah aura menjadi penuh dengan kegaiban.
Kijang kapsul warna putih metalik melewati kami yang sedang duduk di beranda muka, sementara mobil itu berhenti di palvilyun samping rumah. Segera Jhony menyongsong wanita yang turun dari dalam mobil itu. Sekilas pandangan Penulis menoleh dengan diiringi oleh bulu kuduk yang meremang. Jantungku berdetak kencang. Penulis segera paham dengan situasi itu. Memang wanita itu terlihat cantik dengan gaya modis berbusana muslim.
Jhony dan wanita yang mungkin adalah Siti Zubaedah itu terlihat masuk lewat pintu samping. Namun tak lama kemudian wanita itu keluar lagi meninggalkan tempat itu tanpa sempat bertemu muka denganku. Aku berdecak kagum atas penampilannya dalam permainan imajinasi sudut pandang. Mobil kijang yang tadi terlihat itu ternyata hanyalah seekor kuda putih, sementara sosok wanita itu tidak terlihat secara jelas karena kesannya terburu-buru.
Setelah kejadian yang hanya kurang dari satu menit itu, kembali Jhony menghampiriku dan mengatakan bahwa tadi itu adalah isteri mudanya. Aku hanya terpaku menyaksikan kejadian musykil itu.
“Sekarang kau mungkin percaya bahwa aku telah beristerikan wanita dari alam gaib,” kata Jhony setelah sensasi aneh itu berlalu.
Penulis hanya angkat bahu. Apakah benar yang dikatakan Jhony? Penulis masih sulit untuk mempercayainya.
***
Sekitar setengah bulan setelah pertemuan itu, tiba-tiba ada kabar melalui hendphone kalau Jhony sekarang dirawat di rumah sakit. Merasa khawatir atas kesehatannya, Penulis pun segera berangkat untuk menjenguk Jhony. Sesampainya di sana kulihat sahabatku itu terbaring lemah. Segera kuhampiri dan kudengar dia berbisik mengatakan bahwa isterinya marah karena Jhony telah mengundangnya secara mendadak dan terasa ada benturan pada dirinya begitu melihatku. Aku katakan bahwa hal itu tidak apa-apa.
“Makanya, aku bilang jangan kau lakukan itu. Kau sendiri yang memaksa kan?” ujar Penulis.
Jhony hanya tersenyum kecut.
Menurut analisis team medis Jhony terkena gejala thypus. Namun berdasarkan terawangan alam kesunyatan yang dilakukan Penulis, sahabatku itu terkena imbas negatif akibat benturan hawa energi antara Penulis dengan isterinya itu. Untuk membantuh penyembuhannya, Penulis segera mengirimkan energi ke tubuhnya untuk memulihkan kondisinya, setelah itu aku pamit pada Verra dengan berpesan segera memberi kabar bila terjadi apa-apa terhadap Jhony.
Selang tiga hari kemudian Vera, isteri sahabatku itu mengabarkan bahwa suaminya sudah kembali dari rumah sakit dengan kondisi agak baikan. Aku bersyukur mendengar kabar baik itu. Aku sempat menelepon Jhony dan mengatakan padanya agar dia mulai memikirkan masa depan hidupnya jangan terus beristerikan jin itu.
“Aku takut nantinya kau yang berada di bawah pengaruhnya, Jhon!” kataku.
Jhony memahami kekhawatiranku. “Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk berpisah dengannya,” katanya dengan suara jernih. Ini artinya, Jhony sungguh-sungguh sudah baikan.

Demi Kekayaan Rela Nikahi Jin Seram

Setelah usahanya bangkrut akibat amukan massa pada peristiwa hura-hura massal tahun 1998, dia akhirnya memutuskan untuk menikahi jin. Ini dia lakukan demi kembali meraih kesuksesan….
Dalam perjalanan menjelajahi berbagai pelosok, Penulis sempat menemukan kesaksian dari seorang anak manusia yang telah menjalin hubungan sangat erat dengan eksistensi bangsa jin. Ya, dalam sebuah tugas liputan, Penulis secara tak sengaja mampir ke rumah seorang sahabat yang sudan lama tidak dikunjungi. Rasidan, namanya, atau biasa dipanggil Jhony. Dari sinilah kesaksian yang sulit diterima akal sehat itu bermula.

Tak seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya di masa mendatang. Semuanya masih merupakan misteri yang sulit ditebak. Begitu juga halnya dengan Jhony. Dia tidak pernah menduga kalau usahanya sebagai seorang petambak udang dan pemilik toko furniture terbesar di kotanya akan jatuh bangkrut. Menurut perhitungannya, harta yang dimilikinya telah lebih dari cukup untuk menopang hidupnya. Tapi dia lupa bahwa perhitungan manusia kadang-kadang bisa berubah atas ketentuan Illahi.

Keadaan telah memporak-porandakan cita-cita dan tatanan kehidupan Jhony yang telah ditatanya sejak lama. Tragedi 12 Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu bagi Jhony dan keluarganya. Kerusuhan telah membuat dirinya miskin. Toko furniture dan mobil mewahnya yang diparkir di depan tokonya hangus terbakar, sementara tambak udangnya habis dijarah orang. Sedangkan rumah yang ditempatinya sudah bukan miliknya lagi, karena surat-suratnya telah dijaminkan ke Bank untuk modal pengembangan usaha furniturenya.
Melihat kenyataan pahit ini Jhony sempat shock. Dia tidak menyangka akan musibah yang melanda dirinya dan memusnahkan semua harta yang selama ini telah dikumpulkannya, hanya dalam sekejap. Isterinya, Vera tidak kalah shocknya menerima kenyataan pahit ini.
Dalam kondisi kalut seperti itu, Jhony dan Vera datang kepada seorang Kyai yang terkenal sebagai ahli spiritual. Kepada sang Kyai mereka berkonsultasi tentang musibah yang dihadapi. Orang tua yang bijaksana itu hanya menggangguk dan tersenyum. Dengan arifnya dia bertutur bahwa di balik semua musibah itu ada maknanya, makna itu bisa bermacam-macam. Di satu sisi bisa bermakna cobaan, di sisi lain bisa juga peringatan bagi keluarga Jhony.
Menurut mata batin sang Kyai, selama ini Jhony dan Vera tidak pernah mengeluarkan zakat mal dan bersedekah, padahal selama ini mereka menerima terus menerus rezeki dari Yang Maha Kuasa, Mereka telah ditutupi oleh penyakit hati yakni pelit untuk mengeluarkan sedekah dan zakat maal yang merupakan hak orang lain terutama anak-anak yatim, para janda tua dan kaum dhuhafa. Akibat dari semua itu maka datanglah peringatan bagi mereka.
Jhony membenarkan ucapan orang tua yang bijak itu. Namun yang terpenting, bagaimana caranya agar dia tidak diusir dari rumahnya karena tidak mampu lagi membayar cicilan ke bank akibat usahanya telah bangkrut. Orang tua itu berbisik pada Jhony, memberi solusi mencari uang secara pintas, “Bersediakan Nak Jhony menikah dengan jin?”
“Menikah dengan jin? Bagaimana mungkin?” tanya Jhony.
“Apa yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin kalau Allah menghendakinya,” ujar sang Kyai. Menurutnya, persyaratannya tidak begitu susah. Pertama harus seizin isteri karena dia akan dimadu. Kedua, menyediakan kamar khusus untuk menyongsong kedatangan isteri jinnya yang akan datang pada waktu tertentu.
Sekaitan dengan syarat pertama, pada masa pengantin Jhony harus menemani isteri jinnya selama satu bulan penuh, mengingat masih dalam suasana pengantin baru. Setelah itu waktu menggilirnya diatur seminggu tiga kali.
Syarat ketiga dia tidak boleh main perempuan lain. Dalam artian, Jhony tidak boleh tidur, apalagi menikah dengan wanita lain.
Atau kesepakatan dengan Verra, Jhony akhirnya bersedia mengawini makhluk yang berlainan alam itu.
***

Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, ritual pun dimulai. Jhony sudah siap di kamar orang tua itu. Suasana di kamar agak lain, seperti ada hawa sejuk yang menyenangkan.
Setelah melakukan upacara ritual suasana begitu sangat syahdu, namun terasa berbalut mistik. Sepi namun sesekali terasa mencekam. Tak lama kemudian Jhony mendengar ada suara dari luar.
“Assalamu’alaikum!” suara itu begitu lembut.
Jhony tersentak. Orang tua itu berbisik, “Pengantin wanitanya sudah datang!”
Segera dia bangkit membukakan pintu. Tampak seorang gadis cantik berjilbab putih dengan gaun terusan warna hitam bergaris lembut. Melihat keanggunan dan kecantikan gadis itu, kerongkongan Jhony seperti tercekat. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hingga kemudian gadis itu berkata, “Inikah calon suamiku, perkenalkan namaku Siti Zubaedah. Kau Jhony, kan?”
Setelah berkata demikian gadis itu duduk di sebelah Jhony. Singkat cerita, dengan disaksikan oleh orang tua itu terjadilah proses pernikahan dua makhluk ciptaan Tuhan yang berlainan alam.
Sungguh menakjubkan, setelah Jhony beristerikan Siti Zubaedah, kehidupannya teras mengalami peningkatan. “Aku diberikan uang sebagai modal untuk memulai usaha baru,” cerita Jhony.
Menurutnya, isterinya yang bangsa jin itu memberi suntikan modal untuk membayar hutangnya di Bank, merehab tokonya yang telah terbakar, dan melanjutkan usaha tambaknya yang habis dijarah, bahkan membeli mobil baru. Semua itu atas bantuan Zubaedah, disamping fitrah Jhony sebagai manusia yang terus bekerja keras.
Di samping usaha tambak ikan, kini Jhony juga menekuni profesi barunya sebagai suplayer obat-obatan. Mungkin, hal ini dimungkinkan karena ada kekuatan gaib yang mendorongnya, hingga usaha apapun yang dijalankan olehnya selalu berhasil.
***
Ketika Penulis bertamu ke rumahnya, Jhony bercerita penuh antusias tentang Zubaedah yang penduduk alam gaib itu. Atas keinginannya, dia akan mengundang Zubaedah dan memperkenalkannya denganku. Aku sempat mencegah dengan alasan takut melihat wajah dari makhluk yang berlainan alam itu. Namun Jhony tetap bersikeras untuk mengundangnya. Menurutnya, Zubaedah mempunyai kemampuan untuk mawujud layaknya seorang manusia.
“Karena kau memaksa, aku bersedia saja!” begitu akhirnya kata Penulis.
Tak lama, kami mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Seketika suasana di penghujung malam itu sudah merubah aura menjadi penuh dengan kegaiban.
Kijang kapsul warna putih metalik melewati kami yang sedang duduk di beranda muka, sementara mobil itu berhenti di palvilyun samping rumah. Segera Jhony menyongsong wanita yang turun dari dalam mobil itu. Sekilas pandangan Penulis menoleh dengan diiringi oleh bulu kuduk yang meremang. Jantungku berdetak kencang. Penulis segera paham dengan situasi itu. Memang wanita itu terlihat cantik dengan gaya modis berbusana muslim.
Jhony dan wanita yang mungkin adalah Siti Zubaedah itu terlihat masuk lewat pintu samping. Namun tak lama kemudian wanita itu keluar lagi meninggalkan tempat itu tanpa sempat bertemu muka denganku. Aku berdecak kagum atas penampilannya dalam permainan imajinasi sudut pandang. Mobil kijang yang tadi terlihat itu ternyata hanyalah seekor kuda putih, sementara sosok wanita itu tidak terlihat secara jelas karena kesannya terburu-buru.
Setelah kejadian yang hanya kurang dari satu menit itu, kembali Jhony menghampiriku dan mengatakan bahwa tadi itu adalah isteri mudanya. Aku hanya terpaku menyaksikan kejadian musykil itu.
“Sekarang kau mungkin percaya bahwa aku telah beristerikan wanita dari alam gaib,” kata Jhony setelah sensasi aneh itu berlalu.
Penulis hanya angkat bahu. Apakah benar yang dikatakan Jhony? Penulis masih sulit untuk mempercayainya.
***
Sekitar setengah bulan setelah pertemuan itu, tiba-tiba ada kabar melalui hendphone kalau Jhony sekarang dirawat di rumah sakit. Merasa khawatir atas kesehatannya, Penulis pun segera berangkat untuk menjenguk Jhony. Sesampainya di sana kulihat sahabatku itu terbaring lemah. Segera kuhampiri dan kudengar dia berbisik mengatakan bahwa isterinya marah karena Jhony telah mengundangnya secara mendadak dan terasa ada benturan pada dirinya begitu melihatku. Aku katakan bahwa hal itu tidak apa-apa.
“Makanya, aku bilang jangan kau lakukan itu. Kau sendiri yang memaksa kan?” ujar Penulis.
Jhony hanya tersenyum kecut.
Menurut analisis team medis Jhony terkena gejala thypus. Namun berdasarkan terawangan alam kesunyatan yang dilakukan Penulis, sahabatku itu terkena imbas negatif akibat benturan hawa energi antara Penulis dengan isterinya itu. Untuk membantuh penyembuhannya, Penulis segera mengirimkan energi ke tubuhnya untuk memulihkan kondisinya, setelah itu aku pamit pada Verra dengan berpesan segera memberi kabar bila terjadi apa-apa terhadap Jhony.
Selang tiga hari kemudian Vera, isteri sahabatku itu mengabarkan bahwa suaminya sudah kembali dari rumah sakit dengan kondisi agak baikan. Aku bersyukur mendengar kabar baik itu. Aku sempat menelepon Jhony dan mengatakan padanya agar dia mulai memikirkan masa depan hidupnya jangan terus beristerikan jin itu.
“Aku takut nantinya kau yang berada di bawah pengaruhnya, Jhon!” kataku.
Jhony memahami kekhawatiranku. “Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk berpisah dengannya,” katanya dengan suara jernih. Ini artinya, Jhony sungguh-sungguh sudah baikan.